Thursday, 26 April 2018

It's all in your head...



Sebuah pesan dari seseorang yang tak dikenal masuk ke web messenger-ku. Seseorang dengan profil fiktif bernama Jerry. Fotonya tak memperlihatkan wajahnya. 
"Selamat pagi kak. Saya baru melihat cerita tentang kakak. Saya ingin sekali ngobrol dan bercerita dengan kakak tentang masalah yang membebani saya selama ini. Maaf saya menggunakan akun fiktif ini untuk menghubungi kakak. Ada alasan tertentu kenapa saya melakukan ini dan nanti saya akan jelaskan semua ke kakak. Kalau boleh, saya ingin bertemu langsung dengan kakak. Kapan kakak ada waktu? Anytime saya bisa sesuaikan waktu saya dengan kakak. Ini akan sangat membantu saya. Semoga kakak berkenan mempertimbangkan permintaan saya ini..."

Aku membaca pesan itu beberapa kali sambil berpikir. Tak ada salahnya. Bukankah ini bukan kali pertama aku melakukannya? Begitu pikirku. Lalu akupun mulai mengetik pesan balasan,
"Halo Jerry. Boleh aja kalo mau ketemu. Mungkin hari Selasa atau Rabu sesudah jam kerja kita bisa ketemu di mall dekat tempat tinggal saya."
Tak lama kemudian sebuah pesan balasan dari Jerry masuk,
"Terima kasih banyak sudah balas chat saya kak. Hari Selasa sore boleh kak? Saya tinggal di Jakarta Utara, tapi saya akan temui kakak di manapun. Sekali lagi, terima kasih banyak kak. Saya sangat menghargai waktu kakak."
Maka bertemulah kami di Selasa petang yang basah. Aku memilih sebuah kafe yang tak terlalu ramai. Prediksiku, Jerry tentu akan bercerita tentang hal-hal yang cukup pribadi atau sensitif. Jadi perlu tempat yang tidak berisik dan cenderung sepi. Jerry tiba sebelum aku. Dia sudah memberi kabar ketika dirinya sudah sampai, sementara aku masih dalam perjalanan. Dia mengirimkan foto nomor meja yang ditempatinya.

Sesampainya aku di kafe itu, aku langsung mencari nomor meja yang sesuai. Seorang laki-laki yang umurnya jelas lebih muda dariku duduk sendirian. Aku tersenyum dan menghampirinya. "Halo!" sapaku sambil mengulurkan tangan. Laki-laki itu menyambut uluran tanganku dan menjabatnya erat. "Ratri", kataku. Dia tersenyum, "Titan." jawabnya. "Maaf ya, aku agak telat. Macet. Kamu udah lama nyampe?" tanyaku kepada Titan. "Udah dari jam lima kak. Soalnya takut macet juga dari Jakarta Utara." jawabnya sambil tersenyum. Gerak geriknya sedikit rikuh. Socially awkward. "Kakak udah pesan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk, "Udah. Naaah ini udah datang pesananku." kataku sambil menunjuk waiter yang mendekat sambil membawa gelas minumanku.

"So, gimana? Apa yang bisa aku bantu?" aku membuka percakapan. Tak perlu banyak basa-basi Titan pun mulai bercerita. Seperti prediksiku, Titan juga ODHA. Dia menutup statusnya dan merahasiakannya dari siapapun. Setahun yang lalu dia sakit lalu pergi berobat ke Malaysia, di sana lah dia mengetahui bahwa dirinya ternyata mengidap HIV. Tapi dokter di negeri jiran itu tak memberinya banyak informasi. "Dia bersikap seolah-olah ini adalah situasi yang biasa aja kak. Seolah ini penyakit yang sederhana aja." begitu Titan menjelaskan. CD4 nya kebetulan juga sudah turun hingga ke angka 100-an sehingga dokter di sana pun membekalinya dengan ARV. Titan menjalani tes HIV tanpa konseling pra dan pasca tes. Dia bahkan tak tahu bahwa prosedur formal tes HIV harus melewati konseling dulu. Saat itu dia hanya melakukan tes darah lengkap dan ternyata sudah termasuk tes HIV. 

Penjelasan dari dokter yang tak begitu banyak membuatnya menyimpan banyak pertanyaan. Pengetahuannya yang minim akhirnya membuatnya memutuskan untuk menutup diri. Sepulangnya dari berobat, keluarganya bertanya soal kondisinya. Dia hanya mengatakan bahwa ada virus yang menyerang kekebalan tubuhnya dan dia harus minum obat. Sudah. Itu saja yang diceritakannya. Tak lama setelah itu, Titan diserang tuberculosis. Awalnya TB paru, lalu kemudian ditemukan pula TB kelenjar. Titan pun menjalani perawatan tuberculosis di rumah sakit di Jakarta Utara. Dan keluarganya berkesimpulang, Titan terkena TB. 

