Medio 2016 telepon genggamku berdering. Ardian. Aku tersenyum kecil, sebab sudah lama sekali kami tidak saling berkomunikasi. Hanya sesekali berbalas komentar di media sosial atau chat. "Haloooo!" sapaku ketika menjawab panggilan masuk darinya. "Sist, kumaha kabar maneh?" kata laki-laki di ujung sana dalam bahasa Sunda. Aku tertawa, "Baik... Maneh kamana wae siiih? Sibuk pisan nyak?" aku membalas. Ardian tertawa, "Iya euy. Gue susah banget mau ambil cuti. Maklum lah, kacung kampret. Banyak dikasih tugas sama boss. Disuruh ngerjain ini-itu, ke sana kemari." cerocosnya seperti biasa. "Gileeeee! Gaji lu dua kali GBK yak gedenya? Hahahaha" aku berseloroh, dia pun ikut tergelak.
Singkat cerita, Ardian mengajakku untuk bertemu di minggu berikutnya, "Udah kelamaan gue nggak ketemu sama lu. Kelamaan nggak ada yang ngomelin gue nih. Kangen!" begitu ujarnya. Ya, meskipun sama-sama bekerja di Jakarta, tapi kami jarang sekali bertemu. Terakhir kali kami bertemu adalah di pertengahan tahun 2015. Sudah hampir setahun berlalu. Maka akupun menyambut tawarannya, "Traktir yaaaaa!" aku bercanda. "Gampang lah! Kayak sama siapa aja lu mah! Nanti deket-deket harinya gue telpon lagi ya, sist!" ujar Ardian sebelum mengakhiri pembicaraan kami di telepon.
Lalu tibalah hari yang telah disepakati. Ardian menjemputku ke kantor, lalu kami bersama-sama pergi ke Beer Garden untuk makan malam. Sepanjang jalan dia berceloteh tentang pekerjaannya. Aku tak tahu persis apa yang dikerjakannya, aku hanya tahu bahwa dia sangat sibuk. Sepanjang percakapan, telepon genggamnya seringkali bergetar tanda ada panggilan masuk. Sesekali ada yang dijawab, tapi banyak pula yang didiamkannya. "Nanti aja." begitu ujarnya. Dari ceritanya, Ardian tampaknya dipercaya oleh pemilik perusahaan untuk mengelola beberapa perusahaan sekaligus. Ada yang bergerak di bidang infrastruktur, pengadaan barang dan ada pula yang bergerak di bidang lain yang aku tak paham betul areanya. Satu saat, ada panggilan telepon masuk, lalu laki-laki itu menunjukkan layar telepon genggamnya kepadaku. Tampak ada nama petinggi militer lengkap dengan pangkatnya tertera pada layar sebagai pemanggil. Aku hanya mencebik, sementara dia tertawa kecil, lalu menjawab panggilan itu. Dia tahu, nama itu tak berarti apapun bagiku. Aku bukan orang yang silau dengan nama besar atau pangkat seseorang.
Setelah kami tiba di Beer Garden dan mendapatkan tempat duduk, Ardian meminta maaf, "Sorry ya sist, gue udah janji mau ketemuan sama lu tapi malah banyak telpon urusan kerjaan. Tapi nanti pas dinner mah handphone mau gue matiin aja. Biarin." begitu ujarnya. "Nggak apa-apa kok. Namanya juga jalan sama orang sibuk, ya resiko gue lah. Hahahaha! Jangan dimatiin deh, ntar kalo ada yang penting gimana?" jawabku. Dia menggeleng, "Kalo ada yang penting banget pasti nanti telpon ke sekretaris kantor." tandasnya sambil membuka menu, "So, lu mau makan apa?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. "Gue? Yang mahal dooooong! Hahahahaha" jawabku dengan kurang ajar. Kamipun tertawa bersama.
Ardian adalah Program Manager-ku ketika kami sama-sama bekerja di Rumah Cemara. Hanya setahun aku bekerja bersamanya, sebelum akhirnya aku pindah ke Malaysia. Tapi kami tetap berusaha untuk menjaga komunikasi meskipun minim. Ketika aku di Malaysia, Ardian beberapa kali meneleponku sekedar untuk menanyakan kabar. Atau chat melalui web messenger. Dia selalu mengeluh, "Nggak ada lu teh nggak enak. Nggak ada yang ngajak gue berantem lagi di sini." begitu selalu yang dikatakannya padaku.
"Gue brenti ARV sist. Udah dua taun." tiba-tiba Ardian berkata. Aku nyaris tersedak. "Hah? Kenapa brenti? Duh...." aku bertanya. "Capek sist... Bosen." jawabnya sambil meneruskan makan malamnya. Ah, klasik. "Tapi lu olah raga nggak? Pake suplemen apa gitu kek? Lu brenti, trus alternatifnya apaan, Di?" cecarku. Laki-laki itu tertawa, "Lah, boro-boro olah raga apa nge-gym, gue mau ke toilet aja susah urusannya!" jawabnya sambil tertawa. "Heh!!!" kataku sambil melempar tisu ke wajahnya. "Lau ketawa-ketawa, enak bener! Ntar kalo ngedrop aja, baru deh nyesel! Lagian kenapa sih minum obat kok dijadiin beban? Bawa santai aja lah, bro! Hih!" aku berkata dengan bersungut-sungut. "Emang terakhir VL lu berapa, sampe lu berani memutuskan buat brenti? Udah berasa sehat lu?" aku menyambung omelanku. Ardian hanya menatapku sambil tersenyum, "Ih, gue kangen ngomelnya lu kayak gini, Tri!" katanya sambil terkikik-kikik sendiri. "Alaaaaaah basi! Jawab dulu pertanyaan gue!" sambarku sedikit kesal. "Iyeee.... Iye! VL... nggak tau sih. Belom tes. CD4 juga nggak tau... Kan gue tadi bilang, gue brenti karena bosen aja minum obat. Ah, lu mah gue ngomong nggak diperhatiin." jawabnya dengan lagak merajuk.
Minum ARV sebenarnya memang hak pasien, bukan kewajiban. Jika ingin sehat dan produktif, silakan minum. Jika tidak, tak ada yang bisa memaksa. Semua kembali ke kesadaran diri masing-masing saja. Sebagai teman, aku hanya bisa mengomel atau mempertanyakan alasan kenapa Ardian memilih untuk berhenti. Tapi aku tidak bisa memaksanya untuk kembali minum. Aku tak punya hak atas tubuhnya. Aku hanya bisa mengingatkan saja. Itupun kalau dia mau mendengar kata-kataku. Tentu saja aku akan mencoba untuk membujuk, tapi keputusan akhir tidak berada di tanganku. Hanya dialah yang tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sialnya, kadang apa yang dirasanya terbaik untuk dirinya, belum tentu memang begitu realitanya. Tugasku sebagai teman bukan menyuapkan obat-obat itu ke mulutnya. Aku hanya bisa mengingatkan. Itu saja.
