Wednesday, 2 May 2018

Aku Masih Menunggu....

Kala itu baru beberapa bulan aku mengetahui status HIV-ku. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, kabar tentang sakitnya mantan suamiku dan tertularnya aku diam-diam menyebar di kalangan mantan teman sejawatku di hotel. Dee menjadi juru bicaraku jika ada yang bertanya. Saat itu dia sudah lebih berlapang dada ketika harus mengonfirmasi berita tentang statusku. Tak terlalu emosional lagi.
Lalu pada suatu hari Linda, salah seorang teman dari hotel lamaku mengajakku bertemu. "Kangen." begitu dia mengatakan padaku di telepon. Aku pun menyambut ajakannya untuk bertemu di sebuah kedai kopi sepulang kerja. Begitu melihatku, Linda berdiri menyambutku dan memelukku erat, "Aduh Ra.... aku kangen banget lho sama kamu! Gimana? Sehat?" ujarnya penuh semangat. Aku mengangguk, "Yaaa seperti yang kamu liat lah. Aku nggak apa-apa." jawabku sambil membalas senyumnya. Kami pun memesan cemilan dan minuman. Kami mengobrol ngalor ngidul. Dia menceritakan tentang gosip-gosip perhotelan terbaru dan aku menceritakan tentang pengalaman baruku bekerja di LSM. 

Linda memperhatikanku dengan ekspresi wajah yang sulit aku tebak. Tapi sepertinya dia agak berusaha keras untuk terlihat ceria di hadapanku. Bahkan terlalu ceria, menurutku. Aku menatapnya lurus-lurus, "Kamu nggak apa-apa? Mukamu kok aneh gitu sih?" tanyaku sambil tertawa geli. Perempuan itu memaksakan sesungging senyum di bibirnya, "Aku seneng liat kamu sehat-sehat aja, Ra..." ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku meletakkan gelas minumanku, "Lho.... kok nangis? Jangan nangis dong, Lin!" ujarku sambil menyodorkan selembar tisu kepadanya. Perempuan itu menerima tisu dari tanganku. "Ya gimana aku nggak sedih, Ra. Meskipun kamu sehat-sehat aja, tapi ibaratnya 'kan kamu tuh tinggal nunggu waktu aja, Ra...." dia berkata sambil menghapus air matanya yang jatuh. Aku terdiam sejenak. "Lin, semua orang di dunia ini 'kan emang cuma nunggu waktu aja lohh..." aku sedikit berkelakar. Linda memukul lenganku, "Kamu tuh ya... Selalu gitu deh! Aku 'kan serius loh, Ra. Aku concern banget sama kondisimu... Mana anakmu masih kecil dan kamu itu tulang punggung keluarga. Duh.... nggak sampe hati aku mikirinnya...." sambungnya dengan wajah sedih.

"Ya udaaaah. Nggak usah dipikirin, Lin. Santai aja. Aku 'kan masih sehat. Lagian 'kan sekarang udah ada pengobatannya loh. Meskipun nggak bikin sembuh, tapi at least bisa bikin virusnya nggak aktif." kataku sedikit menyelipkan edukasi tentang HIV. Akhirnya aku memutuskan untuk membicarakan hal lain saja. Aku tak ingin membuat pertemuan yang jarang terjadi itu menjadi momen yang membuat Linda sedih.
Setelah beberapa jam, akhirnya kami pun berpisah. Linda memelukku erat sebelum akhirnya masuk ke dalam taksi yang menunggunya. Aku melambaikan tanganku padanya. Wajahnya masih terlihat agak sedih tapi setidaknya dia sudah tak menangis lagi. Selepas pertemuan itu perasaanku campur aduk. Antara geli, bahagia dan bingung. Geli karena sampai hari itu selalu orang lain yang terlihat lebih sulit menerima kondisiku. Bahagia karena aku melihat teman-temanku peduli padaku. Bingung karena aku tak tahu bagaimana caranya membuat mereka paham bahwa kondisiku ini tak perlu dikhawatirkan. Apalagi nanti ketika aku sudah mengonsumsi ARV, tentu harapan hidupku akan lebih panjang lagi. Bingung karena aku kesulitan menjelaskan kepada beberapa orang teman dengan pengetahuanku yang masih terbatas. Tapi intinya aku bersyukur mereka masih mau bertemu dan berteman denganku.

Beberapa minggu sebelumnya Anto mengirimiku sari buah merah dari Papua. Harganya cukup mahal, sekira Rp. 600,000 untuk 600ml. "Ini katanya bagus buat naikkin kekebalan tubuh, Ra. Diminum yaaa... Ini gue pesen dan dikirim langsung sama temen gue dari papua loh!" begitu ujarnya ketika mengantarkan buah merah itu. Dia menolak mentah-mentah permintaanku untuk mengganti biaya pembelian dan pengirimannya. Sebelumnya lagi Eddoy dan Dusy pernah membawakan satu set suplemen herbal untukku. Aku geli sekaligus terharu melihatnya. "Ra, ini suplemen bagus buat daya tahan tubuh. Lu minum ya? Biar sehat. Kerja lu 'kan capek soalnya...." begitu ujar Eddoy saat memberikan bungkusan suplemen itu untukku. Aku tertawa, "Tumben amat kalian kok perhatian banget sih sama gue?" aku berseloroh. Dusy mendengus kecil, "Ya kita 'kan nggak pengen lu cepet-cepet mati, Ra! Gila kali ya!" ujarnya dengan sembarangan. "Kampret lu, dasar!" kataku sambil memukul lengannya. Dusy dan Eddoy tertawa-tawa. "Yaaa biar lu sehat lah, Ra." Eddoy menyambung. Aku mengangguk, "Makasih ya guys..." kataku.

Lalu sepuluh tahun berlalu. Aku sedang jalan-jalan di sebuah mall di Jakarta kala itu ketika sebuah suara mampir di telingaku, "Ratri! Ratri 'kan???" Linda! Aku menoleh. Perempuan itu menjerit tertahan lalu berlari kecil menghampiriku dan memelukku erat-erat. "Ya ampuuuuun, Rara! Udah lama banget kita nggak ketemu ya? Gimana kabar kamu?" tanyanya sambil mengguncang kedua bahuku. Aku tertawa kecil, "Alive and kicking, babe! Yaaaa masih nunggu waktu aja kok, Lin. Udah sepuluh taun sih, tapi masih nunggu aja nih!" aku berkelakar sedikit. "Ah kamu..... masih inget aja sih? Aku jadi malu nih!" ujarnya dengan wajah tersipu-sipu. Sayang kami tak bisa berbincang lebih lama lagi karena Linda harus segera pulang. "Ini juga tadi lagi jalan mau keluar, mau naik taksi. TIba-tiba liat kamu, Ra. Next time kita ngopi-ngopi yaaa..." ujarnya padaku. Aku mengangguk. 

Dan sekarang sudah duabelas tahun berlalu. Aku masih di sini, Lin. Alive and kicking! 

Begitulah hidup. Jangan pernah membiarkan siapapun memanipulasi waktu untuk kita. Jangan biarkan siapapun mendefiniskan batasan untuk kita. Jalani dan nikmati saja apa yang kita punya saat ini.... Live life to the fullest..










No comments:

Post a Comment