Aku mengenal sosoknya pertama kali sekira enam tahun yang lalu. Semua orang memanggilnya "abang". Bukan saja karena dia termasuk salah satu yang tertua di kelompoknya, tapi juga karena asalnya dari Sumatera. Orangnya ramah, ganteng, gagah dan pembawaannya tenang. Waktu itu aku belum lama tinggal di Jakarta, dan sahabatku sering mengenalkanku ke teman-temannya supaya lingkaran pertemananku juga bertambah. Lalu dia mengenalkanku ke sekelompok teman gay-nya. Satu kelompok rumpi yang selalu riuh rendah jika bertemu. Abang adalah salah satu dari mereka.
Seringkali aku, sahabatku dan sekelompok teman gay kami pergi clubbing bersama, tapi Abang memang yang paling jarang ikut berkumpul. Seingatku, mungkin hanya dua atau tiga kali saja Abang pergi bersama kami. Sisanya dia selalu berhalangan. Atau jika dia bisa, aku yang tak ikut. Hubunganku tidak terlalu akrab, tapi cukup kenal.
Bertahun berlalu kami semua sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan masing-masing. Tapi pada suatu hari, aku ditelpon oleh salah satu dari mereka, "Beb, Abang positif. Kamu bisa ngobrol nggak sama dia? Aku khawatir deh sama dia... Coba kamu ajak ngobrol dulu deh..." Nicko berkata dengan nada prihatin. Nicko baru beberapa tahun mengetahui status HIV-nya. Dan sejak dia pulih kesehatannya, dia rajin menyarankan teman-teman se-gank nya untuk melakukan tes. Dari sekian banyak teman yang akhirnya mau tes, sudah ada sekira lima orang yang positif. Semuanya aku kenal dari kelompok yang sama. "Aku kasih nomermu ke dia ya, beb?" Nicko menyambung kalimatnya. "Iya beb, kasih aja nggak apa-apa. Tapi nanti aku tunggu dia yang menghubungi aku loh ya? Biarin dia kontak aku senyamannya aja." jawabku. Nicko mengakhiri percakapan dengan ajakan untuk bertemu di minggu berikutnya.
Sudah cukup lama juga aku tak bertemu dengan Nicko, maka ajakan untuk meet up pun aku sambut dengan sukacita. Di hari yang telah kami sepakati, aku pun menuju sebuah kafe di daerah Senopati. Ketika aku baru turun dari ojek, tiba-tiba ada yang memanggilku, "Ratri!" aku menoleh. Seorang laki-laki melambaikan tangannya. Mulut dan hidungnya ditutup masker, wajahnya kuyu dan tampak lelah. Aku tersenyum meski tak yakin dengan sosok itu, "Halo!" sapaku. "Apa kabar Ratri?" laki-laki itu membalas sapaku. "Baiiiiik... Nggak ke dalem?" tanyaku padanya. Otakku terus berputar mencoba mengingat-ingat siapa laki-laki itu. "Nggak. Nggak kuat asap rokoknya. Aku tunggu di sini aja. Nicko ada di lantai 2 ya." katanya padaku. "Oke! Makasih yaaaa..." jawabku. Kok dia tahu aku akan ketemu Nicko? Aku terheran-heran sendiri.
Aku naik ke lantai dua kafe yang cukup ramai itu. Aku menebar pandangan mencari sosok Nicko yang centil dan khas. "Beb!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari sudut. Nicko berdiri sambil melambaikan tangannya. Aku membalas lambaiannya. "Abang nunggu di luar, nggak kuat asap rokok dia, beb. Aku bayar dulu, habis ini kita pindah tempat aja ya?" kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Nicko. Abang! Astaga! Berarti tadi itu Abang? Aku sungguh tak mengenalinya! "Ya ampun, beb! Tadi dia nyapa aku, tapi aku nggak ngeh kalo itu dia. Nggak ngenalin aku! Berubah banget ya, beb? Duh..." kataku dengan nada penuh penyesalan.
Singkat cerita akhirnya kami pun pindah tempat ke sebuah resto di Semanggi yang bebas asap rokok. Kami makan malam, lalu Nicko meninggalkan kami berdua dengan alasan ingin window shopping di mall. Aku tahu, dia hanya ingin memberikan waktu untuk Abang agar bisa leluasa bercerita kepadaku. Laki-laki itu pun bergegas melangkah keluar resto. Aku menoleh kepada Abang yang duduk di sebelahku, "Abang apa kabar?" tanyaku membuka percakapan. Maka meluncurlah serangkaian cerita dari mulutnya.