Bagi banyak ODHA, minum ARV dianggap sebagai salah satu tantangan terbesar. Bagaimana tidak, sudahlah harus disiplin dan tidak boleh terlambat, seumur hidup pula. Belum-belum sudah terasa membebani. Kadang sosok ODHA yang nyalinya paling besar sekali pun bisa mendadak ciut ketika sampai waktunya minum ARV. Lalu mulailah mereka berlomba-lomba untuk menunda. Mencari-cari alasan dan teori serta berbagai cara untuk menaikkan angka CD4 agar berada di atas ambang batas minimum (350). Bayangan akan "ketergantungan" terhadap ARV seumur hidup seringkali membuat semua orang jengah. Padahal jika dipikirkan kembali, anggap saja seperti kita makan dan minum. Atau anggap seperti rokok. Lebih baik lagi jika bisa menganggapnya seperti udara. Sebuah kebutuhan.
Malam itu aku lebih banyak mendengarkan celoteh Ardian tentang pekerjaannya. Dia tak banyak memberikan detil tentang di mana dia bekerja atau apa jabatannya. Yang aku tahu hanyalah dia diberi fasilitas mobil beserta supir untuk mengantarnya ke manapun. Selain itu, dia juga sepertinya memegang beberapa proyek infrastruktur yang nilainya cukup besar. Jujur saja, aku tak peduli apa pekerjaannya. Aku hanya khawatir dengan jam kerjanya yang tak beraturan. Ardian juga banyak bercerita tentang hubungannya dengan Santi, gadis yang dipacarinya selama lebh dari 10 tahun. "Gue kepingin ngomong sama dia sebenernya, Tri. Tapi gimana ya...." ujarnya menerawang. "Ya ngomong aja apa adanya lah. Paling bagus 'kan emang jujur aja, Di." jawabku. Laki-laki itu menatapku dengan pandangan galau, "Bingung euy gue.... Ntar kalo dia freak out gimana, Tri?" sambungnya dengan nada sedih. Aku menghela nafas panjang, "Di, lu pacaran sama dia udah 10 tahunan 'kan? Meskipun putus - sambung beberapa kali, tapi setidaknya kalian udah kenal banget lah satu sama lain. Kata gue sih lu itu selalu fear of the unknown. Kebanyakan asumsi!" jawabku sedikit jengkel, "Kalo dia freak out, ya lu jelasin laaaah. 'Kan lu dulu juga kerjaannya mediasi ke keluarga pasien yang mau buka status, bukan? Lu bukannya orang yang nggak tahu apa-apa soal HIV, Di.... Hadeeeehhhh!" sambungku kesal. Ardian tertawa tergelak melihat kekesalanku.
Tepat setelah aku minum obatku, jam 10 malam, kami pun bersiap untuk pulang. Ardian menyalakan telepon genggamnya. Entah ada berapa banyak notifikasi yang masuk sesaat setelah gawai itu dinyalakannya. Aku tertawa kecil, "Ciyeeeeeee.... Laku banget, bang?" aku berseloroh. "Pusing ah! Biar, nanti aja gue liat." katanya sambil mengantongi telepon genggamnya. Kami pun berjalan bersama menuju ke mobil yang sudah menunggu. Baru saja melaju beberapa menit, telepon genggamnya berdering. Ardian mengamati nama yang tertera di layar, "Bentar ya. Yang ini gue harus jawab dulu." ujarnya. Aku mengangguk. "Mas Ardian?" terdengar suara seorang perempuan di ujung sana. Aku bisa mendengar percakapan mereka dengan sangat jelas, padahal Ardian sudah menurunkan level volume telepon genggamnya. Rupanya suara melengking si ibu di ujung sana tetap tak bisa diredam.
"Iya, ibu... Apa kabar?" Ardian menyapa dengan suara sopan. "Aduuuh mas Ardian, dari tadi saya telpon nggak aktif terus." si ibu mencerocos kecil. Ardian memutar bola matanya sambil menjawab, "Iya, bu. Maaf, saya tadi ada dinner meeting soalnya, jadi HP saya matiin dulu. Gimana bu? Ada yang bisa saya bantu?" suaranya terdengar penat di telingaku. "Mas bisa ke Cikeas segera?" tanya suara di ujung sana. Ardian serta merta menegakkan duduknya, "Kapan ya bu?" tanyanya dengan nada sedikit waswas. "Sekarang kalau bisa mas. Bapak nunggu mas di rumah." - SERIOUSLY?? AT THIS HOUR?? "Tapi ini udah hampir jam 11 lho bu..." Ardian mencoba berkilah. "Nggak apa mas. Ditunggu sama bapak, jam berapapun malam ini." ujar si ibu di ujung sana dengan sedikit tekanan. Ardian menghela nafas panjang, "Ya sudah kalo gitu saya otw, bu." akhirnya dia menyerah. "Aduuuuh syukurlah! Akhirnya saya bisa kasih kabar baik ke bapak. Oya, mas Ardian 'kan masih single ya? Ada yang pengen kenalan nih mas.... Orangnya ikut nunggu sama bapak di rumah." terdengar suara ibu-ibu itu penuh semangat. Mungkin karena sudah mendapat konfirmasi akan kedatangan Ardian. Laki-laki itu menjawab dengan rikuh, "Hahahaha.... Aduh ibu, saya jadi malu. Saya belum married, tapi nggak single, bu. Jadi nggak enak nih..." ada hening selama beberapa detik, kemudian terdengar "Oooh nggak apa-apa, 'kan maksud saya single tuh ya belum berkeluarga, mas. Ya nanti bapak yang kenalkan ke mas deh. Mana tau, bisa cocok buat kerja bareng. Mas langsung ke Cikeas 'kan? Jangan mampir-mampir dulu kalo bisa mas. Hehehe. Langsung ke bapak dulu aja." ada sedikit perintah dalam kalimat yang disampaikan. Ardian menghela nafas sambil memejamkan matanya, "Iya bu. Nanti kalo sudah dekat saya kabari lagi. Terima kasih bu..." Ardian pun mengakhiri pembicaraan. Aku? Tak tahan lagi, tawaku berderai. "Astagaaaaa Di! Lu kerja apaan sih? Sampe urusan single nggak single aja ditanyain gitu? Hahahahahaha! Enak ya" kataku sambil menghapus air mata yang mengalir. Laki-laki itu menoyor kepalaku, "Ah, lu mah! Ini nih... Yang gini-gini yang bikin gue pusing! Hadeeeeehhhh!" ujarnya. "Pak, nanti habis ngedrop Ratri kita langsung ke Cikeas." katanya kepada supirnya. Pak supir tertawa kecil sambil menjawab, "Siap pak. Saya juga tadi dengar kok, wong ibunya tadi suaranya kenceng begitu..." selorohnya.
Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi sudah tiba di depan pintu gerbang rumah kost-ku. "Thank you ya, traktirannya..." kataku kepada Ardian. "No. Thank you ngobrolnya, sist... Kapan-kapan kita hang out lagi ya? Soalnya cuma lu yang selalu mau ngomong blak-blakan sama gue. Nggak pake basa-basi." ujarnya. "Berkabar aja, Di." jawabku. Ardian memelukku sebelum aku keluar dari mobil. "Take care ya, sist..." bisiknya. Aku mengangguk. Ah, sepertinya kalimat terakhir itu lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri daripada kepadaku.
