Kala itu awal tahun 2007. Anton, Koordinator Lapanganku memanggilku sepulang aku dari rumah sakit. "Rat, nanti bakal ada yang dateng. Cowok sama ceweknya. Cowoknya temen lama gue sih... Pada baru tau status. Cowoknya biar sama gue, ceweknya lu yang handle ya?" dia memberikan briefing kepadaku. Aku mengangguk. "Lu ajak ngobrol lah ceweknya. Dia kena dari cowoknya, jadi agak stress gitu. Ya... lu liat aja nanti deh, pasti lu lebih tau gimana cara nanganinya." Anton menyambung brief-nya. Lagi-lagi aku mengangguk.
Tiga puluh menit kemudian sebuah sedan Mercedes merapat di depan kantor kami. Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Terlihat sepasang perempuan dan laki-laki turun. "Itu bukan, Ton?" tanyaku kepada Anton yang duduk di sampingku. Anton ikut melempar pandangan ke luar, "Iya. Itu mereka. Biar gue dulu yang ngobrol, ntar lu gue panggil ya? Gue kenalin ke ceweknya." ujar Anton kepadaku. "Oke!" aku menjawab sambil beranjak menuju ruang tengah kantor. Bergabung dengan teman-teman lainnya.
Cukup lama juga Anton bercakap-cakap dengan kedua orang itu. Aku bisa menghabiskan empat batang rokok! "Rat, sini. Kenalin, ini temen gue, Reyno. Yang ini ceweknya, Mila. Mil, ini Ratri yang tadi gue ceritain." Anton memperkenalkanku kepada pasangan itu. "Halo!" sapaku sambil mengulurkan tangan. Reyno tersenyum lebar dan menjabat erat tanganku. Setelah itu ganti Mila yang menjabat tanganku sambil tersenyum kecil. "Rat, lu ajakin Mila ngobrol aja di ruang depan. Biar lebih enak. Sesama cewek gitu lah..." Anton memberi kode kepadaku. Aku mengangguk dan mengajak Mila masuk ke ruang konseling. Gadis itu menurut saja. Membuntutiku.
"Di sini boleh ngerokok nggak?" Mila bertanya sambil mengambil tempat duduk. "Boleh kok. Aku juga ngerokok." kataku sambil menaruh asbak di atas meja. Gadis itu merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Aku mengamatinya. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, badannya tinggi semampai, rambutnya panjang tergerai dicat coklat tua kontras dengan warna kulitnya yang putih... Sungguh penampilannya cocok untuk jadi model catwalk. Ekspresi galau dan kalut tak bisa disembunyikannya. Aku membiarkannya menikmati rokoknya terlebih dahulu. Mila menebar pandangannya ke seluruh ruangan yang dicat hijau itu. "Tadi banyak orang di belakang, itu staff sini semua?" dia bertanya. "Ada yang staff, ada juga yang teman. Kadang banyak yang suka main ke sini sekedar nyari zona aman dan nyaman aja sih..." aku menjelaskan sambil memantik sebatang rokok. "Yang kerja di sini semuanya sama ya?" Mila bertanya lagi, aku tersenyum. Gadis itu pasti merujuk kepada status HIV atau latar belakang sebagai pengguna napza, "Nggak kok. Sebagian besar memang iya. Tapi ada beberapa yang nggak. Kenapa?" aku balik bertanya. Gadis itu tertawa kecil, "Kirain... Tapi hebat ya, yang sama... Nggak ngeliatin kalo sedih atau galau." ujarnya lagi. Giliran aku yang tertawa kecil, "Masa-masa sedih dan galaunya udah pada lewat, Mil. Hehehehe" Mila pun tersenyum.
"Aku nanti bisa nggak ya seperti kalian gitu?" tiba-tiba dia berkata sambil menatapku dengan mata yang sayu. "Emangnya kenapa?" aku mulai mengorek. "Yaaaa.... bisa nggak ya, aku hilang galau sama bingungnya. Lepas. Santai. Seperti kalian semua di sini gitu deh... Seperti nggak ada apa-apa..." ujarnya sedikit mengawang. "Kenapa harus nggak bisa?" aku masih mencoba memantik pembicaraan. Gadis itu menghela nafas panjang, lalu mengacak rambutnya yang panjang terurai. "Aku nggak tau, Rat... Nggak tau harus gimana. Aku bingung banget! Kaget. Marah. Kesal. Bingung. Sedih. Ah, pokoknya mah campur aduk lah!" Mila mulai membuka kisahnya. Aku pun bersiap mendengarkan.
