Monday, 7 May 2018

Stay fearless, Tania...



Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 ketika telepon genggamku berdering. Tania. Tumben, begitu pikirku. Tania termasuk teman lamaku di komunitas. Kami pertama kali bertemu di konferensi AIDS di Bali tahun 2009. "Sist, sibuk nggak?" tanya suara di seberang ketika aku menjawab panggilan masuk itu. "Nggak kok. Ada apa , Tan?" tanyaku. Aku mendengar suaranya menghela nafas sebelum berbicara, "Sist, kayaknya kita harus mulai gerakan untuk mempertanyakan ARV deh. Pengobatan di Indonesia nih udah mulai nggak bener sekarang!" ujarnya sedikit berapi-api. Dahiku berkerut, "Emangnya kenapa?" tanyaku tak paham. Terdengar suara Tania mendengus kecil. 

Sejak pertama aku mengenalnya, aku sudah bisa membaca karakter perempuan itu. Dia memang kadang emosional, sedikit moody dan sulit ditebak. Kadang jika sedang PMS dan emosinya meninggi, dia memutus pertemanan media sosial dengan banyak orang. Memang sih, setelah semuanya berlalu dia akan kembali normal lagi. Kebanyakan dari teman-temannya pun sudah maklum dengan tingkahnya yang impulsif. Cuma aku, salah satu dari sedikit orang yang tak pernah diputuskan pertemanan media sosialnya. Entah kenapa. 

"Lu liat nggak sist, di media sosial akhir-akhir ini banyak banget yang meninggal! Hari ini aja ada tiga yang meninggal! Gue tuh sampe takut mau buka media sosial, takut liat berita yang nggak enak gitu!" ujarnya dengan nada resah. "Ya emang sih. Tapi kita kan nggak tau gaya hidup mereka seperti apa, sist. Mereka tertib minum obat nggak? Sakit-sakitan nggak sebelumnya? Kita kan taunya cuma ada berita bahwa mereka meninggal. Jangan terlalu dipikirin lah..." kataku mencoba menenangkan. "Gue takut, sist! Kondisi gue saat ini tuh nggak bagus. Terus, gue baca berita-berita kayak gitu, lagi. Gue jadi kepikiran. Jadi makin takut!" ujarnya lagi. "Tan, lu tuh harus belajar menyaring informasi yang masuk dong. Mana yang harus lu pikirin habis-habisan, dan mana yang hanya perlu sekedar tau aja. Lu itu kan emang orangnya segala macem dipikirin, makanya jadi paranoid." aku mencoba menegaskan penilaianku tentangnya. Tania terdiam sesaat.

"Gue nggak cocok sama obat gue. Tapi gue minta ganti nggak dikasih sama dokternya. Kesel gue, sist!" ujarnya dengan nada emosional. "Lu bisa ngomong kalo obat lu nggak cocok itu dari mana, sist?" aku bertanya padanya. "Gue minum obat itu kan udah empat taun ya, sist. Tapi mood gue makin kesini makin kacau!" keluhnya. Kombinasi obat yang dikonsumsi Tania memang mengandung efavirens, salah satu komponen yang banyak memberikan efek samping psikologis. Ketika awal mula dia masuk terapi ARV, mood nya juga sempat berantakan. Pernah dia menelponku suatu malam dan hanya menangis saja. Di tengah sedu sedannya dia mengatakan bahwa dia merasa ditinggalkan semua orang. Dia merasa tak punya siapa-siapa. Anak-anaknya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, dia merasa tak diperhatikan. Malam itu juga aku menjemputnya dan membawanya untuk menginap di tempat kost-ku agar dia tak terlalu merasa kesepian. Prediksiku, itu memang efek samping obat yang belum lama dikonsumsinya. Tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu...