"Sejak saya tau hasil tes HIV saya, saya jadi nggak mau ketemu teman-teman. Saya nggak ingin keluar rumah, karena saya merasa saya orang sakit. Dan saat itu saya memang lagi sakit TB dan masih dalam masa perawatan. Saya malu kalo ketemu orang. Padahal banyak teman saya yang mencari saya kak. Mereka menanyakan kabar saya dan ngajak ketemuan juga. Tapi selalu saya tolak." Titan melanjutkan ceritanya. Titan takut. Entah takut apa, diapun tak begitu paham. Malu untuk bergaul. Merasa rendah diri. Tubuhnya memang kurus, tapi semakin kurus sejak terserang TB. Ini membuatnya semakin tidak percaya diri. Pikiran untuk mengakhiri hidupnya juga pernah hinggap di dalam rongga kepalanya. Untuk jangka waktu yang lama Titan merasa berjalan sendirian dalam sebuah lorong gelap yang tak berujung. Tak ada kawan yang tahu. Tak bisa bercerita dan berbagi beban dengan siapapun. Tapi dia selalu bsia melewati semuanya. Laki-laki itu selalu bisa tiba di mulut lorong yang dipenuhi dengan sinar. Meskipun demikian, dia masih tetap takut untuk membuka diri. Ketakutan demi ketakutan terus membuntutinya ke manapun dia pergi. 

"Kak, sebenarnya kalo saya merahasiakan ini, konsekuensinya apa?" laki-laki itu bertanya. Aku diam sejenak, "Setiap orang kan beda-beda, Tan. Kalo aku merasa, justru dengan ditutupi itu kita malah jadi membebani diri sendiri. Makanya aku terbuka. Pait-paitan aja ya kalo sama aku? Konsekuensinya ya kamu bisa stress karena menyimpan rahasia. Terus kamu harus terus waspada, jangan sampai salah omong. Capek." tandasku tanpa basa-basi. Laki-laki itu tampak tepekur. "Saya itu sebenernya kepingin ngomong kak. Sama keluarga dan pasangan, teman-teman dekat juga. Tapi saya rasanya belum siap. Gimana ya kak?" tanyanya lagi. Aku tersenyum, "Kalo ngomongin siap nggak siap, nggak pernah ada orang yang siap. Aku aja dulu gambling kok. Tapi aku emang udah siap dengan kemungkinan terburuk aja." Laki-laki itu menghela nafas panjang. "Itu saya belum siap kak..." ujarnya pelan. Aku tersenyum, "Ya udah. Nggak masalah sih kalo emang kamu belum siap. Tapi kalo aku boleh saran sih, setidaknya ada satu orang deh yang tau. Bukan apa-apa, takutnya nanti kamu sakit atau kenapa-kenapa, dibawanya ke dokter yang salah..." aku melanjutkan. Dia mengangguk-angguk kecil.

"Saya ini punya pasangan kak. Udah tiga taunan lah kami pacaran. Dia banyak bantu saya dalam hal kerjaan karena kami punya usaha bareng. Dia tinggal bareng saya tapi ada papa saya juga di rumah. Kadang saya nggak tega liat dia kerepotan bantu usaha saya. Tapi ya mau gimana lagi, saya kan lagi sakit..." Titan meneruskan kisahnya. "Kamu treatment TB-nya udah beres?" aku bertanya. "Saya udah setaun lebih sedikit pengobatan TB. Mungkin beberapa bulan lagi udah selesai. Sekarang ini saya udah mendingan banget kak. Cuma berat badan belum naik lagi." ujarnya. "Dituntaskan aja dulu pengobatannya. Kalo udah sembuh dan pulih, nanti baru kamu mulai perencanaan lainnya. Jangan kebanyakan pikiran dan ketakutan juga." aku menambahkan. "Kak, gimana ya caranya supaya saya berani terbuka sama orang lain? Orang terdekat aja dulu deh..." Titan bertanya sambil menatapku. Aku terdiam sejenak. Sungguh perkara yang pelik. Aku menatapnya lurus-lurus, "It's all in your head, Tan..." kataku. "Semuanya kamu yang tentukan. Tadi kamu cerita tentang dokter di Malaysia yang sikapnya seolah-olah ini adalah perkara sederhan... Ya memang iya. Tergantung kita ngeliatnya kan? Segala sesuatu itu kita sendiri yang tentukan, apakah akan jadi rumit atau sederhana. Bukannya ngegampangin, ya? Tapi menyederhanakan aja.... Kamu paham nggak maksudku?" kataku sambil menatap laki-laki di depanku. Dia mengangguk kecil, "Saya ini emang orang yang segala sesuatu dipikirin sih, jadinya agak ribet memang." katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa, "Ya makanya, kita pake skala prioritas untuk mikir. Kamu harus bisa nentuin hal-hal apa aja yang patut dipikirin terus-terusan dan mana yang nggak perlu. Kalo semua selalu dipikirin mah pusing dong!" aku berseloroh sedikit. Titan tertawa. 