Lalu mengalirlah kisah dari bibir Mila. Dia merantau dari kawasan kaki gunung Galunggung ke Bandung untuk kuliah. Di tengah kuliahnya, dia berkenalan dengan Reyno. Wajahnya yang cantik membuat Reyno langsung jatuh hati. Mila datang dari keluarga biasa saja, sementara Reyno anak orang kaya. Dulu penampilan Mila lugu dan tidak modis, Reyno lah yang mendandaninya habis-habisan dan memasukkannya ke sebuah kursus modeling di Bandung. Sambil kuliah, Mila sering juga bekerja sambilan sebagai model dan SPG rokok dari merk ternama. Semua berkat jasa Reyno. Mila yang lugu dipermak habis jadi gadis kota yang gaul dan modis. Reyno juga menanggung biaya kost Mila agar bisa tinggal di tempat kost yang lebih nyaman dan tentunya lebih mahal. Sebagai timbal baliknya Mila memacari Reyno. Sudah bisa ditebak ke mana arah cerita ini selanjutnya. Hubungan intim tak terelakkan. Mila yang merasa berhutang budi kepada Reyno tak kuasa menolak keinginan laki-laki itu. "Lagian semua orang yang pacaran juga kayaknya ML deh. Kalo nggak ML tuh malah aneh." begitu dalih gadis itu. Setiap kali berhubungan intim, Reyno tidak pernah mau menggunakan kondom. Mila yang takut hamil akhirnya dibekali pil KB. Klasik! Kondom selalu hanya dianggap sebagai alat kontrasepsi pencegah kehamilan, sehingga ketika lelaki enggan menggunakannya, solusi yang terpikir hanyalah memberikan pil anti-hamil kepada perempuan. Jelas pil ini tidak mencegah penularan infeksi menular seksual (IMS), HIV ataupun Hepatitis C. Ujung-ujungnya hamil tidak, HIV iya.
Setelah sekian lama berpacaran, Mila akhirnya tahu kalau Reyno suka mengonsumsi putaw, sabu dan inex. Bahkan Reyno sering mengajak Mila untuk ikut menggunakan sabu dan inex. "Kalo putaw aku nggak mau. Soalnya kan disuntik. Aku takut sama jarum suntik. Pernah Reyno mau nyuntikkin, tapi aku tolak. Aku bilang, aku tetep takut pokoknya. Akhirnya dia nggak nyuruh lagi sih... Jadi aku nyabu aja sama nginex." gadis itu berujar sambil menyalakan batang rokok berikutnya. Setiap kali pergi clubbing keduanya selalu mengonsumsi sabu atau inex, atau bahkan keduanya. "Awalnya sih aku enjoy aja. Fun gitu deh. Tapi kalo tiap weekend harus terus-terusan clubbing pake begituan 'kan kayaknya capek banget ya, Rat? Kadang aku tuh males, tapi Reyno marah kalo aku nggak pake. Akhirnya aku pake juga deh." gadis itu menatapku dengan sendu. "Kalo lagi marah, Reyno ngomongnya suka nggak enak. Suka ngungkit-ungkit yang dulu. Ngungkit soal jasanya dia ke aku lah. Katanya, aku tuh diangkat sama dia sampe bisa kayak sekarang. Kalo nggak ada dia, nggak tau lah aku jadi apa. Mungkin cuma jadi perek, gitu katanya." Mila bertutur dengan suara bergetar. Ini bukan kali pertama aku mendengar kisah serupa itu. Sudah terlalu sering aku mendengar kisah balas budi antara perempuan dan laki-laki yang berakhir pada emotional blackmail seperti ini.
Mila tidak tahu persis bagaimana cara Reyno mengonsumsi putaw. Ketakutannya akan jarum suntik selalu membuatnya keluar dari ruangan ketika Reyno sedang pakau bersama teman-temannya. Tapi satu hal yang Mila tahu, Reyno sering berbagi jarum suntik dengan teman-temannya. "Aku tuh cuma nggak ngerti, kenapa nggak masing-masing aja insulnya? Kan jorok ya, Rat? Ibarat kata, sikat gigi pakenya gantian gitu loh kalo buat aku mah. Tapi Reyno bilang beli insul nggak gampang. Kalo belinya kebanyakan, ntar suka ditanya-tanya. Ribet. Makanya satu aja rame-rame. Sebenernya dia tuh suka punya lebih, tapi disimpen buat pake berikutnya." Penggunaan jarum suntik secara bergantian memang biasanya untuk alasan ekonomi. Selain sulit mendapatkannya, juga harganya tidak terlalu murah. Kadang malah jarum suntik bekas yang sudah tumpul pun diakali agar bisa dipakai lagi. Ngeri memang, tapi jika adiksi sudah menguasai kadang pengguna tak punya daya untuk melawan. Adakalanya pengguna juga bukan tak tahu bahwa penggunaan jarum suntik beramai-ramai punya resiko tinggi terinfeksi HIV atau Hepatitis C, tapi ketika sakaw sudah melanda, logika seolah tergadai. Resiko yang mengintai serasa tak ada artinya jika dibandingkan dengan sakitnya tulang saat sakaw.