"Gue tuh nggak kuat, sist. Nggak kuat sama mood swing gue ini. Gue tuh sampe takut banget mau minum obat. Ini obat nggak cocok buat gue!" begitu tandasnya. Suaranya mengandung air mata. "Gue udah minta dokternya ganti obat aja, tapi gue malah dirujuk ke klinik psikiatri! Apa hubungannya?? Gue punya hak loh untuk minta ganti obat!" suaranya terdengar meradang. "Sebentar, tes viral load lu gimana?" tanyaku setengah memotong kalimatnya. "VL gue undetected... Gula gue juga udah normal sekarang. Tapi mood gue berantakan banget!" Tania menjelaskan. "Ya kalo VL lu undetected, berarti obat lu itu cocok, sist." kataku padanya. "Ya tapi gue dirujuk ke klinik psikiatri itu atas dasar apa...???" Tania setengah berteriak di ujung sana. "Ya lu bilang sama dokternya, pengen minta ganti karena apa?" aku balik bertanya. "Ya karena gue nggak kuat, mood gue berantakan!" tandasnya. "Sist, ya jelas lah lu dirujuk ke klinik psikiatri, dokter kan ngasih rujukan berdasarkan keluhan lu dong!" jawabku sedikit keras kepadanya. "Ya tapi kan gue minta ganti obat, sist! Kenapa dia suruh gue ketemu psikiater?" ujarnya lagi. Aku menghela nafas sejenak, "Lha lu kan bilang sama dokternya ada gangguan sama mood. ya iya lah dia kirim lu ke klinik psikiatri!" jawabku lagi sedikit kesal. Tania diam. "Sist, gini ya, dokter itu akan ngambil keputusan berdasarkan hasil tes lu. Kalo lu tes viral load nya bagus, undetected, alasannya dia ngeganti obat lu tuh apaan? Nggak ada! Tapi karena lu ada keluhan mood lu berantakan, ya dia kasih lah rujukan ke klinik psikiatri. Logikanya kan begitu? Masuk akal dong!" aku mencoba menjelaskan. Tania masih diam.

"Ini gue udah masuk hari kelima brenti minum obat, sist." tiba-tiba dia berkata pelan. Astaga! Tapi mengetahui karakternya yang emosional dan impulsif, aku tak terlalu kaget. Aku hanya menyayangkan keputusan yang diambilnya secara buru-buru. Tania bukan tak paham soal pengobatan, dia punya cukup pengetahuan soal pengobatan dan ARV. Aku hanya sedikit heran kenapa dia pendek pikir. "Gue tuh udah berapa bulan ini takuuuut banget mau ambil obat." sambungnya. "Kenapa harus takut?" aku bertanya dengan heran. "Ya takut, karena gue takut mau minum obatnya. Kalo gue minum, nanti mood gue berantakan. Makanya ini gue lagi brenti dulu. Rencananya mau brenti sebulan, liat kondisi gue gimana. Mood gue masih berantakan apa nggak. Nanti habis itu baru gue mau minta lagi obat yang baru." Tania membeberkan rencananya. Meskipun sedikit kesal dengan keputusannya, aku berusaha untuk tetap tenang mendengarkannya. "Lu yakin, mood lu yang kacau itu efek samping dari obat, dan bukan karena lu punya masalah yg lu pendem?" tanyaku sedikit menyelidik. Tania bergumam tak jelas. "Dokter lu itu udah ngerujuk lu ke klinik psikiatri, harusnya lu konsul dulu sama terapisnya. Nanti kan ada konseling dan assessment-nya, sist. Dari situ baru bakal bisa diprediksi mood swing itu asalnya dari mana. Lu nggak bisa nyimpulin sendiri." aku berusaha memberikan pandangan. 

Dengan Tania, aku tak pernah basa-basi. Straight to the point saja. Basa-basi malah akan membuatnya makin bingung. Berbicara secara frontal memang terkesan keras, tapi ini demi kebaikannya. "Sist, dokter lu itu nggak bisa main ganti obat lu aja. Karena alasannya nggak valid! Apalagi hasil tes lu bagus semua, menurut lu, apa masuk akal kalo dia ganti obat lu? Kan nggak! Gambling dia! Dia kan punya tanggung jawab terhadap pasiennya lho. Kalo nanti diganti, kondisi lu malah ngedrop, gimana?" aku berusaha memantik diskusi. Tapi perempuan itu hanya bergumam tak jelas saja. "Berhubung lu bilang ada keluhan soal mood lu yang berantakan, ya dia kasih lah rujukan ke klinik psikiatri. Kalo lu konsul dan ternyata ketauan bahwa mood swing lu itu bukan karena masalah psikologis pribadi lu, kan terapisnya bisa kasih surat ke dokter lu. Baru deh lu bisa maksa minta ganti obat. Kalo nggak ada argumen pendukungnya, ya nggak bisa lah!" sambungku lagi. Tania masih diam. "Lu dirujuk ke klinik psikiatri, udah konsul apa belum?" tanyaku padanya. "Belum sih. Soalnya nanti kalo konseling kan kebuka semua masalah keluarga gue, sist..." keluhnya. Bingo! "Nah! Berarti lu itu kan ada masalah yang lu pendem, Tan! Jadi belum tentu mood lu berantakan gara-gara obat yang lu minum. Bisa aja emang karena lu banyak pikiran!" tandasku segera. "Setau gue, sepanjang gue kenal lu, lu itu kan emang suka emosional dan impulsif, Tan. Makanya gue bilang, belum tentu mood swing lu itu karena obat lu. Mendingan lu konsul deh..." aku mencoba membujuknya. "Mungkin karena gue juga kurang kesibukan ya, sist.... Jadi gue mikir yang nggak-nggak. Liat media sosial jadi panik..." ujarnya pelan. Sudah beberapa tahun belakangan ini Tania memang tak tergabung di lembaga manapun, tak pula mengerjakan terlalu banyak project. Meskipun dia sudah rujuk dengan suaminya, tapi bukan berarti dia tak bisa risau karena tak ada pekerjaan tetap.