Abang sudah tiga bulan tahu tentang status HIV-nya, dan sebulan terakhir kesehatannya menurun cukup drastis. Dia sudah ke dokter dan diberi cotrimoxazole, tapi situasinya tidak membaik. Abang sulit makan karena mual-mual dan sering muntah. Menurut dokter yang memeriksanya, Abang terkena bronchopneumonia. Nafasnya memang pendek-pendek, ada batuk kering sedikit juga. Dia terus-terusan memakai masker. Abang belum mulai terapi ARV, tapi sudah ingin mulai karena merasa tubuhnya perlu segera diberi asupan ARV supaya bisa cepat pulih. "Aku nggak ada kerja sekarang, Rat. Nganggur. Bisnis rumah makanku pun bangkrut. Dijahatin sainganku terus. Uangku menipis. Kondisiku lemah. Aku rencananya mau pulang aja ke Sumatera. Di sana masih ada adikku dan keluargaku yang lain..." begitu ujarnya padaku. Aku menatap sosok Abang yang ada di sampingku. Sungguh berbeda dengan Abang yang aku kenal bertahun yang lalu. Abang dulu berbadan kekar, gagah. Sekarang badannya kurus, susut 15 kilo dan terlihat kuyu. CD4 nya hanya 42.
Nafsu makannya kurang baik meskipun perutnya lapar. Rasa mual yang tak kunjung hilang membuatnya enggan makan banyak-banyak. "Rat, kalo kondisi kayak aku sekarang ini, kira-kira aku positifnya udah lama ya?" Abang bertanya padaku dengan nada khawatir. Aku tersenyum simpatik, "Kemungkinannya sih begitu, bang. Kenapa?" aku balik bertanya. Abang menghela nafas panjang, "Aku harus kasih tau mantan-mantanku..." jawabnya pelan. Aku mengangguk, "Sebaiknya begitu, bang... Biar Abang juga lega. Ngurangin beban pikiran juga." kataku sambil mengusap punggungnya. "Rat, aku mau pulang kampung aja. Tapi nanti di sana aku gimana ya?" dia bertanya sambil memandangku dengan tatapan penuh kekhawatiran. Aku tersenyum, "Tenang aja, bang. Nanti abang kasih tau aku kampungnya abang di mana. Aku bantu cariin kelompok dukungan ya? Biar ada yang dampingi abang di sana." aku mencoba menenangkannya. "Makasih ya Rat..." ujarnya pelan.
"Rencananya nanti aku kalo udah sehat, aku mau nikah aja, Rat... Aku rasa ini buah dari perbuatanku yang nggak bener selama ini. Aku mau bener. Mau nikah aja. Tapi ada perempuan yang mau nggak sih sama orang kayak aku gini...?" tiba-tiba Abang berujar dan aku tercekat mendengarnya. Abang bukan gay pertama yang terpikir untuk menikah dengan perempuan setelah mengetahui status HIV-nya. Aku tahu ada beberapa orang yang seperti itu. Seperti mencari a way for redemption, tapi sebenarnya itu hanyalah solusi semu saja. Ini adalah contoh klasik self-stigma. Doktrin tentang betapa salahnya menjadi gay akhirnya mereka validasi dengan cara seperti ini. Aku sungguh tak setuju! Bukan preferensi seksual seseorang yang salah, tapi lalai dalam melindungi diri yang membuat seseorang terinfeksi HIV. "Bang, kita selesaikan satu-satu dulu ya? Sekarang abang fokus ke kesehatan abang aja dulu. PR-nya banyak loh bang... Kalo abang pikirin semua sekaligus, nanti abang stress. Kalo abang stress, nanti abang nggak sehat-sehat..." aku mencoba membujuknya. Abang terdiam. "Iya ya, Rat? Aku itu emang suka segala macem dipikirin sih..." jawab Abang pelan. "Makanya aku bantu, bang. Sekarang yang paling penting kesehatan abang aja dulu. Nanti sesampainya di kampung halaman, abang cari dokter yang paling tepat. Abang konsul ya? Ceritakan semuanya dan kasih tau diagnosa dokter di sini apa. Aku rasa sih abang harus segera masuk ARV. Tapi nanti tanya dokternya aja, bang. Kadang penyakit lainnya harus diobati dulu sih... Dokternya lebih tau." kataku sambil berharap Abang bisa mencerna maksudku. "Rencananya kapan mau pulang?" tanyaku. "Lusa." jawab Abang.