Beberapa tahun berlalu, tiba-tiba Reyno terserang herpes. Dokter yang memeriksanya pun curiga dan menyuruhnya untuk melakukan tes HIV. Sudah bisa dipastikan hasilnya positif, maka Mila pun mengikuti jejaknya untuk melakukan tes. Hasilnya juga positif. Mila kesal dan marah kepada Reyno. Gadis itu sudah sempat bersiap akan memutuskan Reyno dan keluar dari tempat kost-nya, tapi laki-laki itu berkata, "Cowok mana yang mau sama kamu kalo udah punya penyakit kayak gini? Bakalan cuma aku aja yang mau sama kamu. Nggak peduli kamu cantik, kalo ketauan kamu ada HIV, orang pasti minggir semua!" gadis itu tercekat, lalu mengurungkan niatnya. "Jadi aku teh stuck sama dia selamanya, Rat..." ujarnya sambil tersenyum getir. "Udah nasib! Aku teh gadis kampung, sok-sok'an mau jadi anak kota... Jadinya gini deh. Apes!" Mila merutuk pelan. Aku menghela nafas...
"Jadi sekarang aku harus gimana, Rat?" gadis itu bertanya sambil mengalihkan pandangannya kepadaku. Aku menatapnya lekat-lekat, "Mil, kamu tuh cantik. Masih muda, lagi. Kamu masih bisa loh nentuin masa depan kamu sendiri. Nggak usah tergantung sama Reyno. Kamu kan bisa kerja atau nerusin jadi model..." aku memberikan saran. "Reyno ngancem, kalo aku ninggalin dia, dia bakal buka semuanya ke orang tua aku, Rat. Abah aku bisa jantungan. Mamah aku pasti sedih juga. Aku bener-bener stuck sama dia." gadis itu berkata dengan mata berkaca-kaca. Aku baru akan membuka mulutku ketika pintu ruangan tiba-tiba dibuka. "Yank, ayo! Kita 'kan masih mau jalan lagi." Reyno berkata dari ambang pintu. Mila pun bergegas membereskan barang-barangnya. Untungnya kami sempat bertukar nomor telepon sebelum keduanya meninggalkan kantor. "Kapan-kapan aku mau ketemuan tapi kita aja ya, Rat." bisik gadis itu pelan. Aku mengangguk. "Kabarin aja." jawabku sambil memeluknya.
Selepas pertemuan hari itu aku berkomunikasi dengan Mila lewat pesan singkat. Namun beberapa kali rencana untuk bertemu selalu gagal karena Reyno enggan melepas Mila dari genggamannya. Gadis itu tak boleh bepergian tanpanya. Bahkan ketika sudah janjian dengan Reyno pun, akhirnya gagal. Rat, sorry nih, hari ini nggak jadi ke RC, Reyno ngajakin ke Garut. Katanya ada orang pinter di sana yang bisa mindahin penyakit ke ayam. Dia ngotot mau coba. Aku nggak tau lagi deh harus ngomong apa. Udah nggak rasional banget. Dia juga nyabu terus. Padahal dia udah janji nggak akan nyabu lagi. Dia bohongin aku, Rat. Bilangnya mau minum obat terus, tapi aku liat obatnya nggak berkurang. Pas aku tanyain, dianya malah marah. Trus habis itu nangis-nangis. Sujud-sujud ke aku. Kayak orang gila! Begitu isi pesan singkat yang masuk ke telepon genggamku siang itu. What the....???? - aku merutuk sambil ternganga. Sudah era teknologi seperti ini pun ternyata masih ada orang yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Bukan orang tak berpendidikan, bukan orang miskin. Justru orang kota yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas bergengsi dan hidup serba berkecukupan yang memilih untuk percaya pada hal-hal absurd itu. Akupun menunjukkan isi pesan singkat itu kepada Anton. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, "Makin aneh aja tuh anak. Kemarenan dia emang sempet ngomongin soal ini ke gue. Dia bilang katanya ada yang bisa mindahin penyakit, tapi ke gue dia bilangnya dipindahin ke kambing. Terus dia mau coba. Alesannya, 'kita kan harus mengusahakan segala cara, Ton.' Nggak masuk akal pisan!" Anton berkata setengah mengomel. "Gue kasian sama Mila-nya, Ton. Dia diseret-seret terus, padahal dia nggak mau." aku menyampaikan pemikiranku kepada Anton. Laki-laki itu hanya mengangkat bahu, "Lu tau kan ceritanya mereka? Susah, Rat. Reyno udah banyak ngeduitin Mila, jadinya sekarang Mila-nya kepasung. Hese lah, Rat..." Anton kembali menggelengkan kepalanya dengan wajah putus asa. "Si eta teh loba duit, tapi ai hulu eusina teu pararuguh wae. Geus aral sigana mah euy... Teuing desperate oge, meureun!" Anton meneruskan ucapannya dalam bahasa Sunda.
