Thursday, 19 April 2018

Fighting the Shadows

Ini sudah tahun keduabelas sejak aku didiagnosa positif mengidap HIV. Sudah banyak hal yang terjadi, sudah banyak kawan yang pergi, sudah pula banyak yang memulai hidup baru. Hidup memang terasa berjalan seperti apa adanya saja buatku. Ada suka, ada duka, ada marah, ada canda. Satu hal yang pasti adalah aku sudah sejak lima tahun terakhir mulai sedikit demi sedikit melepaskan kemelekatanku dengan isu HIV/AIDS dan mulai belajar isu yang lain. Bukan karena aku sudah merasa cukup, tapi karena masih banyak kawan-kawan lain yang harus diberi kesempatan untuk belajar. Kalau kata generasi milenial, sudah waktunya untuk move on.


Hanya saja satu hal rupanya tidak pernah bisa lepas dari diriku adalah menjadi tempat curhat dan bertanya. Pertanyaan dan curhatnya sudah tentu seputar HIV, AIDS, layanan kesehatan, perawatan, pengobatan, ARV, relationship dan lain sebagainya. Jadi aku memang tak pernah bisa 100% lepas dari isu HIV. Mungkin memang semesta belum mau membiarkanku berlayar menjauh dari isu yang satu ini.

Sebagai ODHA, tentu aku sangat akrab dengan dua jargon paling populer yang selalu tampil bersama bak sepasang kembar Siam: stigma dan diskriminasi. Sejak pertama kali bekerja mendampingi ODHA di Rumah Cemara tahun 2006 aku mencermati bahwa stigma dan diskriminasi tidak selalu datang dari luar.... Perang terbesar dan terberat bagi ODHA adalah ketika dia berperang melawan stigma dan diskriminasi dari dalam dirinya sendiri.

Aku harus akui, sebagai seorang ODHA yang tidak pernah (merasa) mengalami stigma dan diskriminasi, aku sedikit kesulitan untuk relate dengan mereka yang mengalaminya. Aku harus berusaha keras mengerahkan seluruh daya empatiku agar bisa memahami situasi yang dihadapi oleh kawan-kawan ODHA yang menghadapi stigma dan diskriminasi. Mungkin aku beruntung, dianugerahi teman dan keluarga yang sangat mendukung. Mungkin aku juga beruntung diberi kelebihan rasa cuek yang nyaris tidak ada batasnya, sehingga jika ada yang menstigma atau mendiskriminasi pun aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi kebanyakan ODHA tidak seperti aku, bukan? Atau setidaknya, aku tak boleh mengasumsikan bahwa mereka semua bisa secuek aku. Banyak yang sangat sensitif dan perasa, sehingga segala sesuatunya terasa begitu berat.

Bagi sebagian besar orang, HIV dan AIDS memang menakutkan dan dianggap mematikan. Tapi aku justru melihat sesuatu yang lain, yang jauh lebih menakutkan: self-stigma, atau stigma diri. Stigma diri adalah label yang disematkan oleh diri kita sendiri berdasarkan pemikiran, ketakutan, asumsi ataupun kesimpulan pribadi kita. Ini adalah bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana kita mengapresiasi diri kita sebagai manusia. Belum tentu benar, dan seringnya justru tidak tepat. Tapi satu hal ini sungguh luar biasa efek destruktifnya bagi kondisi psikologis seseorang. 

Stigma diri adalah fenomena yang nyaris terlupakan dan tak terdeteksi. Tidak hanya dalam ranah HIV, tapi juga di banyak aspek lain seperti kesehatan mental, penggunaan napza, kekerasan dalam hubungan dan rumah tangga, tempat kerja, dan lain-lain. Khususnya dalam ranah HIV, stigma diri berkaitan erat dengan kemampuan ODHA untuk bersosialisasi dan bahkan untuk menerima dirinya sendiri. Begitu besar dampak negatif dari stigma diri ini hingga pada tahun 2014, keluarlah Dublin Declaration on HIV Self-Stigma pada Irish Forum for Global Health International Conference on Partnerships for Health di Dublin:
Self-stigma 
A critically overlooked element is self-stigma. Internalized/self-stigma are self-disabling inner feelings of contamination, shame, self-rejection and self-loathing experienced by people with HIV, and those who fear they have HIV, even when there is no objective reason to fear rejection or discrimination, and even when there is good objective reason to believe that they will receive external support, protection, treatment and acceptance (Cameron, 2012). 
Self-stigma limits the ability of individuals to live positively with HIV. It affects women and men, rich and poor. It fosters fear, depression and isolation. It militates against disclosure. Self-stigma is a profound barrier to an effective global HIV response. 
Yet in the panoply of tools that have been developed for the global response, self-stigma is overlooked. There is relatively little research on the topic and few methodology to address it. 
This must change.
Deklarasi ini muncul setelah mendengar testimoni yang disampaikan oleh kawan-kawan ODHA dari berbagai negara yang mendeskripsikan betapa stigma diri telah memberikan dampak negatif yang bersifat destruktif pada kehidupan ODHA. 