Selepas pertemuan itu, aku terus berkomunikasi dengan Abang hingga dia tiba di kampung halamannya. Dia banyak bertanya tentang efek samping ARV dan masih mengeluhkan rasa mual yang terus datang. "Sampe kapan aku harus minum cotri ini, Rat? Aku nggak tahan mualnya. Aku nggak bisa makan...." keluhnya ketika baru tiba di kampung halamannya. "Dokternya kasih untuk berapa lama?" aku balik bertanya. "Untuk satu bulan." jawabnya. "Ya berarti sampai habis sebulan abang harus minum." jawabku padanya. "Aku ada hepatitis B waktu SMP. Apa mungkin berpengaruh ya?" tanyanya lagi. "Nanti abang bilang aja ke dokternya ya? Aku nggak berani pastikan. Tapi setauku, kalo SGOT dan SGPT kita naik, sering muncul rasa mual juga. Biasanya kalo mau mulai ARV nanti harus cek juga kok." aku mencoba memberi jawaban sesuai pengetahuanku. "Bang, ini aku kasih nomor HP kawan dari kelompok dukungan di sana ya? Nanti abang hubungi aja orangnya. Biasanya bisa ada pendampingan. Jadi kalo ada perlu apa-apa, abang bisa minta tolong mereka. Misalnya informasi tentang lab atau dokter atau layanan kesehatan lainnya." aku mengirimkan nomor kontak seorang kawan. "Makasih yaaaaa. Tapi aku masih bisa ngobrol sama kamu kan, Rat?" Abang berkata dengan nada sedikit khawatir. "Bisa dong! Jangan takut, abang... Abang masih bisa kontak aku juga. Cuma, aku kan jauh sekarang makanya aku kasih nomor orang yang sedaerah sama abang. Informasi yang aku punya juga terbatas, pasti orang sana lebih tau tentang fasilitas layanan kesehatan yang tepat buat abang." kataku sambil tertawa kecil.
Hari-hari berikutnya kami masih saling berkomunikasi. Abang juga sudah membuka diri kepada keluarganya dan semua bisa menerima. Tapi dia masih takut untuk memberi tahu orang luar. Tak apa. Yang penting keluarga terdekat sudah bisa menerima. Sebagai seseorang yang baru mengetahui statusnya, wajar jika Abang banyak merasa galau. Tapi aku kurang setuju jika dia tak mau keluar kamar. "Aku di sini tinggal dengan adikku dan suaminya. Tapi aku jarang keluar kamar, Rat. Aku takut nularin mereka." begitu Abang bercerita suatu siang. "Loh? Kan HIV nggak nular dari kontak sosial, bang. Sebaiknya abang jangan di dalam kamar terus. Apa nggak bosan?" kataku. "Mau jalan keluar rumah juga rasa belum kuat aku. Kemarin aku dipaksa tes dahak, tapi nggak keluar dahaknya. Udah dibantu obat pun cuma keluar sedikit. Orang lab nya bilang aku positif TB. Padahal di Jakarta aku diagnosanya bronchopneumonia. Kok bisa béda begini ya? Bingung aku... " abang mengeluh. Aku terdiam sejenak. Aneh memang. Tapi kadang petugas laboratorium juga belum tentu benar. "Bang, hasil lab nya udah dibawa ke dokter?" aku bertanya padanya. "Belum. Baru besok aku konsul lagi ke dokter." jawabnya. Aku sedikit lega mendengarnya. "Besok kasih liat aja dulu, bang. Kadang petugas lab kan hanya tau hal-hal yang umum aja. Makanya harus kasih liat ke dokternya lagi biar pasti." jawabku berusaha menenangkan. "Sekalian kasih liat hasil diagnosa di Jakarta kemarin buat bahan pembanding, bang." aku menyambung ucapanku. "Oooh oke. Besok aku bawa semua deh." ujarnya menutup pembicaraan kami malam itu.
Aku paham Abang ingin sehat. Tapi selain banyak tanya, dia juga banyak takutnya. Pernah sekali waktu dia bertanya, "Orang seperti kita ini pantangannya nggak boleh makan apa sih, Rat?" aku menjawab, "Daging dan telur mentah atau setengah mateng, bang. Usahakan kalo daging dan telur harus mateng yaaaa." Ya, karena takut kena toksoplasmosis. Aku sendiri pun harus meninggalkan kesukaanku makan steak setengah matang sekarang. "Aku boleh makan mie pangsit nggak sih? Tadi adikku beliin tapi nggak aku makan. Takut nggak boleh..." tiba-tiba Abang berkata lagi. Aku tercengang. Bukankah baru saja aku bilang pantangannya hanya daging dan telur mentah ya? "Hahahaha.... Boleh abaaaaang. Apalagi kalo gratis! Boleh banget!" jawabku sedikit berseloroh. "Kemarin adikku bikin ikan bakar, aku tolak. Karena kata konselor di sini nggak boleh makan yang dibakar..." kata Abang lagi. Astaga! Entah dari mana ilmu yang didapat konselor itu. "Nggak apa, bang. Boleh kok makan yang dibakar tapi harus mateng. Itu aja kuncinya." aku menjawab dengan perasaan geli bercampur dongkol. Sungguh aneh informasi yang diberikan! "Aku boleh makan duren nggak, Rat?" Abang bertanya lagi. Ya Tuhan! Aku tertawa kecil, "Nggak boleh kalo abang ada kolesterol sama darah tinggi. Kalo nggak ada, silakan aja, bang." jawabku setengah bercanda. "Maaf ya aku banyak tanya sama kamu." Abang berkata dengan nada risau. Aku menghela nafas sejenak, "Bang, selain daging dan telur mentah, makanan yang nggak boleh dimakan itu yang nggak enak dan yang beracun. Jangan takut, Abang...." kataku sambil tertawa kecil. Abang pun ikut tertawa.