[red: Dia itu banyak duit tapi isi kepalanya tak karuan terus. Mungkin sudah kacau. Entah putus asa juga, mungkin!]
Sejak kabar kepergian keduanya ke Garut, aku kesulitan menghubungi Mila. Jangankan bertemu, pesan singkat dan teleponku pun tak dibalasnya. Aku bingung karena aku belum sempat membuat perencanaan kesehatan untuknya. Boro-boro perencanaan kesehatan, curhatnya kepadaku saja belum tuntas. Aku merasa gadis itu masih memiliki banyak hal yang ingin diceritakannya kepadaku, hanya saja ruang geraknya terbatas karena Reyno selalu mengantar ke mana pun dia pergi. Setiap hari aku mencoba menghubunginya, tapi nihil. Hingga suatu hari sebuah pesan singkat masuk darinya, Rat, sorry ya aku ngilang. Reyno ngebuntut terus euy. Aku jadi nggak bisa gerak. Ini aja aku SMS kamu sambil ke toilet. HP aku sering dicek sama dia. Nggak tau, dia teh jadi aneh. Dia nggak mau lagi ketemu Anton, padahal itu teh temen lamanya da. Aku juga dibilang nggak usah ketemu kamu. Ini aku lagi mau ke Tasik, mau ketemu kyai. Jangan bales SMS aku ya? Aku cuma mau kabarin kamu aja. Aku terpana membaca isi pesan singkat itu, tak tahu harus berkata apa. Mila sebenarnya punya kesempatan untuk lepas dari Reyno, tapi sepertinya dia sudah dicuci otaknya sedemikian rupa hingga dia merasa tak bisa melakukan apapun selain bergantung pada laki-laki itu. Aku pasrah, hanya berharap Mila bisa menumbuhkan keberanian untuk berontak.
Sebulan kemudian Reyno dan Mila muncul kembali di kantor. Aku kaget sekaligus senang. Seperti biasa Anton mengajak Reyno mengobrol sementara aku mengambil alih Mila di ruangan lain. Sayangnya, aku harus menyampaikan sebuah kabar kepadanya. Aku baru saja diterima bekerja di sebuah organisasi regional di Malaysia dan aku harus pindah ke Kuala Lumpur akhir tahun itu. "Kamu apa kabarnya Mil? Baik-baik aja kan semua?" tanyaku sedikit khawatir karena melihat wajah cantiknya yang kuyu. "Capek aku, Rat. Diajak nyabu terus. Aku nggak mau sebenernya mah.... Udah nggak enjoy. Tapi Reyno maksain terus. Minta ditemenin. Aku suruh dia nyabu sama temen-temennya aja tapi katanya temen-temennya pada ngejauh, nggak tau kenapa." ujarnya sedikit tersendat. Jemarinya yang lentik meraih rokok dari dalam tasnya lalu menyalakannya. "Dia teh kan udah dikasih obat ya sama dokter, tapi nggak pernah diminum. Kalo diingetin teh ngambek. Bilangnya aku sok tau, nyuruh-nyuruh dia minum obat. Katanya mendingan nyabu aja daripada minum obat. Ah, pusing da aku mah!" ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Aku terdiam sejenak. "Kamu sendiri gimana? Udah cek CD4 apa belum?" tanyaku. Gadis itu menggeleng. "Boro-boro, Rat! Aku ke mana-mana dianter. Udah kayak orang tahanan kota. Nggak dilepas sendiri. Aku pernah minta dianter ke Prodia buat tes, tapi Reyno nggak mau. Buang-buang duit aja katanya, toh nantinya juga kita bakal mati. Masa' dia ngomongnya gitu, coba?" Mila menghembuskan nafas panjang. "Nggak tau lah! Biarin aja." sambungnya dengan nada kesal. "Ini aja tumben banget ngajakin ke sini. Aku udah bolak balik ngajakin tapi dia nggak pernah mau. Terus, tadi pagi tiba-tiba dia ngajakin. Mungkin ada perlu sama Anton. Kalo keperluanku mah nggak pernah dipeduliin sama dia..." ujarnya lagi. "Kamu nggak bisa rada keukeuh gitu ke dia?" aku jadi ikut jengkel. Mila tertawa getir, "Ributnya itu euy malesin! Kemarin pas ke Tasik, akhirnya pulangnya kan mampir di rumah aku ya, eh dia teh tiba-tiba ngelamar aku ke orang tua aku loh, Rat. Nggak tanya-tanya aku dulu. Ya si mamah sama abah mah seneng-seneng aja karena nggak tau 'kan Reyno itu gimana. Tapi aku teh, yang mau dikawin, kok kayak nggak dianggap ada. Dipaksa nurut aja... Kesel sih sebenernya, tapi abah udah terima lamarannya. Aku jadi nggak bisa apa-apa..." Mila menuturkan kisahnya. Aku? Terpana. "Ya mudah-mudahan mah nanti dia jadi bener." Mila mematikan rokoknya sambil berkata dengan penuh harap.