Sudah setahun berlalu. Lagi-lagi kami hanya saling bertukar kabar via aplikasi chat, atau berbalas komentar di media sosial. Beberapa kali Ardian meneleponku sekedar untuk menanyakan kabarku. Kami tidak sempat bertemu. Jika bukan aku yang sibuk, dia yang sibuk. Seringnya Ardian yang tak sempat. Tapi toh aku bukan tipe teman yang harus terus-terusan bertemu. Bagiku pertemanan tidak bisa dibatasi oleh pertemuan. Masih banyak cara lain untuk tetap mejaga komunikasi. Hingga pada suatu saat aku melihat akun media sosial Ardian check in di sebuah rumah sakit tak jauh dari tempatku tinggal. Aku segera menghubunginya melalui pesan pendek, Lu ngapain di rumah sakit? Lu nggak kenapa-kenapa 'kan, bro?. Dia membalasnya beberapa hari kemudian, Nggak, sist. Gue jenguk temen yang sakit kemarin. Aku pun lega. Kapan mau traktir gue lagi nih? Jatah taunan gue belom diambil. aku berseloroh dengan sedikit kurang ajar. Hahahaha... kalem sist, gue nggak akan pernah lupa sama lu. Nanti gue kabarin deh. Gue mau ke Bandung dulu soalnya, nengok nyokap.
Seperti yang sudah-sudah, Ardian pun menghilang tanpa kabar. Aku pun sibuk dengan pekerjaanku. Sampai pada suatu hari laki-laki itu meneleponku ketika jarum jam sudah hampir merapat ke tengah malam. Dahiku berkerut, perasaanku kurang enak. Cepat-cepat aku jawab panggilan masuk itu, "Halo Di!" sambarku cepat. Terdengar suara batuk-batuk di ujung sana, "Tri... lu belum tidur...?" tanyanya, "Eh, dodol... Gue masih jawab telpon lu ya berarti gue belom tidur lah. Kenapa? Tumben amat jam segini telpon?" jawabku. "Yaaaa... kali aja lu kebangun gara-gara telpon gue. Temenin gue makan yuk!" ujarnya. "Hah??? Temenin makan? Astaga Di... Hadeeeehhhh.... gue udah pake daster, tauuuu!" aku bersungut-sungut. "Temenin lah, sebentar aja. Gue pengen ketemu sama lu. Pengen ngobrol. Udah lama, Tri kita nggak ketemu..." katanya sedikit menghiba. Aku mendengus. "Ya udah. Gue ganti baju dulu deh. Lu udah sampe mana? Masih jauh nggak?" aku menyerah. "Udah di Mega Kuningan sih, tinggal belok ke tempat lu. Hehehehe." laki-laki itu menjawab dengan tengil. "Kampreeeeeeettttt....!!!! Ya udah! Kabarin kalo udah sampe depan!" kataku sambil memutus pembicaraan. Cialat! Pikirku sambil tergesa mengganti baju tidurku.
Benar saja. Lima menit kemudian ada pesan masuk ke telepon genggamku, Gue udah di parkiran kost lu. Aku pun keluar dari kamar dan menuju tempat parkir. Mobil sedan berwarna silver itu tampak menunggu, aku pun bergegas menghampiri. Namun alangkah kagetnya aku ketika masuk. Ardian duduk di kursi belakang. Tubuhnya kurus kering, tampak ringkih. Di udara Jakarta yang hangat ini dia memakai sweater dan syal tebal. Aku tercekat. Tak percaya dengan apa yang ada di depanku. "Di! Lu...." kalimatku tak selesai. "Udah. Ntar aja ngomelnya. Ini kita makan ke mana sekarang? Gue laper." ucapnya. Aku gelagapan, "Eh. Aduh. Kalo udah jam segini palingan ke Pasfes aja. Yang 24 jam. Dim Sum ya?" kataku sekenanya. Laki-laki itu mengangguk, "Ke Pasfes ya? Kamu tau 'kan jalannya dari sini?" Ardian berkata kepada supirnya. "Tau pak." jawab supirnya mantap. "Driver gue baru, Tri. Si bapak yang kemarin resign, istrinya sakit." Ardian menjelaskan kepadaku. Well, sebenarnya dia tak perlu menjelaskan apapun.
"Lu sakit apa sih???" sambarku ketika mobil mulai berjalan. "Jadi sist... pas kemaren lu nanya gue lagi apa di rumah sakit tuh, gue sebenernya opname...." kata laki-laki itu pelan. Aku terbatuk, "Astaga Di! Kenapa lu nggak bilang sama gue?"
"Gue nggak mau ngerepotin lu, Tri. Nggak mau ngerepotin siapa-siapa..."
"Halah! Kan deket dari sini. Kalo lu dirawat di situ, trus gue rumahnya di Bekasi.... nah itu baru repot!"
"Anyway, gue maksain cabut dari rumah sakit itu, terus gue pulang ke Bandung deh. Kan gue bilang ya, sama lu, gue mau ke Bandung, makanya nggak bisa ketemuan dulu..."
"Iya. Tapi lu bilangnya mau nengokin nyokap! Hih!"
"Ya kan sekalian. Hehehehe..."
"Jawab dulu pertanyaan gue, jadi lu sakit apa?"
"Ah nya kitu we.... kecapean kata dokter mah... Gue disuruh istirahat 3 bulan minimal."
"Lha kalo disuruh istirahat, ngapa lu ada di sini sekarang?"
"Kepikiran kerjaan terus guenya, Tri. Nggak tenang. Kemaren pas di Bandung juga gue dirawat. Tapi gue maksain check out. Da ngapain atuh, sama aja kayak istirahat di rumah..."
"Heh! Tapi buktinya lu malah balik kemari, bukannya istirahat di rumah juga! Aduuuuh Di! Lu kenapa sih bandel amat? Ga usah sok kuat deh lu! Lagian juga lu tuh suka nggak jaga badan sih. Kerja nggak beraturan jamnya. Makan nggak teratur. Istirahat kurang. Udah sakit, malah ngeyel mau kerja. Ya gimana mau sehat kalo kayak gini urusannya?" aku mengomelinya.
Akhirnya kami pun tiba di Plaza Festival. Aku membantu Ardian turun dari mobil dan menuntunnya berjalan masuk ke restoran. Entah kenapa, resto yang biasanya selalu ramai, malam itu agak sepi. Ardian berjalan tertatih-tatih sambil aku pegangi. "Duh, gue kayak kakek-kakek gini ya?" katanya pelan. "Nggak apa-apa, biar gue keliatan lebih muda." aku mencandainya. Dia tertawa kecil. Kami duduk dan memesan makanan. Ardian hanya bisa makan bubur, sementara aku memesan nasi ayam Hainan. Sambil menunggu pesanan datang, laki-laki itu bercerita padaku. Ketika dia dirawat di Jakarta, dia memutuskan untuk membuka diri kepada Santi, pacarnya. Santi yang kaget dan tak bisa menerima, akhirnya meninggalkannya. Ardian frustrasi. Dulu, ketika dia belum sukses, Santi juga meninggalkannya dan berhubungan dengan laki-laki lain yang lebih kaya. Lalu ketika Ardian pindah ke Jakarta dan mulai sukses, Santi kembali padanya. Ardian menerima Santi kembali. Walaupun aku sudah pernah mewanti-wantinya, jika seseorang kembali padanya ketika dia sudah sukses, besar kemungkinan orang tersebut tidak bisa diajak sengsara. Tapi Ardian masih mencintai Santi, karena itu dia tidak peduli. Yang penting Santi sudah kembali padanya. Kondisinya pun memburuk pasca ditinggalkan Santi lagi. Akhirnya Ardian memilih untuk pulang dan istirahat di Bandung. Di Jakarta dia tak punya siapa-siapa selain Santi, sementara di Bandung ada keluarganya.
