Laki-laki itu duduk bersamaku
di teras luar sebuah kafe, menikmati kopi dan senja yang jatuh di kota yang sibuk ini. Dia sibuk dengan
gadgetnya. Aku juga. Wajahnya serius mengamati layar telepon genggamnya. “Sebentar
ya. Habis ini aku mau kasih lihat sesuatu sama kamu….” Begitu ujarnya tiba-tiba
tanpa mengalihkan pandangan dari layar telepon genggamnya. “Santai aja…”
jawabku. Lalu Agung, laki-laki itu meneruskan kesibukannya dengan gadgetnya. Aku
meneruskan menikmati senja yang berangin.
Beberapa menit kemudian dia
selesai dengan gadgetnya, lalu menoleh kepadaku, “Kamu tenang?” tanyanya
tiba-tiba. Aku bingung, “Memangnya kenapa? Tenang sih…. Santai kok.” Jawabku sambil
tertawa kecil. “Baca ini…” dia menyodorkan telepon genggamnya kepadaku. Aku memandangnya
dengan tatapan bingung. “Baca aja… tapi kamu harus tenang ya…” dia mengulang
peringatannya dengan wajah serius. Sontak perisai di dalam diriku pun naik. “Oke….” Kataku sambil
mengambil telepon genggam itu dari tangannya dan mulai membaca.
Tak lama kemudian aku membaca
chat antara Agung dan temannya…. Tentang aku. Aku terkikik-kikik sendiri. Ah… klasik
sekali! – begitu pikirku. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lagi. Aku mengalihkan
pandanganku dari layar telepon genggam itu kepadanya. “Nggak. Sama sekali nggak
apa-apa. Lucu! Very entertaining!” begitu jawabku masih sambil setengah tertawa. “Oke, bagus lah
kalau gitu.” Akhirnya dia terlihat lebih santai. Aku mengembalikan telepon
genggamnya, “Kamu mau jawab apa lagi? Atau sini, aku aja yang jawab!” kataku
dengan nada jahil. "Jangan!" katanya sambil menjauhkan gadgetnya dariku tapi ikut tertawa.
Isi chat itu adalah sebuah
peringatan dari temannya tentang status HIV-ku. FYI aja, Ratri itu HIV. Lu tau nggak? Coba lu googling Suksma Ratri, liat berapa banyak yang keluar tentang
dia – begitu salah satunya. Aku geli. “Kalau kamu googling 'Suksma Ratri' aja
keyword nya, keluarnya nanti terlalu banyak. Sampai tulisan dan press release
jaman aku kerja di hotel pun bakal keluar. Device
kamu nanti hanged. Coba dipersempit jadi ‘Suksma Ratri hiv aids’, biar lebih
spesifik beritanya.” Kataku sok menyombong untuk menggoda Agung. Dia ikut tertawa. Gw udh feeling sih klo dia itu ODHA, soalnya
keliatan dari fisiknya – itu adalah kalimat berikut di chat tadi yang membuatku semakin
geli. That is the one million Dollar statement! Begitu aku dan teman-teman
aktivisku selalu berkata. Dari mana orang bisa tahu status HIV seseorang jika
tidak diberi tahu? ODHA yang masih dalam fase HIV-positif dan belum masuk ke
fase AIDS itu mengalami kondisi asymptomatic.
Tidak ada tanda-tandanya. Sehat dan beraktifitas seperti layaknya orang-orang
yang negatif. Itu juga mengapa banyak orang yang mengidap HIV tidak menyadari
bahwa mereka memiliki virus itu karena tidak ada tanda yang signifikan. Gejala yang
cukup jelas akan muncul setelah 5 hingga 15 tahun mengidap jika tidak ada
penanganan preventif, di mana sistem kekebalan tubuh menurun drastis dan
infeksi oportunistik mulai menyerang. Selama seorang ODHA bisa menjaga kesehatannya, dan belum masuk fase AIDS, tidak ada tanda-tanda khusus yang secara fisik bisa terlihat. Karena itu, melakukan tes HIV sebenarnya sangat penting, supaya perencanaan kesehatan dan tindakan penanganan bisa segera dilakukan jika status HIV seseorang diketahui positif. Jika negatif, bisa dilakukan tindakan preventif untuk menjaga statusnya tetap negatif.