"Mil, aku akhir taun ini bakalan pindah ke Malaysia. Nanti kamu aku kenalin sama Reni ya? Dia staff sini juga, sama kayak aku. Nanti kamu dipegang dia. Anaknya asyik kok. Enak diajak ngobrol. Rame. Lucu." kataku sedikit hati-hati. Tidak semua klien dampingan mau dipindahtangankan. Semua tergantung kecocokan dan kenyamanan masing-masing. Tapi aku tak punya pilihan lain. "Yaaaah... terus aku gimana dong nanti? Kalo nggak cocok gimana? Aku udah nyaman sama kamu, Rat... Duh, males euy kalo harus ganti orang mah..." gadis itu berkata dengan nada kecewa. Aku jadi tak enak hati. "Ya nanti aku kenalin dulu. Ada kok orangnya di sini. Sebentar ya?" aku sedikit memaksa. Gadis itu mengangguk dengan malas-malas. Aku pun keluar ruangan untuk memanggil Reni. Sekejap kemudian aku kembali bersama Reni, "Mila, kenalin ini Reni. Nanti setelah aku nggak ada, Reni yang bantu kamu ya?" kataku. Reni tersenyum, "Halo!" sapanya sambil mengulurkan tangan. Mila tersenyum kecil. "Nanti kita tukeran nomer HP aja ya, Mil?" ujar Reni ramah. Mila tersenyum, "Nanti aku minta aja ke Ratri." tandasnya. Reni mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Mila menoleh kepadaku, "Nggak tau euy aku bakalan cocok apa nggak sama dia." belum-belum Mila sudah apatis. "Dicoba dulu atuh, neng. Kenalan dulu. Kan baru juga ketemu selewat. Semua staff di sini kan dikasih training yang sama, malah Reni mah udah lebih senior dari aku. Dia pasti bisa lebih bagus lagi ngedampingin kamunya." aku mencoba menghiburnya. Mila hanya menggedikkan bahunya saja.
Setahun berlalu sejak aku berpamitan dengan Mila. Sebelum resign, aku mewanti-wanti Reni tentang Mila dan meminta Reni bersabar menghadapi gadis itu. Aku yakin Mila berada di tangan yang tepat. Aku sedang menulis laporan di kantorku di Kuala Lumpur ketika notifikasi web messenger milikku muncul. Deden.
Teteh, ini Deden. Masih inget nggak?
[red: Manajer Kasus]
Jantungku nyaris berhenti berdetak. Mila! Dia memang tak pernah mengatakan dengan pasti dari mana dia berasal, "Aku aslinya dari daerah Galunggung, Rat" begitu dia dulu bercerita kepadaku.
[red: Dia itu banyak duit tapi isi kepalanya tak karuan terus. Mungkin sudah kacau. Entah putus asa juga, mungkin!]
Sejak kabar kepergian keduanya ke Garut, aku kesulitan menghubungi Mila. Jangankan bertemu, pesan singkat dan teleponku pun tak dibalasnya. Aku bingung karena aku belum sempat membuat perencanaan kesehatan untuknya. Boro-boro perencanaan kesehatan, curhatnya kepadaku saja belum tuntas. Aku merasa gadis itu masih memiliki banyak hal yang ingin diceritakannya kepadaku, hanya saja ruang geraknya terbatas karena Reyno selalu mengantar ke mana pun dia pergi. Setiap hari aku mencoba menghubunginya, tapi nihil. Hingga suatu hari sebuah pesan singkat masuk darinya, Rat, sorry ya aku ngilang. Reyno ngebuntut terus euy. Aku jadi nggak bisa gerak. Ini aja aku SMS kamu sambil ke toilet. HP aku sering dicek sama dia. Nggak tau, dia teh jadi aneh. Dia nggak mau lagi ketemu Anton, padahal itu teh temen lamanya da. Aku juga dibilang nggak usah ketemu kamu. Ini aku lagi mau ke Tasik, mau ketemu kyai. Jangan bales SMS aku ya? Aku cuma mau kabarin kamu aja. Aku terpana membaca isi pesan singkat itu, tak tahu harus berkata apa. Mila sebenarnya punya kesempatan untuk lepas dari Reyno, tapi sepertinya dia sudah dicuci otaknya sedemikian rupa hingga dia merasa tak bisa melakukan apapun selain bergantung pada laki-laki itu. Aku pasrah, hanya berharap Mila bisa menumbuhkan keberanian untuk berontak.