"Gue sakit hati, sist.... sama Santi. Tapi di sisi lain, gue bisa ngerti. Apa sih yang bisa diharapin dari gue?" laki-laki itu berkata lirih. Aku menghela nafas, "Lu jangan ngomong gitu lah. Tapi setidaknya dengan begini kan lu tau, dia itu nggak baik buat lu. Buktinya, dia ninggalin lu gara-gara status lu." kataku mencoba menghiburnya. Ardian menarik nafas panjang. Aku mengamati laki-laki yang duduk di hadapanku itu. Dia memang tak pernah gemuk. Tapi tak pernah seringkih ini. Dia tampak jauh lebih tua dari umur sebenarnya. Gerak geriknya lamban dan nafasnya tampak begitu berat. Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti itu. "Berat badan lu turun berapa?" tanyaku pelan. "10 kilo...." jawabnya. "Makan yang bener, bro. Jangan banyak pikiran. Nggak usah mikirin Santi! Ini waktunya lu mikirin diri sendiri. Fokus aja ke kesehatan lu sendiri. Kalo lu sakit, gimana bisa kerja? Sayang amat duit hasil kerja keras lu cuma dipake bayar dokter dan rumah sakit. Enakan dipake liburan." tandasku. Dia tertawa. "Iya. Bener euy... Lu pernah ngomong gitu ke gue ya dulu? Berasa euy, pas bayar rumah sakit teh... nggak rela! Hehehehe" jawabnya sambil terkekeh pelan. "Makasih ya sist..." tiba-tiba dia berkata sambil menggenggam tanganku. "Buat apa? Gue nggak melakukan apa-apa kok.... Cuma nemenin makan doang." kataku. "Buat semua omelannya. Buat nemenin makannya juga." katanya sambil tersenyum.
Ada hening sejenak terjatuh sesaat. "Kemaren gue udah ngomong ke nyokap gue, nanti kalo gue meninggal, gue mau dikubur di mana..." tiba-tiba Ardian berujar. Aku tercekat, "Ih lu mah yaaaa.... tega amat sih sama nyokap lu? Ngapain lu ngomong gitu sih?" aku menjawab dengan kesal. "Kan keluarga harus siap-siap, Tri. Pan lu yang ngajarin gue soal itu mah..." ujarnya. "Ya tapi lu liat-liat situasi dong, Di. Lu lagi sakit kayak gini terus lu ngomong begitu ke nyokap lu. Lu nggak mikirin gimana perasaannya dia, apa? Hadeeeehhhh..." aku mengomel. "Di, keluarga tuh nggak perlu diajarin yang gitu-gitu. Mereka pasti tau harus gimana. Omongan lu itu malah bikin nyokap lu kalut. Kasian dong..." aku meneruskan dengan nada lebih tenang. Ardian hanya diam. "Kenyang..." tiba-tiba dia berhenti memakan buburnya. "Sedikit lagi..." aku mencoba membujuk. Laki-laki itu menurut.
"Gue udah mulai ARV lagi sekarang, sist..." katanya setelah menghabiskan buburnya. "Bagus dong! Mudah-mudahan cepat pulih ya lu..." kataku sambil tersenyum. "Obat gue banyak banget sekarang.... Sampe eneg rasanya kalo minum obat." Ardian sedikit mengeluh. "Minumnya pelan-pelan aja. Jangan buru-buru. Wayahna... kan biar sehat." kataku padanya. Dia mengangguk. "Tri, janji ya... lu sehat terus..." ujarnya tiba-tiba sambil memandangku. Aku tercekat. "Gue pasti usahakan terus, Di..." jawabku sedikit galau. Aku menatapnya lurus-lurus, "Di, lu mendingan balik ke Bandung dulu deh. Biar ada yang ngurusin. Kalo di sini, siapa yang mau ngurusin lu? Di Bandung kan ada nyokap lu. Ada adik lu... Di Bandung aja dulu sampe sehat." aku memberi saran. Ardian hanya tersenyum kecil.
Pukul dua dini hari Ardian mengantarku kembali ke rumah kost-ku. "Kamu hafalin jalan ke sini, hafalin kost nya yang mana. Siapa tau nanti kamu harus ke sini, jemput dia ya?" katanya kepada supir barunya. "Iya pak. Sudah hafal kok." jawab supir muda itu. "Sist, makasih ya udah nemenin. Udah ngomelin. Udah dengerin gue...." katanya sambil memelukku sebelum aku keluar dari mobil. "Iya, Di. Sama-sama. Jangan banyak pikiran. Sehatin badan aja dulu." kataku sok menasehati. "Maafin kalo gue ada salah ya, Tri..." laki-laki itu berujar dengan suara bergetar. "Duuuuh apaan sih lu? Lebaran masih lama! Udah deeeh! Santai aja. Yang penting lu sehat dulu. Balik dulu ke Bandung gih." jawabku sambil mencoba menepis rasa tak enak dengan candaan. Laki-laki itu tertawa kecil, "Ya udah... bye, sist..." katanya. "Don't say goodbye, bro... Say, see you again..." jawabku pelan. "Oh iya.... never say goodbye ya, sist..." jawabnya lagi. "Yes... never say goodbye. Good night, bro." kataku sambil keluar dari mobil.
Dan itu adalah kali terakhir aku bertemu dengan Ardian. Tak lama sejak pertemuan kami malam itu, Ardian menghubungiku, "Tri, gue pamit ya... Gue mau balik ke Bandung. Mau istirahat di sana aja, deket si mama." begitu ujarnya sore itu. "Iya, Di. Baik-baik lah istirahat ya? kalo ada apa-apa, kabari gue." jawabku. Aku yakin Ardian akan sehat kembali. Sudah berapa banyak klien dampingan yang kondisinya sangat buruk tapi akhirnya berhasil sehat kembali? Banyak! Cukup banyak untuk menumbuhkan rasa optimisku kala itu.
Dua atau tiga bulan berselang dari pertemuan itu seorang kawan dari Rumah Cemara menghubungiku, "Bun, udah nengok Ardian?" tanyanya dengan suara cukup serius. "Belum. Tapi gue tau dia sakit sih. Sempat ketemu beberapa bulan yang lalu." jawabku. "Kalo bisa sempetin nengok...." sambungnya lagi. Sayangnya aku tak sempat menjenguk lagi. Tapi aku menyempatkan diri menghubunginya via aplikasi chat. Percakapan kami tak pernah panjang, dan tentu saja aku memakluminya. Kala itu akhir bulan Juli tahun 2017...