"Kadang kita ini suka meremehkan kemampuan orang di sekitar kita untuk menerima kita. Makanya kita jadi menutup diri. Karena kita takut orang lain nggak bisa nerima kita. Kita takut orang lain akan ngejauhin kita. Padahal kita nggak tau, sebenernya gimana. Iya kan?" aku mencoba memancing Titan. "Kamu sendiri, sebenernya apa yang membuat kamu merasa nggak siap untuk ngomong?" aku bertanya. Titan terdiam. "Nggak tau juga sih kak...." Titan akhirnya menjawab setelah diam sekian lama. Aku tersenyum, "Teori asal-asalanku sih ya, kamu itu sebenernya masih belum bisa nerima diri kamu dan kondisi kamu. Mulut kamu mungkin berkata kalo kamu bisa nerima. Tapi jauh di dalam hati kamu sebenernya kamu masih nyangkal." aku berkata sambil menatapnya. Titan membalas tatapanku. Wajahnya tampak sedikit getir. Bingo! Pikirku. "Jauh di dalam hati, kamu masih bertanya-tanya 'kenapa gue sih?'. Kamu sebenernya masih nggak terima bahwa kamu sekarang HIV-positif. Bener nggak?" aku menembaknya tanpa tedeng aling-aling. Titan tersenyum getir. Rikuh, lalu menangguk. "Iya sih kak..." akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulutnya. "Nah, di situlah akar masalah kamu, Tan. Kamu harus bisa nerima diri kamu sendiri dulu. Harus bisa berdamai dengan diri kamu dan keadaan kamu. Harus bisa bersahabat dengan virus yang ada di dalam tubuh kamu itu. Love yourself, Tan.... before you love anyone else. Sebelum kamu bisa berdamai dan nerima diri kamu sendiri, kamu akan susah untuk terbuka." aku melanjutkan omonganku. "Kenapa gitu kak?" laki-laki itu bertanya. "Kalo kita udah bisa berdamai dengan diri sendiri. Kalo kita udah bisa nerima diri kita sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya, termasuk dengan virus ini, apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain tentang kita nggak bakalan penting lagi.... Kita akan bisa dengan santai mengakui status kita dan ketika orang nggak ingin dekat-dekat lagi sama kita, kita nggak bakal merasa terganggu. Percaya deh." aku melanjutkan. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Wajahnya terlihat lebih cerah. "Inget Tan... It's all in your head..."

Ketika pikiran kita sudah bebas, niscaya tak akan ada lagi yang bisa mengganggu kita. Karena semua yang ada di luar kebahagiaan dan kenyamanan kita menjadi tak penting. Terdengar egois mungkin, tapi ini penting agar kita tak perlu merasa jengah dengan apa yang dipikirkan orang lain. Tidak suka? SIlakan menjauh. Suka? Mari berteman. Tak akan ada lagi rasa terkucilkan ketika teman tak ingin mendekat. Kita akan mampu memahami bahwa teman dan keluarga tak selamanya ada untuk kita, maka kita harus selalu bisa bersenang-senang sendiri. Tapi aku melihat jalan yang harus ditempuh oleh Titan untuk sampai ke titik itu memang masih jauh. Well, setidaknya dia sudah tahu bahwa semuanya ada dalam kendalinya. Bukan orang lain. Dia tak perlu membiarkan orang lain mendefinisikan dirinya berdasarkan virus yang bersarang dalam tubuhnya. Jika dia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, niscaya yang lainnya akan mengikuti.

"Kak, ada satu pertanyaan yang paling mengganjal nih...." Titan berkata sambil membetulkan duduknya. "Apa itu?" kataku. "Saya bisa punya anak nggak sih?" Blarrr! "Bisa." jawabku cepat. Wajahnya terlihat lega. "Tapi... harus ikut program. Dengan konsultasi dokter. Nggak bisa sembarangan ya? Ada tes yang harus dijalani dulu. Pokoknya nurut dokter aja." lanjutku. "Sebenernya kalo ditanya kamu bisa punya anak atau nggak, ya nggak tau juga sih. Kan tingkat kesuburan orang beda-beda. Tapi kalo konteksnya ODHA, bisa." aku menambahkan. Titan tersenyum lega, "Iya kak. Konteks ODHA. Nah, udah lega saya sekarang. Saya ini suka anak kecil soalnya dan saya pengen banget punya anak. Waktu di Malaysia saya tanya dokternya nggak bisa menjawab dengan jelas. Tapi barusan kakak jawab dengan cepat dan lugas, saya jadi optimis. Makasih ya kak..." Titan berkata kepadaku. Aku tersenyum, "Udah banyak kok teman-teman yang sama-sama positif atau salah satu positif, lalu anak-anaknya negatif. Tapi ya itu, harus ikut program." 

Aku pamit pulang ketika waktu menunjukkan pukul 9 malam. Titan hendak mengantarku, tapi aku katakan tidak perlu sebab aku hanya tinggal jalan saja. "Kak, nanti kalo aku mau bicara sama pacarku tapi susah, aku minta tolong kakak untuk jelaskan. Boleh ya?" katanya penuh harap. Aku mengangguk sambil tersenyum, "Boleh dong... Berkabar aja ya? Take care ya Titan. Sehat terus..." kataku sambil menjabat tangannya. 







No comments:

Post a Comment