Sebulan kemudian Reyno dan Mila muncul kembali di kantor. Aku kaget sekaligus senang. Seperti biasa Anton mengajak Reyno mengobrol sementara aku mengambil alih Mila di ruangan lain. Sayangnya, aku harus menyampaikan sebuah kabar kepadanya. Aku baru saja diterima bekerja di sebuah organisasi regional di Malaysia dan aku harus pindah ke Kuala Lumpur akhir tahun itu. "Kamu apa kabarnya Mil? Baik-baik aja kan semua?" tanyaku sedikit khawatir karena melihat wajah cantiknya yang kuyu. "Capek aku, Rat. Diajak nyabu terus. Aku nggak mau sebenernya mah.... Udah nggak enjoy. Tapi Reyno maksain terus. Minta ditemenin. Aku suruh dia nyabu sama temen-temennya aja tapi katanya temen-temennya pada ngejauh, nggak tau kenapa." ujarnya sedikit tersendat. Jemarinya yang lentik meraih rokok dari dalam tasnya lalu menyalakannya. "Dia teh kan udah dikasih obat ya sama dokter, tapi nggak pernah diminum. Kalo diingetin teh ngambek. Bilangnya aku sok tau, nyuruh-nyuruh dia minum obat. Katanya mendingan nyabu aja daripada minum obat. Ah, pusing da aku mah!" ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Aku terdiam sejenak. "Kamu sendiri gimana? Udah cek CD4 apa belum?" tanyaku. Gadis itu menggeleng. "Boro-boro, Rat! Aku ke mana-mana dianter. Udah kayak orang tahanan kota. Nggak dilepas sendiri. Aku pernah minta dianter ke Prodia buat tes, tapi Reyno nggak mau. Buang-buang duit aja katanya, toh nantinya juga kita bakal mati. Masa' dia ngomongnya gitu, coba?" Mila menghembuskan nafas panjang. "Nggak tau lah! Biarin aja." sambungnya dengan nada kesal. "Ini aja tumben banget ngajakin ke sini. Aku udah bolak balik ngajakin tapi dia nggak pernah mau. Terus, tadi pagi tiba-tiba dia ngajakin. Mungkin ada perlu sama Anton. Kalo keperluanku mah nggak pernah dipeduliin sama dia..." ujarnya lagi. "Kamu nggak bisa rada keukeuh gitu ke dia?" aku jadi ikut jengkel. Mila tertawa getir, "Ributnya itu euy malesin! Kemarin pas ke Tasik, akhirnya pulangnya kan mampir di rumah aku ya, eh dia teh tiba-tiba ngelamar aku ke orang tua aku loh, Rat. Nggak tanya-tanya aku dulu. Ya si mamah sama abah mah seneng-seneng aja karena nggak tau 'kan Reyno itu gimana. Tapi aku teh, yang mau dikawin, kok kayak nggak dianggap ada. Dipaksa nurut aja... Kesel sih sebenernya, tapi abah udah terima lamarannya. Aku jadi nggak bisa apa-apa..." Mila menuturkan kisahnya. Aku? Terpana. "Ya mudah-mudahan mah nanti dia jadi bener." Mila mematikan rokoknya sambil berkata dengan penuh harap.
"Mil, aku akhir taun ini bakalan pindah ke Malaysia. Nanti kamu aku kenalin sama Reni ya? Dia staff sini juga, sama kayak aku. Nanti kamu dipegang dia. Anaknya asyik kok. Enak diajak ngobrol. Rame. Lucu." kataku sedikit hati-hati. Tidak semua klien dampingan mau dipindahtangankan. Semua tergantung kecocokan dan kenyamanan masing-masing. Tapi aku tak punya pilihan lain. "Yaaaah... terus aku gimana dong nanti? Kalo nggak cocok gimana? Aku udah nyaman sama kamu, Rat... Duh, males euy kalo harus ganti orang mah..." gadis itu berkata dengan nada kecewa. Aku jadi tak enak hati. "Ya nanti aku kenalin dulu. Ada kok orangnya di sini. Sebentar ya?" aku sedikit memaksa. Gadis itu mengangguk dengan malas-malas. Aku pun keluar ruangan untuk memanggil Reni. Sekejap kemudian aku kembali bersama Reni, "Mila, kenalin ini Reni. Nanti setelah aku nggak ada, Reni yang bantu kamu ya?" kataku. Reni tersenyum, "Halo!" sapanya sambil mengulurkan tangan. Mila tersenyum kecil. "Nanti kita tukeran nomer HP aja ya, Mil?" ujar Reni ramah. Mila tersenyum, "Nanti aku minta aja ke Ratri." tandasnya. Reni mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Mila menoleh kepadaku, "Nggak tau euy aku bakalan cocok apa nggak sama dia." belum-belum Mila sudah apatis. "Dicoba dulu atuh, neng. Kenalan dulu. Kan baru juga ketemu selewat. Semua staff di sini kan dikasih training yang sama, malah Reni mah udah lebih senior dari aku. Dia pasti bisa lebih bagus lagi ngedampingin kamunya." aku mencoba menghiburnya. Mila hanya menggedikkan bahunya saja.