Bro, update dong.... Gimana keadaan lu?
Lalu dua mingu kemudian aku kembali menghubunginya. Tepatnya pada tanggal 16 Agustus 2017.
Di, gimana kabarnya? Udah sehat?
Istirahat yang bener!
12 September 2017
Bro, gimana kabar lu?
---- tak ada balasan ---
Lalu aku mendengar kabar, Ardian kembali masuk rumah sakit. Aku pun mencoba menghubunginya lagi. Pikirku, jika bukan dia, mungkin keluarganya akan membaca pesan dariku dan membalaskan untuknya.
3 Oktober 2017
Bro, kumaha? Udah pulang apa masih di rumah sakit?
--- tak ada balasan ---
Seminggu kemudian aku mendapat kabar, Ardian dalam kondisi kritis... Aku pun cepat-cepat mengirimkan pesan lagi untuknya. Perasaanku tak enak. Dalam hati aku merutuk keputusan Ardian untuk berhenti mengonsumsi ARV beberapa tahun silam.
12 Oktober 2017
Ardi, yang kuat ya lu! Kan masih mau ngopi-ngopi cantik sama gue!
Pesanku tak terbaca. Lalu tibalah hari itu. 13 Oktober 2017. Harimu berpulang. Semua perasaan tak enak yang aku rasakan terjawab sudah. Ngopi-ngopi cantik sambil mengomelimu tinggal rencana saja. Ah, Ardi... ketika kamu menelponku dan mengatakan kamu pamit, ternyata kamu benar-benar pulang ya? Aku sungguh tak ada firasat apapun saat itu. Aku optimis kamu bisa mengatasi situasimu dan akan kembali sehat. Nyatanya memang kita tak punya daya melawan semesta...
Aku bukan orang yang mudah menangis ketika sedang sedih. Aku juga termasuk orang cukup mampu mengendalikan kesedihan, terutama ketika sesuatu yang terjadi sudah bisa aku prediksi sebelumnya. Meskipun aku sempat melihat kondisinya sebelum kembali ke Bandung, sudah tentu aku sedih dengan kepergiannya, he was a really good friend of mine, tapi aku juga yakin ini adalah jalan terbaik baginya. Meskipun begitu, aku tetap menyimpan rasa dongkol karena dia terus membandel jika diberitahu. Tapi aku juga sadar sepenuhnya, aku tak ada hak mencampuri keputusannya dalam hal kesehatan. Sayangnya, menurutku dia tak mengambil keputusan-keputusan yang bijak untuk dirinya sendiri.
You will be missed terribly, bro.... See you again someday!
[this is a late birthday present for you, bro... for your birthday on 17 March 2018]
Minum ARV sebenarnya memang hak pasien, bukan kewajiban. Jika ingin sehat dan produktif, silakan minum. Jika tidak, tak ada yang bisa memaksa. Semua kembali ke kesadaran diri masing-masing saja. Sebagai teman, aku hanya bisa mengomel atau mempertanyakan alasan kenapa Ardian memilih untuk berhenti. Tapi aku tidak bisa memaksanya untuk kembali minum. Aku tak punya hak atas tubuhnya. Aku hanya bisa mengingatkan saja. Itupun kalau dia mau mendengar kata-kataku. Tentu saja aku akan mencoba untuk membujuk, tapi keputusan akhir tidak berada di tanganku. Hanya dialah yang tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sialnya, kadang apa yang dirasanya terbaik untuk dirinya, belum tentu memang begitu realitanya. Tugasku sebagai teman bukan menyuapkan obat-obat itu ke mulutnya. Aku hanya bisa mengingatkan. Itu saja.
Bagi banyak ODHA, minum ARV dianggap sebagai salah satu tantangan terbesar. Bagaimana tidak, sudahlah harus disiplin dan tidak boleh terlambat, seumur hidup pula. Belum-belum sudah terasa membebani. Kadang sosok ODHA yang nyalinya paling besar sekali pun bisa mendadak ciut ketika sampai waktunya minum ARV. Lalu mulailah mereka berlomba-lomba untuk menunda. Mencari-cari alasan dan teori serta berbagai cara untuk menaikkan angka CD4 agar berada di atas ambang batas minimum (350). Bayangan akan "ketergantungan" terhadap ARV seumur hidup seringkali membuat semua orang jengah. Padahal jika dipikirkan kembali, anggap saja seperti kita makan dan minum. Atau anggap seperti rokok. Lebih baik lagi jika bisa menganggapnya seperti udara. Sebuah kebutuhan.
Malam itu aku lebih banyak mendengarkan celoteh Ardian tentang pekerjaannya. Dia tak banyak memberikan detil tentang di mana dia bekerja atau apa jabatannya. Yang aku tahu hanyalah dia diberi fasilitas mobil beserta supir untuk mengantarnya ke manapun. Selain itu, dia juga sepertinya memegang beberapa proyek infrastruktur yang nilainya cukup besar. Jujur saja, aku tak peduli apa pekerjaannya. Aku hanya khawatir dengan jam kerjanya yang tak beraturan. Ardian juga banyak bercerita tentang hubungannya dengan Santi, gadis yang dipacarinya selama lebh dari 10 tahun. "Gue kepingin ngomong sama dia sebenernya, Tri. Tapi gimana ya...." ujarnya menerawang. "Ya ngomong aja apa adanya lah. Paling bagus 'kan emang jujur aja, Di." jawabku. Laki-laki itu menatapku dengan pandangan galau, "Bingung euy gue.... Ntar kalo dia freak out gimana, Tri?" sambungnya dengan nada sedih. Aku menghela nafas panjang, "Di, lu pacaran sama dia udah 10 tahunan 'kan? Meskipun putus - sambung beberapa kali, tapi setidaknya kalian udah kenal banget lah satu sama lain. Kata gue sih lu itu selalu fear of the unknown. Kebanyakan asumsi!" jawabku sedikit jengkel, "Kalo dia freak out, ya lu jelasin laaaah. 'Kan lu dulu juga kerjaannya mediasi ke keluarga pasien yang mau buka status, bukan? Lu bukannya orang yang nggak tahu apa-apa soal HIV, Di.... Hadeeeehhhh!" sambungku kesal. Ardian tertawa tergelak melihat kekesalanku.
Tepat setelah aku minum obatku, jam 10 malam, kami pun bersiap untuk pulang. Ardian menyalakan telepon genggamnya. Entah ada berapa banyak notifikasi yang masuk sesaat setelah gawai itu dinyalakannya. Aku tertawa kecil, "Ciyeeeeeee.... Laku banget, bang?" aku berseloroh. "Pusing ah! Biar, nanti aja gue liat." katanya sambil mengantongi telepon genggamnya. Kami pun berjalan bersama menuju ke mobil yang sudah menunggu. Baru saja melaju beberapa menit, telepon genggamnya berdering. Ardian mengamati nama yang tertera di layar, "Bentar ya. Yang ini gue harus jawab dulu." ujarnya. Aku mengangguk. "Mas Ardian?" terdengar suara seorang perempuan di ujung sana. Aku bisa mendengar percakapan mereka dengan sangat jelas, padahal Ardian sudah menurunkan level volume telepon genggamnya. Rupanya suara melengking si ibu di ujung sana tetap tak bisa diredam.