"Kalo gue jadi lu, gue akan konsul ke klinik psikiatri. Gue akan cari tau akar masalah dari mood gue yang berantakan ini apa. Gue pengen tau lah pastinya, apakah ini gara-gara obat, atau emang gue pribadi yang punya masalah psikologis." aku mengungkapkan posisiku. "Jadi kata lu gue harus konsul ya, sist?" Tania bertanya. "Gue nggak bisa memutuskan buat lu, sist. Gue cuma bilang, kalo gue ada di posisi lu, gue akan konsul. Dan kalo gue boleh saran sama lu, iya, sebaiknya konsul. Tapi semua terserah lu aja. Lu kan punya beberapa pilihan. Coba lu pikirin dulu baik-baik deh, mana yang paling bagus buat lu." kataku. Ya, meskipun menurutku Tania harus berkonsultasi dengan psikiater, tapi aku tak punya hak dalam menentukan pilihannya. Dia sudah dewasa, hanya dia yang paling tahu apa yang terbaik untuk dirinya.

Terdengar Tania menghela nafas panjang di ujung sana, "Terus, gue nanti bilangnya apa ke terapisnya?" perempuan itu bertanya pelan. Aha! Ada sedikit titik terang. "Ya lu bilang aja apa adanya. Bilangin, lu minum obat kombinasi yang mana, udah berapa lama. Terus, lu bilang aja, belakangan ini mood lu berantakan, nah lu pengen tau, apakah itu disebabkan oleh obat yang lu minum atau karena masalah lain, soalnya hasil tes laborat lu bagus semua. Bilang aja gitu." aku menatakan alasan untuknya. "Iya ya sist, gitu aja ya?" ujarnya pelan. "Iya. Terus, soal lu brenti minum selama lima hari, bilang aja lu ke luar kota dan kehabisan obat karena nggak bisa pulang tepat waktu. Palingan nanti dokter lu nyaranin buat tes resistensi dulu. Kalo hasilnya masih oke, ya pasti dikasih kombinasi yang sama. Kalo ada komponen yang udah resisten, ya lu pasti dikasih kombinasi lain." lagi-lagi aku menatakan alasan untuknya. "Oke deh.... Dokter gue itu sebenernya baiiiiiik banget, sist..." Tania berkata dengan sedikit nada menyesal. "Ya udah. Kalo emang dia baik, dia pasti kasih lu solusi yang terbaik juga. Tenang aja." jawabku mencoba menenangkannya.

"Lu mau denger teori asal-asalan gue nggak?" aku menawarkan buah pikiranku. "Nah! Boleh tuh, sist! Gue perlu denger nih..." tak dinyana perempuan itu begitu bersemangat. "Lu itu kan emang dasarnya moody, impulsif dan emosional ya, terus, gue tau lu punya masalah pribadi. Masalah lu cukup banyak. Lu kan pernah cerita sama gue juga. Lu selalu nyoba untuk tenang dan kuat ngadepin semuanya, tapi jauh di dalam hati lu, lu itu nyangkal semua masalah yang ada di depan lu. Lu bilang bahwa lu bisa nerima keadaan lu, tapi sebenernya lu nggak mau begitu. Lu tau kalo lu punya masalah, tapi lu menganggap masalah itu nggak ada, atau udah beres. Padahal belum!" aku memulai teori asal-asalanku. "Pada dasarnya, lu nggak mau punya semua masalah itu, jadi lu nggak beresin. Lu anggap semua nggak ada. Nggak kejadian. Tapi lu nggak bisa lari dari mereka, Tan. Karena lu pendem sendiri, lu nggak bisa cerita sama siapapun, lu juga mungkin nggak punya kesibukan rutin, akhirnya setelah sekian lama, semua masalah yang lu pendem ini, akhirnya mulai ngebalik nyerang lu. Lu panik, mood lu jadi kacau tapi lu nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Kalo lu mengkambinghitamkan orang lain, orang itu bisa protes sama lu. Jadi yang paling aman buat lu adalah mengkambinghitamkan ARV lu. Obat lu. Obat itu kan benda mati. Disalahin sama lu pun dia nggak bakal melawan sama lu. Makanya lu sibuk bilang bahwa obat lu nggak cocok, meskipun lu tau, hasil tes laborat lu nunjukkin sebaliknya.... Gitu, Tan. Tapi itu teori asal-asalan gue pribadi loh ya, gue bisa aja salah." kataku menutup penjelasanku. Aku benar-benar berspekulasi. Mengingat karakternya yang cukup keras dan emosional, aku harus siap jika tiba-tiba Tania memutus pertemanan atau menutup teleponnya. Tapi aku merasa, aku harus menyampaikan apa yang aku katakan tadi. 