“Coba kamu tanya dia, dari mana dia
merasa tahu kalau aku itu ODHA… pengen tahu aja...” aku meminta Agung untuk melakukan tes
kecil-kecilan. Dia mengangguk lalu mulai mengetik. Sejenak kemudian balasan
dari temannya masuk, Gw liat badannya
kurus, tapi perutnya agak besar dan kulitnya menghitam – aku tidak kuat
lagi untuk menahan tawa. Maka aku tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan
air mata. “Maaf, ya… maaf banget! Duh, soalnya ini lucu! Kasus klasik orang
yang tahu sedikit tapi sok tahu banget dan nggak mau nanya!” kataku kepada Agung sambil menghapus
air mataku. “Astagaaaaa…. Ini lah kenapa PR aktivis HIV nggak pernah bisa beres!
Selalu aja ada orang model begini. Hilang satu kloter, muncul beberapa kloter baru. Ra uwis-uwis! Badanku
kurus karena emang aku 'kan diet, pengen kurus! Cewek mana yang mau punya badan gendats? Kamu lihat 'kan, foto-fotoku jaman gendats tiga tahun yang lalu? Perut agak besar karena males
olah raga. Udah punya anak, by default,
perut ini susah diajak kompromi. Kulitku menghitam… yeah well, pertama… dari dulu kulitku nggak pernah putih. Kedua, kamu
tahu sendiri ‘kan kalau baru-baru ini aku pergi ke Pulau Tidung, Bali dan
Lombok dalam waktu yang berdekatan. Dan nggak pernah pake baju lain selain bikini.
Emang aku pengen tanned skin!
Hadeeeeehhhhh….” Kataku masih sambil tertawa sedikit di sana-sini. “Bilang sama
dia, lalu gimana dengan teman-teman aktivisku yang bule-bule dan ODHA juga? Kok
kulitnya nggak menghitam? IQ???” lanjutku kepada Agung. Laki-laki itu hanya
menggeleng sambil tersenyum simpul dan meletakkan telepon genggamnya di atas
meja, “Kamu ini….” Agung berkomentar pendek sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Sebenarnya memang ada beberapa
regimen ARV yang ada di Indonesia, yang efek sampingnya bikin kulit jadi
gosong. Tapi itu nggak permanen. Ketika badan sudah mulai beradaptasi dengan
obat yang masuk, lambat laun warna kulit kembali normal. Agak lama memang, tapi tetep balik ke warna asal. Tapi kalau aku, bukan
karena efek samping…. Ya karena emang item dari sononya dan ditambah berjemur
di pantai tadi.” Aku melanjutkan penjelasanku kepada Agung sambil tertawa
kecil. Laki-laki itu ikut tertawa, “Kamu nggak apa-apa ‘kan? Aku cuma nggak
ingin kamu terganggu aja dengan hal-hal seperti ini.” katanya sejurus kemudian.
Aku menggeleng. “Kamu ‘kan tahu aku terbuka soal status HIV-ku. Hal-hal seperti
ini mah sepele lah… I deal with things like this on daily basis, so relax... this is nothing! Kamu terganggu nggak?” kataku balik bertanya. Agung
menggeleng, “Awalnya tadi iya sih, sedikit. Tapi lihat reaksi kamu, sekarang udah nggak lagi. Lagian kamu dari awal udah bilang dan aku juga udah googling
duluan! Ha!” jawabnya tengil. "Pengen tahu tentang aku? Googling aja! Nanti aku mau tulis itu di profil media sosialku aaaah...." kataku mencandainya. Agung tertawa keras-keras, "Dasar narsis!" celanya. "Biarin! Cuma orang-orang narsis yang bisa mengubah dunia, tau!" jawabku sambil meneruskan tawa.
“Aku HIV-positif, memangnya
kenapa? Ha??” kataku dengan nada bercanda pura-pura marah kepadanya. “Iya! Memangnya kenapa
sih?? Au amat dah!” Agung membeo tak kalah jahilnya, lalu
kami tertawa bersama di senja yang semakin sejuk. Ah…. Stigma… kamu mau menyambangiku?
Bring it on! Teman-teman sejatiku
yang bisa menerimaku apa adanya tidak akan pernah meninggalkanku.
By the way... kalian sudah tes HIV? Tes dulu..... *evil grin*
So this who I am... Celine Dion berkata pada salah satu lirik lagunya. Penerimaan dan opini publik merupakan hal kesekian setelah kita menerima diri sendiri. Bukan hal yang mudah menurutku.. Untuk menerima diri sendiri tadi... Karena tidak ada yang bisa memandumu. Kamu lah yang menjadi nakhoda. Kamu yang mengembangkan layar dan berteriak "ahoi.. Daratan so dekat" kepada diri kamu sendiri...
ReplyDelete