"Iya, ibu... Apa kabar?" Ardian menyapa dengan suara sopan. "Aduuuh mas Ardian, dari tadi saya telpon nggak aktif terus." si ibu mencerocos kecil. Ardian memutar bola matanya sambil menjawab, "Iya, bu. Maaf, saya tadi ada dinner meeting soalnya, jadi HP saya matiin dulu. Gimana bu? Ada yang bisa saya bantu?" suaranya terdengar penat di telingaku. "Mas bisa ke Cikeas segera?" tanya suara di ujung sana. Ardian serta merta menegakkan duduknya, "Kapan ya bu?" tanyanya dengan nada sedikit waswas. "Sekarang kalau bisa mas. Bapak nunggu mas di rumah." - SERIOUSLY?? AT THIS HOUR?? "Tapi ini udah hampir jam 11 lho bu..." Ardian mencoba berkilah. "Nggak apa mas. Ditunggu sama bapak, jam berapapun malam ini." ujar si ibu di ujung sana dengan sedikit tekanan. Ardian menghela nafas panjang, "Ya sudah kalo gitu saya otw, bu." akhirnya dia menyerah. "Aduuuuh syukurlah! Akhirnya saya bisa kasih kabar baik ke bapak. Oya, mas Ardian 'kan masih single ya? Ada yang pengen kenalan nih mas.... Orangnya ikut nunggu sama bapak di rumah." terdengar suara ibu-ibu itu penuh semangat. Mungkin karena sudah mendapat konfirmasi akan kedatangan Ardian. Laki-laki itu menjawab dengan rikuh, "Hahahaha.... Aduh ibu, saya jadi malu. Saya belum married, tapi nggak single, bu. Jadi nggak enak nih..." ada hening selama beberapa detik, kemudian terdengar "Oooh nggak apa-apa, 'kan maksud saya single tuh ya belum berkeluarga, mas. Ya nanti bapak yang kenalkan ke mas deh. Mana tau, bisa cocok buat kerja bareng. Mas langsung ke Cikeas 'kan? Jangan mampir-mampir dulu kalo bisa mas. Hehehe. Langsung ke bapak dulu aja." ada sedikit perintah dalam kalimat yang disampaikan. Ardian menghela nafas sambil memejamkan matanya, "Iya bu. Nanti kalo sudah dekat saya kabari lagi. Terima kasih bu..." Ardian pun mengakhiri pembicaraan. Aku? Tak tahan lagi, tawaku berderai. "Astagaaaaa Di! Lu kerja apaan sih? Sampe urusan single nggak single aja ditanyain gitu? Hahahahahaha! Enak ya" kataku sambil menghapus air mata yang mengalir. Laki-laki itu menoyor kepalaku, "Ah, lu mah! Ini nih... Yang gini-gini yang bikin gue pusing! Hadeeeeehhhh!" ujarnya. "Pak, nanti habis ngedrop Ratri kita langsung ke Cikeas." katanya kepada supirnya. Pak supir tertawa kecil sambil menjawab, "Siap pak. Saya juga tadi dengar kok, wong ibunya tadi suaranya kenceng begitu..." selorohnya.
Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi sudah tiba di depan pintu gerbang rumah kost-ku. "Thank you ya, traktirannya..." kataku kepada Ardian. "No. Thank you ngobrolnya, sist... Kapan-kapan kita hang out lagi ya? Soalnya cuma lu yang selalu mau ngomong blak-blakan sama gue. Nggak pake basa-basi." ujarnya. "Berkabar aja, Di." jawabku. Ardian memelukku sebelum aku keluar dari mobil. "Take care ya, sist..." bisiknya. Aku mengangguk. Ah, sepertinya kalimat terakhir itu lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri daripada kepadaku.
Sudah setahun berlalu. Lagi-lagi kami hanya saling bertukar kabar via aplikasi chat, atau berbalas komentar di media sosial. Beberapa kali Ardian meneleponku sekedar untuk menanyakan kabarku. Kami tidak sempat bertemu. Jika bukan aku yang sibuk, dia yang sibuk. Seringnya Ardian yang tak sempat. Tapi toh aku bukan tipe teman yang harus terus-terusan bertemu. Bagiku pertemanan tidak bisa dibatasi oleh pertemuan. Masih banyak cara lain untuk tetap mejaga komunikasi. Hingga pada suatu saat aku melihat akun media sosial Ardian check in di sebuah rumah sakit tak jauh dari tempatku tinggal. Aku segera menghubunginya melalui pesan pendek, Lu ngapain di rumah sakit? Lu nggak kenapa-kenapa 'kan, bro?. Dia membalasnya beberapa hari kemudian, Nggak, sist. Gue jenguk temen yang sakit kemarin. Aku pun lega. Kapan mau traktir gue lagi nih? Jatah taunan gue belom diambil. aku berseloroh dengan sedikit kurang ajar. Hahahaha... kalem sist, gue nggak akan pernah lupa sama lu. Nanti gue kabarin deh. Gue mau ke Bandung dulu soalnya, nengok nyokap.
Seperti yang sudah-sudah, Ardian pun menghilang tanpa kabar. Aku pun sibuk dengan pekerjaanku. Sampai pada suatu hari laki-laki itu meneleponku ketika jarum jam sudah hampir merapat ke tengah malam. Dahiku berkerut, perasaanku kurang enak. Cepat-cepat aku jawab panggilan masuk itu, "Halo Di!" sambarku cepat. Terdengar suara batuk-batuk di ujung sana, "Tri... lu belum tidur...?" tanyanya, "Eh, dodol... Gue masih jawab telpon lu ya berarti gue belom tidur lah. Kenapa? Tumben amat jam segini telpon?" jawabku. "Yaaaa... kali aja lu kebangun gara-gara telpon gue. Temenin gue makan yuk!" ujarnya. "Hah??? Temenin makan? Astaga Di... Hadeeeehhhh.... gue udah pake daster, tauuuu!" aku bersungut-sungut. "Temenin lah, sebentar aja. Gue pengen ketemu sama lu. Pengen ngobrol. Udah lama, Tri kita nggak ketemu..." katanya sedikit menghiba. Aku mendengus. "Ya udah. Gue ganti baju dulu deh. Lu udah sampe mana? Masih jauh nggak?" aku menyerah. "Udah di Mega Kuningan sih, tinggal belok ke tempat lu. Hehehehe." laki-laki itu menjawab dengan tengil. "Kampreeeeeeettttt....!!!! Ya udah! Kabarin kalo udah sampe depan!" kataku sambil memutus pembicaraan. Cialat! Pikirku sambil tergesa mengganti baju tidurku.