Beberapa hari kemudian Abang menghubungi lagi. "Aku udah dikasih ARV tadi siang. Bisa mulai malam ini." dia berkata. "Syukurlah bang. Semangat ya! Dikasih yang mana?" tanyaku sedikit penasaran. "Yang sekali sehari. Katanya minumnya malam aja." jawab abang. 3FDC. "Oke, dikasih tau nggak, sebaiknya minum jam berapa?" tanyaku sedikit penasaran. "Nggak ada. Cuma dibilang minumnya malam, nanti selanjutnya terus minum setiap malam di jam yang sama. Itu aja." jawaban Abang membuatku tercengang. "Abang dikasih konseling kepatuhan dulu nggak?" aku bertanya lagi. Masih penuh dengan rasa penasaran. "Hah? Apa tuh?" suaranya terdengar kaget bercampur bingung. Astaga! Ketika aku masih bekerja sebagai Manajer Kasus, konseling kepatuhan bisa harus dilakukan berkali-kali sebelum pasien mulai minum obat. Tujuannya untuk memberi edukasi tentang ARV, cara minum dan efek sampingnya. Selain itu juga untuk mempersiapkan pasien agar bisa disiplin dalam menjalani terapi ARV. Apakah langkah itu sudah dihilangkan sekarang? Jika memang benar, pantas saja banyak pasien yang drop out ARV! "Abang sebaiknya minum sebelum tidur, karena obat yang punya abang itu ada efavirens nya. Jangan terlalu awal, tapi juga jangan terlalu larut. Kebanyakan temenku minum sekitar jam 10, bang. Nggak lama kemudian pasti tidur. Kalo abang minum jam 7 atau 8, takutnya nanti abang masih ada kegiatan lain. Akhirnya jadi keganggu deh." aku mencoba menjelaskan. "Gitu ya? Oke deh. Terus, efek sampingnya apa?" abang kembali bertanya. "Biasanya agak sedikit mual dan tidur kurang nyenyak, bang. Tapi itu awal aja kok. Lewat 3 bulan biasanya udh berkurang bahkan ada yang udah hilang. Ada beberapa orang juga yang gula darahnya naik. Jadi nanti setelah beberapa bulan, abang tes gula darah ya? Mastiin aja." aku mencoba menjelaskan kepadanya. "Oke. Semoga obat ini cocok buat aku ya, Rat." aku senang mendengar Abang bersemangat memulai terapi ARV. "Rat, nanti kalo aku demam atau pusing gimana? Aku harus minta obat ke dokter?" pertanyaan Abang ini tak urung membuatku tertawa. "Yawlaaaaaahhh, bang. Abang tuh HIV, bukan hamil, baaaaang. Kalo demam atau pusing ya minum obat turun panas atau obat pusing aja." kataku sambil tertawa. "Emangnya kalo udah ARV masih bisa minum obat warung?" ujarnya dengan nada takjub. "Masih lah bang. Aku aja kalo pusing minum panadol kok." jawabku santai. "Ooooh hahahaha oke deh kalo gitu. Makasih ya, say..." Abang menutup percakapan dengan tawa lega. "Jangan takut, Abang... Kita masih bebas menikmati hidup kok. Masih bisa makan yang énak-enak. Masih boleh minum obat warung. Masih bisa melakukan banyak hal lah! Yang penting, abang semangat terus ya? Jangan bosen minum obatnya." aku menyampaikan pesan pamungkas malam itu.
Sudah tiga minggu berselang sejak Abang mulai terapi ARV. Aku tak mendengar ada keluhan yang berarti darinya. Semoga Abang lekas pulih dan bisa produktif kembali. Aku tak bisa membayangkan Abang tak ceria. Abang harus sehat! Jangan takut ya, bang... Jalanmu masih panjang dan hidupmu masih penuh makna...
No comments:
Post a Comment