"Tan, kata gue nih ya, kalo misalnya lu ganti obat, tapi ternyata akar masalah mood lu yang berantakan itu ternyata asalnya dari masalah psikologis lu dan itu nggak ditangani scara benar, mood lu akan tetep berantakan. Terus, nanti kalo udah kejadian kayak gitu, lu mau apa? ganti obat lagi? Terus aja begitu? Kita cuma punya sedikit kombinasi di sini, Tan. Lu mau ganti sampe berapa kali biar mood lu membaik? Nanti malah ujung-ujungnya, kombinasi di sini nggak ada yang cocok lagi buat lu. Terus, lu harus beli dari negara lain. Lu mau begitu? Coba lu pikirin lagi deh..." aku mencoba menyisipkan kekhawatiranku ke dalam rongga pikirannya. Berharap perempuan itu mau mendengarkan dan mencoba untuk memahami sedikit saja. 

"Gue palingan bisa ke klinik itu nanti baru minggu depan ya, sist. Ntar gue konsul deh, terus, abis itu gue pengen ketemuan sama lu ya? Gue butuh lebih banyak lagi pencerahan..." ujarnya dengan nada saura yang sudah jauh melunak dibandingkan dengan sebelumnya. "Gampang. Nanti tinggal berkabar aja. Ntar kita atur waktu lah buat ketemuan." jawabku ringan. "Tan, gue mau pesen sama lu, jangan cepet terpengaruh sama berita-berita nggak enak yang nyampe ke telinga lu. Gue tau, banyak yang meninggal. Gue bukannya nggak sedih dengar berita seperti itu, tapi gue nggak mau membiarkan hal-hal kayak gitu ngeganggu pikiran gue. Lu juga dong, jangan biarin hal-hal nggak enak itu ngeganggu pikiran dan hidup lu. Kita ini punya kendali atas hidup kita loh, Tan. Kalo orang meninggal karena nggak tertib minum obat, kita bisa loh, menghindari situasi itu! Justru kalo gue ya, ketika denger ada berita yang nggak enak, gue malah terpacu untuk berusaha sehat terus, Tan!" aku mencoba memberikan sedikit masukan kepadanya, mumpung emosinya sudah reda. "Belajar menyaring informasi ya, Tan? Nggak semua hal harus lu pikirin dalem-dalem kok. Ada hal-hal yang lu cukup tau aja. Biar lu nggak ribet. Lu kan masih banyak urusan lain yang lebih penting buat dipikirin..." aku menyambung pep talk-ku. "Iya, Rat... makanya nanti kalo gue udah beres konsul, gue harus ketemu sama lu. Biar lu bisa kasih masukan lebih banyak lagi buat gue." jawab perempuan itu.

"Ya udah. Udah malem, Rat. Makasih banyak ya... Nanti kita berkabar lagi." ujarnya menutup pembicaraan panjang malam itu. "Oke, Tan..." jawabku. Dan sambungan telepon pun terputus. Aku meletakkan telpon genggamku lalu membanting tubuhku ke tempat tidur. Ah, andai saja dia tahu.... Aku pun sedang bergelut dengan masalah pribadi yang tak kalah peliknya. Andai dia tahu, aku pun perlu pencerahan. Andai dia tahu, aku pun sedang sulit berpikir dengan jernih.... Live fearless, Tania. And stay fearless!







No comments:

Post a Comment