Kasus stigma diri yang pertama kali aku temui adalah seorang perempuan muda yang tertular dari pacarnya. Riana namanya. Usianya masih awal duapuluhan kala itu. Dia menjalani tes HIV setelah dua tahun putus dari pacarnya karena sang mantan jatuh sakit. Sebenarnya kondisi kesehatan perempuan ini masih relatif baik, tapi secara psikologis dia tampak sangat terpukul. 

"Saya sadar Teh, ini salah saya sendiri. Saya yang tidur sama pacar saya. Saya yang mau aja ngeseks nggak pake kondom. Ya udah. Ini mah resiko..." ujarnya kepadaku dengan pandangan menerawang jauh seolah menembus dinding yang ada di hadapannya. Meskipun mulutnya meluncurkan kalimat yang menyatakan bahwa dia sadar dan menerima konsekuensi dari perbuatannya, tapi raut wajahnya tak menunjukkan hal yang sepadan. "Ri, ini bukan salah kamu. Pacar kamu juga seharusnya mikirin kamu dong, kalo ngeseks nggak pake kondom itu 'kan ada resikonya pasti..." aku berkata, mencoba membesarkan hatinya. "Sebenarnya alasan kalian nggak pake kondom tuh apa? Boleh tahu nggak?" tanyaku sedikit hati-hati. "Dia nggak suka Teh. Katanya teh nggak enak. Nggak kerasa. Saya udah bilang berkali-kali, saya takut hamil. Karena kan saya tahunya kondom itu ya alat untuk mencegah kehamilan aja. Saya mana ngerti soal HIV atau penyakit lainnya...." jawabnya pelan, masih dengan pandangan menerawang. "Nah, anggaplah memang ini cuma buat mencegah kehamilan, tapi kok masih tetep nggak pake?" aku mencoba mengorek lebih jauh. Gadis itu menghela nafas panjang, "Ya dia bilang, kalo emang cuma takut hamil mah udah aja kamu yang pake pil. Jadi kita nggak usah pake kondom. Gitu katanya teh. Saya teh nurut we sama dia. Da yang beliin pil KB nya juga dia terus." jawabnya kemudian. 

Ah, klasik! Perempuan selalu jadi korban. Korban keadaan. Korban ketidaktahuan. Kurangnya pengetahuan tentang alat kontrasepsi dan kegunaannya sudah memakan banyak perempuan sebagai korban. Lama kelamaan kisah yang ada jadi terdengar klise. Kondom adalah alat untuk mencegah kehamilan, karena laki-laki banyak yang tak nyaman menggunakan kondom, maka dipilihlah alternatif pencegahan kehamilan lainnya. Tak ada yang ingat bahwa kondom juga berguna untuk mencegah penularan HIV dan infeksi menular seksual (IMS). "Teh, kalo perempuan seperti saya gini, nanti ada yang mau ngawin nggak? Saya udah cerita ke ibu saya, tentang keadaan saya. Terus, ibu saya cerita ke kakak saya. Kakak saya bilang, saya nggak usah mikirin kepengen kawin sekarang mah soalnya percuma. Selain nggak akan ada yang mau, kalo ada yang mau juga saya nggak akan pernah bisa punya anak, soalnya nanti anaknya 'kan bisa ketular juga..." tiba-tiba Riana berujar dengan nada sedih. "Ri, jangan khawatir soal yang gitu-gitu. Kata siapa ODHA nggak ada yang mau ngawin? Banyak kok temen-temen ODHA yang nikah sesudah tahu status. Malah pada punya anak juga dan ada yang anaknya negatif." jawabku dengan sedikit senyum. "Bener gitu Teh???" sejenak aku melihat percik harapan di binar bola matanya. Namun sedetik kemudian sinar itu meredup lagi, "Ah, tapi da nyari lalaki yang mau juga di mana atuh, Teh? Itu mah temen-temen teteh aja yang beruntung, yang pergaulannya luas. Ai yang kaya saya gini mah susah atuh... Mungkin saya bagusnya ngurus ibu saya ajalah. Da ibu juga udah sepuh. Biarinlah berbakti aja sampe saya mati nanti..." sambungnya kemudian dengan nada muram.