Setahun berlalu sejak aku berpamitan dengan Mila. Sebelum resign, aku mewanti-wanti Reni tentang Mila dan meminta Reni bersabar menghadapi gadis itu. Aku yakin Mila berada di tangan yang tepat. Aku sedang menulis laporan di kantorku di Kuala Lumpur ketika notifikasi web messenger milikku muncul. Deden.
Teteh, ini Deden. Masih inget nggak?
Masih dong! Apa kabar?
Baik teh. Deden sekarang jadi MK untuk daerah Tasik dan Garut.
Waaaah hebat euy! Gimana rasanya jadi MK?
Yaaa gini aja teh. Repot tapi senang bisa bantu orang.
Tumben nih ngontak aku. Ada apa?
Teteh kan sekarang di Malaysia ya? Betah nggak teh?
Iya, Den. Yaaa lumayan deh, banyak belajar hal baru.
Nggak teh... Jadi gini, ada klien dampingan Deden di daerah sini kemarin cerita. Dia pindahan dari Bandung. Dari ceritanya mah katanya MK-nya dulu baru sebentar terus pindah ke Malaysia. Deden teh keingetan teteh jadinya. Kan MK Bandung yang pindah ke Malaysia mah cuma teh Ratri aja. Nggak ada yang lain.[red: Manajer Kasus]
Jantungku nyaris berhenti berdetak. Mila! Dia memang tak pernah mengatakan dengan pasti dari mana dia berasal, "Aku aslinya dari daerah Galunggung, Rat" begitu dia dulu bercerita kepadaku.
Cewek apa cowok, Den?
Cewek teh.
Boleh tau namanya siapa?
Mila.
Aku tersedak. Kaget sekaligus senang karena ternyata semesta sudi berkonspirasi dan menyampaikan kabar tentang dia kepadaku. Aku memang sedikit khawatir karena terakhir kali aku bertanya kepada Reni, "Agak susah open euy ke gue. Biarin lah. Mungkin butuh waktu. Kalo diajak ngobrol suka susah. Di-SMS lama pisan ngebalesnya." begitu jawaban Reni kepadaku dua atau tiga bulan setelah aku pindah ke Malaysia.
Ya ampun! Iyaaaaa itu dampingan aku, Den! Gimana kabarnya dia sekarang? Sehat? Eh, tapi kok di area kamu? Nggak di Bandung lagi ya dia?
Teh, punten ini bakal rada panjang Deden ngetiknya....
Nafasku sedikit tertahan membaca pesan dari Deden. Jangan-jangan.... Ah, tidak! Aku segera menepis pikiran buruk di kepalaku.
Lalu aku pun mulai membaca kalimat demi kalimat yang diketik Deden dengan dada bergemuruh... Memang bukan apa yang terlintas dalam kepalaku sebelumnya, tapi tak lebih baik juga...
Mila baru saja melahirkan seorang bayi perempuan di kampung halamannya. Tak lama setelah kepindahanku ke Malaysia, Mila dan Reyno menikah. Beberapa bulan kemudian, Mila pun hamil dan ketika masuk ke usia kehamilan tiga bulan, Reyno membawa Mila pulang ke rumah orang tuanya dengan alasan, "Cewek kalo hamil 'kan enakan deket sama ibunya." Mila pun setuju. Reyno berjanji akan datang menjenguk dua minggu sekali. Semua berjalan dengan lancar. Dua minggu sekali Reyno datang menjenguk sambil membawa berbagai keperluan untuk Mila dan janin yang dikandungnya. Tak lupa dia pun memberi uang belanja. Jika Mila perlu tambahan, uang akan ditransfer oleh Reyno dari Bandung. Namun memasuki usia kehamilan bulan keenam, Reyno mulai jarang berkunjung. Kalaupun datang, jadwalnya tak tentu. Uang belanja pun mulai tersendat. Sebulan sebelum jadwal persalinannya, Mila berusaha keras menghubungi Reyno dan memintanya untuk menemani proses persalinan. "Gimana juga ini kan kelahiran anak pertama kamu." begitu tulis Mila dalam pesan singkatnya untuk Reyno yang dikirimkan via nomor ibunya. Pesan itu tak berbalas. Hingga tiba waktunya Mila untuk melahirkan, Reyno tak muncul juga. Keluarganya juga tak ada yang datang sekedar untuk mewakili. Pun tak ada uang yang dikirimkan untuk biaya persalinan. Mila dan orang tuanya harus mengusahakan sendiri. Beruntung Mila tidak boros. Sebagian uang kiriman yang selama ini masuk ke tabungannya memang tidak dihabiskan, dan Mila juga masih punya sedikit sisa tabungan. Seluruhnya nyaris terkuras habis untuk biaya persalinan dan kebutuhan si bayi selama beberapa bulan. Mila mencoba menghubungi Reyno, tapi nomornya tidak aktif. Mila mencoba menghubungi keluarga Reyno, tapi teleponnya tak pernah dijawab dan pesan singkatnya tak pernah dibalas. Mila pun putus asa. Sekarang Mila dan anaknya hidup ditanggung oleh orang tuanya di kampung. Reyno benar-benar menghilang tanpa jejak.