Benar saja. Lima menit kemudian ada pesan masuk ke telepon genggamku, Gue udah di parkiran kost lu. Aku pun keluar dari kamar dan menuju tempat parkir. Mobil sedan berwarna silver itu tampak menunggu, aku pun bergegas menghampiri. Namun alangkah kagetnya aku ketika masuk. Ardian duduk di kursi belakang. Tubuhnya kurus kering, tampak ringkih. Di udara Jakarta yang hangat ini dia memakai sweater dan syal tebal. Aku tercekat. Tak percaya dengan apa yang ada di depanku. "Di! Lu...." kalimatku tak selesai. "Udah. Ntar aja ngomelnya. Ini kita makan ke mana sekarang? Gue laper." ucapnya. Aku gelagapan, "Eh. Aduh. Kalo udah jam segini palingan ke Pasfes aja. Yang 24 jam. Dim Sum ya?" kataku sekenanya. Laki-laki itu mengangguk, "Ke Pasfes ya? Kamu tau 'kan jalannya dari sini?" Ardian berkata kepada supirnya. "Tau pak." jawab supirnya mantap. "Driver gue baru, Tri. Si bapak yang kemarin resign, istrinya sakit." Ardian menjelaskan kepadaku. Well, sebenarnya dia tak perlu menjelaskan apapun.
"Lu sakit apa sih???" sambarku ketika mobil mulai berjalan. "Jadi sist... pas kemaren lu nanya gue lagi apa di rumah sakit tuh, gue sebenernya opname...." kata laki-laki itu pelan. Aku terbatuk, "Astaga Di! Kenapa lu nggak bilang sama gue?"
"Gue nggak mau ngerepotin lu, Tri. Nggak mau ngerepotin siapa-siapa..."
"Halah! Kan deket dari sini. Kalo lu dirawat di situ, trus gue rumahnya di Bekasi.... nah itu baru repot!"
"Anyway, gue maksain cabut dari rumah sakit itu, terus gue pulang ke Bandung deh. Kan gue bilang ya, sama lu, gue mau ke Bandung, makanya nggak bisa ketemuan dulu..."
"Iya. Tapi lu bilangnya mau nengokin nyokap! Hih!"
"Ya kan sekalian. Hehehehe..."
"Jawab dulu pertanyaan gue, jadi lu sakit apa?"
"Ah nya kitu we.... kecapean kata dokter mah... Gue disuruh istirahat 3 bulan minimal."
"Lha kalo disuruh istirahat, ngapa lu ada di sini sekarang?"
"Kepikiran kerjaan terus guenya, Tri. Nggak tenang. Kemaren pas di Bandung juga gue dirawat. Tapi gue maksain check out. Da ngapain atuh, sama aja kayak istirahat di rumah..."
"Heh! Tapi buktinya lu malah balik kemari, bukannya istirahat di rumah juga! Aduuuuh Di! Lu kenapa sih bandel amat? Ga usah sok kuat deh lu! Lagian juga lu tuh suka nggak jaga badan sih. Kerja nggak beraturan jamnya. Makan nggak teratur. Istirahat kurang. Udah sakit, malah ngeyel mau kerja. Ya gimana mau sehat kalo kayak gini urusannya?" aku mengomelinya.
Akhirnya kami pun tiba di Plaza Festival. Aku membantu Ardian turun dari mobil dan menuntunnya berjalan masuk ke restoran. Entah kenapa, resto yang biasanya selalu ramai, malam itu agak sepi. Ardian berjalan tertatih-tatih sambil aku pegangi. "Duh, gue kayak kakek-kakek gini ya?" katanya pelan. "Nggak apa-apa, biar gue keliatan lebih muda." aku mencandainya. Dia tertawa kecil. Kami duduk dan memesan makanan. Ardian hanya bisa makan bubur, sementara aku memesan nasi ayam Hainan. Sambil menunggu pesanan datang, laki-laki itu bercerita padaku. Ketika dia dirawat di Jakarta, dia memutuskan untuk membuka diri kepada Santi, pacarnya. Santi yang kaget dan tak bisa menerima, akhirnya meninggalkannya. Ardian frustrasi. Dulu, ketika dia belum sukses, Santi juga meninggalkannya dan berhubungan dengan laki-laki lain yang lebih kaya. Lalu ketika Ardian pindah ke Jakarta dan mulai sukses, Santi kembali padanya. Ardian menerima Santi kembali. Walaupun aku sudah pernah mewanti-wantinya, jika seseorang kembali padanya ketika dia sudah sukses, besar kemungkinan orang tersebut tidak bisa diajak sengsara. Tapi Ardian masih mencintai Santi, karena itu dia tidak peduli. Yang penting Santi sudah kembali padanya. Kondisinya pun memburuk pasca ditinggalkan Santi lagi. Akhirnya Ardian memilih untuk pulang dan istirahat di Bandung. Di Jakarta dia tak punya siapa-siapa selain Santi, sementara di Bandung ada keluarganya.
"Gue sakit hati, sist.... sama Santi. Tapi di sisi lain, gue bisa ngerti. Apa sih yang bisa diharapin dari gue?" laki-laki itu berkata lirih. Aku menghela nafas, "Lu jangan ngomong gitu lah. Tapi setidaknya dengan begini kan lu tau, dia itu nggak baik buat lu. Buktinya, dia ninggalin lu gara-gara status lu." kataku mencoba menghiburnya. Ardian menarik nafas panjang. Aku mengamati laki-laki yang duduk di hadapanku itu. Dia memang tak pernah gemuk. Tapi tak pernah seringkih ini. Dia tampak jauh lebih tua dari umur sebenarnya. Gerak geriknya lamban dan nafasnya tampak begitu berat. Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti itu. "Berat badan lu turun berapa?" tanyaku pelan. "10 kilo...." jawabnya. "Makan yang bener, bro. Jangan banyak pikiran. Nggak usah mikirin Santi! Ini waktunya lu mikirin diri sendiri. Fokus aja ke kesehatan lu sendiri. Kalo lu sakit, gimana bisa kerja? Sayang amat duit hasil kerja keras lu cuma dipake bayar dokter dan rumah sakit. Enakan dipake liburan." tandasku. Dia tertawa. "Iya. Bener euy... Lu pernah ngomong gitu ke gue ya dulu? Berasa euy, pas bayar rumah sakit teh... nggak rela! Hehehehe" jawabnya sambil terkekeh pelan. "Makasih ya sist..." tiba-tiba dia berkata sambil menggenggam tanganku. "Buat apa? Gue nggak melakukan apa-apa kok.... Cuma nemenin makan doang." kataku. "Buat semua omelannya. Buat nemenin makannya juga." katanya sambil tersenyum.
Ada hening sejenak terjatuh sesaat. "Kemaren gue udah ngomong ke nyokap gue, nanti kalo gue meninggal, gue mau dikubur di mana..." tiba-tiba Ardian berujar. Aku tercekat, "Ih lu mah yaaaa.... tega amat sih sama nyokap lu? Ngapain lu ngomong gitu sih?" aku menjawab dengan kesal. "Kan keluarga harus siap-siap, Tri. Pan lu yang ngajarin gue soal itu mah..." ujarnya. "Ya tapi lu liat-liat situasi dong, Di. Lu lagi sakit kayak gini terus lu ngomong begitu ke nyokap lu. Lu nggak mikirin gimana perasaannya dia, apa? Hadeeeehhhh..." aku mengomel. "Di, keluarga tuh nggak perlu diajarin yang gitu-gitu. Mereka pasti tau harus gimana. Omongan lu itu malah bikin nyokap lu kalut. Kasian dong..." aku meneruskan dengan nada lebih tenang. Ardian hanya diam. "Kenyang..." tiba-tiba dia berhenti memakan buburnya. "Sedikit lagi..." aku mencoba membujuk. Laki-laki itu menurut.