Setelah pertemuan itu, aku masih menghabiskan berhari-hari untuk meyakinkan Riana bahwa hidupnya tak serta merta terhenti hanya karena dia kini berstatus HIV. Kehidupan percintaannya pun tak harus mati begitu saja. Namun bukan perkara mudah meyakinkan orang tentang kebalikan dari sesuatu yang sudah mereka tetapkan di dalam kepala mereka sendiri. Dan Riana hanyalah kasus stigma diri pembuka bagiku. Masih banyak deretan nama lainnya setelah itu yang juga mengalami stigma diri.

Aku hampir tidak pernah menangis ketika ada dampinganku yang meninggal, karena biasanya memang kondisi kesehatannya sudah sangat buruk. Aku termasuk orang yang bisa menerima dan mengatasi kedukaan dengan cukup baik. Tapi air mataku seringkali datang dari rasa frustrasi ketika aku merasa gagal menanamkan pemahaman tentang kehidupan kepada kawan-kawan ODHA yang aku dampingi. Bahwa mereka semua, kita semua, masih punya masa depan. Bahwa keberadaan virus ini tak seharusnya mendikte kehidupan kita kecuali dalam hal kesehatan. Tak ada yang harus berubah dalam hidup kita kecuali urusan kesehatan. But fighting self-stigma is like fighting shadows. Kita tahu dia ada dan membayangi setiap langkah kita, tapi kita sulit untuk bisa melihatnya dengan jelas sehingga seringkali kita tak tahu seperti apa seharusnya kita berjuang. 

Ketika stigma dan diskriminasi itu datang dari orang lain atau lingkungan sekitar, aku bisa dengan mudah menentukan strategi dan langkah apa yang harus diambil. Aku juga bisa dengan leluasa membantu dampinganku untuk melawan. Tapi ketika mereka harus berhadapan dengan diri sendiri, aku kelu. Tak punya daya selain terus mencoba membangkitkan semangat mereka untuk melawan pikiran-pikiran negatif yang menggerogoti dari dalam. Adakalanya aku harus mau menyerah dan berkata, "Cuma kamu yang bisa melawan... Semuanya ada di tangan kamu..." Tak terkira sedih dan frustrasi yang aku rasakan ketika kalimat itu harus meluncur keluar dari mulutku. Kadang aku terpaksa melihat kawan ODHA yang aku dampingi tenggelam dalam depresi atau enggan bersosialisasi. Kekhawatiran terbesar adalah bila mereka mulai enggan mengakses layanan kesehatan karena tidak ingin bertemu dengan orang. Lalu berikutnya adalah ketika mereka mulai enggan meneruskan minum ARV karena merasa percuma saja, toh mereka juga nantinya akan mati. 

Kejam dan destruktif, adalah dua kata yang menurutku paling tepat untuk menggambarkan stigma diri. Ketika aku menghadiri World Social Forum di Kenya tahun 2007, seorang aktivis perempuan bercerita bahwa dirinya menghabiskan delapan tahun untuk menstigma dirinya sendiri. Dia berhenti kerja, menutup lingkaran sosialnya, mengurangi interaksi dengan siapapun dan hanya mengurung diri di rumah. Semua itu dilakukannya karena dia merasa dirinya tak berharga lagi, hanya tinggal menunggu datangnya malaikat maut yang menjemput. Dia juga menganggap tak akan ada orang yang mau bertemu dan berteman dengannya lagi, sehingga dia memutuskan komunikasi dengan orang lain. Semua hanya berdasarkan asumsi dan pemikirannya sendiri tanpa pembuktian yang valid, karena realitanya justru teman-teman dan keluarganya sangat kehilangan.

Stigma diri memiliki dampak sosial dan psikologis yang cukup signifikan. Dari mulai berkurangnya produktifitas, munculnya kecenderungan untuk mengurangi interaksi sosial, keengganan untuk mengakses layanan kesehatan hingga timbulnya depresi bahkan keinginan untuk bunuh diri. Sialnya, masih banyak ODHA yang tidak sadar bahwa dirinya sedang melakukan stigma diri. Bukan hanya mereka, tapi orang-orang di sekitarnya pun tak sadar bahwa proses stigma diri sedang berlangsung dan mereka tak mengulurkan tangan untuk membantu. Bahkan cenderung memupuk stigma yang ada hingga semakin subur dengan cibiran klasik, "Ah, lebay!" atau "Yaelaaaah gitu aja ribet amat sih?" atau "Woles aja laaaah. Susah amat sih?" dan masih banyak lagi. Jika di dunia kekerasan berbasis gender ada istilah rape culture, bisa jadi di dunia HIV/AIDS ada stigma culture atau depression culture, budaya yang menyuburkan stigma atau budaya yang menyuburkan depresi.

Sudah tahun 2018, tapi aku masih saja menemukan kasus stigma diri di sekitarku. Jika tidak sekarang, lalu mau kapan kita bergerak memeranginya?




No comments:

Post a Comment