Sekarang Deden lagi usahakan bantuan susu formula dari Dinsos, teh. Kasian Mila. Buat beli susu aja dia nggak punya uang. Kadang bayinya dikasih air tajin.
Ya Tuhan... Kamu udah coba hubungi lewat Anton?
Udah teh. Anton sama Reni juga udah nyoba bantuin cari Reyno, tapi nggak ketemu. Nggak tau ke mana ngilangnya itu orang. Tega pisan ngebuang istri. Nggak ngerti da Deden mah....
Terus, bantuan susunya udah dapet, Den?
Udah masuk list, teh. Akhir bulan ini mulai dikasih. Lumayan lah buat enam bulan ke depan. Nanti setelah itu Deden ajukan lagi. Deden juga cari-cari tambahan yang lain buat nambal.
Koordinasi aja sama Anton dan Reni, Den.
Iya teh. Kemarenan Mila pas cerita soal teteh teh bilang kangen, cenah. Udah lama nggak kontak. Sejak teteh pindah, dia kan ganti nomor HP, jadi nomor kontaknya hilang semua. Sekarang dia nggak ada HP lagi, teh. Udah dijual. Deden juga kalo ngontak ke HP tetangganya.
Kalo ketemu nanti salam dari aku ya, Den.
Iya teteh... Mudah-mudahan sih cepat dapet solusi. Nanti kalo anaknya udah agak besar, Mila mau mulai kerja buat bantu-bantu orang tuanya. Kuliahnya kan DO kemaren juga, teh. Da dibawa nggak bener terus, katanya, sama suaminya. Tapi dia masih berharap bisa bangkit sendiri. Kata Mila, harusnya dia nekad aja ninggalin Reyno, nurutin saran teteh. Cuma dianya nggak ada keberanian dulu mah...
Iya, Den. Semoga dia bisa belajar dari pengalaman pahitnya ya? Dan bisa mandiri. Anaknya juga harus tes. Karena aku yakin mereka punya anaknya nggak pake program dari dokter kan?
Iya teteh. Deden udah sampaikan ke Mila, nanti anaknya umur 1,5 taun harus tes HIV untuk memastikan. Deden juga rada hariwang. Mudah-mudahan mah nggak ada masalah.
Status pernikahan Mila pun menggantung tak jelas. Tidak dibiayai oleh suami, tapi tak dicerai juga. Suami menghilang tak tentu rimbanya pula. Aku jelas berharap Mila akan mampu menemukan jalan keluar bagi dirinya sendiri. Tak terkira sedih yang aku rasakan ketika membaca pesan-pesan dari Deden. Mila yang cantik dan memiliki potensi, harus tersia-sia begitu saja. Mila adalah contoh klasik emotional blackmail yang dialami banyak perempuan. Jebakan hutang budi yang berujung kesia-siaan. Itulah mengapa aku selalu menegaskan bahwa perempuan perlu memiliki kemandirian finansial agar tak menggantungkan hidup sepenuhnya pada orang lain. Bukan apa-apa, dan bukan hanya karena ketergantungan yang satu ini seringkali disalahgunakan untuk memasung perempuan, tapi juga karena perempuan perlu memikirkan contingency plan jika terjadi apa-apa dengan pasangan mereka. Beruntung Mila merasa menemukan harapan baru pada anak yang dilahirkannya, "Aku nggak mau anak ini ngalamin apa yang aku alamin, Aa." begitu ujarnya kepada Deden.
Semoga semakin sedikit perempuan yang bernasib seperti Mila. Dan semoga Mila tetap teguh membentangkan asanya hingga dia mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri...
Semoga semakin sedikit perempuan yang bernasib seperti Mila. Dan semoga Mila tetap teguh membentangkan asanya hingga dia mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri...
No comments:
Post a Comment