"Gue udah mulai ARV lagi sekarang, sist..." katanya setelah menghabiskan buburnya. "Bagus dong! Mudah-mudahan cepat pulih ya lu..." kataku sambil tersenyum. "Obat gue banyak banget sekarang.... Sampe eneg rasanya kalo minum obat." Ardian sedikit mengeluh. "Minumnya pelan-pelan aja. Jangan buru-buru. Wayahna... kan biar sehat." kataku padanya. Dia mengangguk. "Tri, janji ya... lu sehat terus..." ujarnya tiba-tiba sambil memandangku. Aku tercekat. "Gue pasti usahakan terus, Di..." jawabku sedikit galau. Aku menatapnya lurus-lurus, "Di, lu mendingan balik ke Bandung dulu deh. Biar ada yang ngurusin. Kalo di sini, siapa yang mau ngurusin lu? Di Bandung kan ada nyokap lu. Ada adik lu... Di Bandung aja dulu sampe sehat." aku memberi saran. Ardian hanya tersenyum kecil.
Pukul dua dini hari Ardian mengantarku kembali ke rumah kost-ku. "Kamu hafalin jalan ke sini, hafalin kost nya yang mana. Siapa tau nanti kamu harus ke sini, jemput dia ya?" katanya kepada supir barunya. "Iya pak. Sudah hafal kok." jawab supir muda itu. "Sist, makasih ya udah nemenin. Udah ngomelin. Udah dengerin gue...." katanya sambil memelukku sebelum aku keluar dari mobil. "Iya, Di. Sama-sama. Jangan banyak pikiran. Sehatin badan aja dulu." kataku sok menasehati. "Maafin kalo gue ada salah ya, Tri..." laki-laki itu berujar dengan suara bergetar. "Duuuuh apaan sih lu? Lebaran masih lama! Udah deeeh! Santai aja. Yang penting lu sehat dulu. Balik dulu ke Bandung gih." jawabku sambil mencoba menepis rasa tak enak dengan candaan. Laki-laki itu tertawa kecil, "Ya udah... bye, sist..." katanya. "Don't say goodbye, bro... Say, see you again..." jawabku pelan. "Oh iya.... never say goodbye ya, sist..." jawabnya lagi. "Yes... never say goodbye. Good night, bro." kataku sambil keluar dari mobil.
Dan itu adalah kali terakhir aku bertemu dengan Ardian. Tak lama sejak pertemuan kami malam itu, Ardian menghubungiku, "Tri, gue pamit ya... Gue mau balik ke Bandung. Mau istirahat di sana aja, deket si mama." begitu ujarnya sore itu. "Iya, Di. Baik-baik lah istirahat ya? kalo ada apa-apa, kabari gue." jawabku. Aku yakin Ardian akan sehat kembali. Sudah berapa banyak klien dampingan yang kondisinya sangat buruk tapi akhirnya berhasil sehat kembali? Banyak! Cukup banyak untuk menumbuhkan rasa optimisku kala itu.
Dua atau tiga bulan berselang dari pertemuan itu seorang kawan dari Rumah Cemara menghubungiku, "Bun, udah nengok Ardian?" tanyanya dengan suara cukup serius. "Belum. Tapi gue tau dia sakit sih. Sempat ketemu beberapa bulan yang lalu." jawabku. "Kalo bisa sempetin nengok...." sambungnya lagi. Sayangnya aku tak sempat menjenguk lagi. Tapi aku menyempatkan diri menghubunginya via aplikasi chat. Percakapan kami tak pernah panjang, dan tentu saja aku memakluminya. Kala itu akhir bulan Juli tahun 2017...
Bro, update dong.... Gimana keadaan lu?
Masih ganteng. Cuma agak kurus aja. Sorry ya, Tri... susah pegang HP.
Halah! Ganteng dari Hong Kong??? Ya udah kalo gitu, istirahat aja, Di.Lalu dua mingu kemudian aku kembali menghubunginya. Tepatnya pada tanggal 16 Agustus 2017.
Di, gimana kabarnya? Udah sehat?
Masih pemulihan, sist. Udah di rumah sih... Mohon doanya aja, sist.
Iya atuh. Pasti gue doain, asal lu-nya nggak bandel aja. Istirahat yang bener!
Gue pengen gemuuuukkkk.... :( :( :( Gue di rumah sampe awal September ya, sist.
Kalo pengen gemuk, makan yang bener. Jangan banyak pikiran! Sehat aja dulu lah.
Siap... doanya ya, sist...
Iyaaaaaa12 September 2017
Bro, gimana kabar lu?
---- tak ada balasan ---
Lalu aku mendengar kabar, Ardian kembali masuk rumah sakit. Aku pun mencoba menghubunginya lagi. Pikirku, jika bukan dia, mungkin keluarganya akan membaca pesan dariku dan membalaskan untuknya.
3 Oktober 2017
Bro, kumaha? Udah pulang apa masih di rumah sakit?
--- tak ada balasan ---
Seminggu kemudian aku mendapat kabar, Ardian dalam kondisi kritis... Aku pun cepat-cepat mengirimkan pesan lagi untuknya. Perasaanku tak enak. Dalam hati aku merutuk keputusan Ardian untuk berhenti mengonsumsi ARV beberapa tahun silam.
12 Oktober 2017
Ardi, yang kuat ya lu! Kan masih mau ngopi-ngopi cantik sama gue!
Pesanku tak terbaca. Lalu tibalah hari itu. 13 Oktober 2017. Harimu berpulang. Semua perasaan tak enak yang aku rasakan terjawab sudah. Ngopi-ngopi cantik sambil mengomelimu tinggal rencana saja. Ah, Ardi... ketika kamu menelponku dan mengatakan kamu pamit, ternyata kamu benar-benar pulang ya? Aku sungguh tak ada firasat apapun saat itu. Aku optimis kamu bisa mengatasi situasimu dan akan kembali sehat. Nyatanya memang kita tak punya daya melawan semesta...
Aku bukan orang yang mudah menangis ketika sedang sedih. Aku juga termasuk orang cukup mampu mengendalikan kesedihan, terutama ketika sesuatu yang terjadi sudah bisa aku prediksi sebelumnya. Meskipun aku sempat melihat kondisinya sebelum kembali ke Bandung, sudah tentu aku sedih dengan kepergiannya, he was a really good friend of mine, tapi aku juga yakin ini adalah jalan terbaik baginya. Meskipun begitu, aku tetap menyimpan rasa dongkol karena dia terus membandel jika diberitahu. Tapi aku juga sadar sepenuhnya, aku tak ada hak mencampuri keputusannya dalam hal kesehatan. Sayangnya, menurutku dia tak mengambil keputusan-keputusan yang bijak untuk dirinya sendiri.
You will be missed terribly, bro.... See you again someday!
[this is a late birthday present for you, bro... for your birthday on 17 March 2018]
No comments:
Post a Comment