Wednesday, 1 October 2014

HIV, Memangnya Kenapa?



Laki-laki itu duduk bersamaku di teras luar sebuah kafe, menikmati kopi dan senja yang jatuh di kota yang sibuk ini. Dia sibuk dengan gadgetnya. Aku juga. Wajahnya serius mengamati layar telepon genggamnya. “Sebentar ya. Habis ini aku mau kasih lihat sesuatu sama kamu….” Begitu ujarnya tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangan dari layar telepon genggamnya. “Santai aja…” jawabku. Lalu Agung, laki-laki itu meneruskan kesibukannya dengan gadgetnya. Aku meneruskan menikmati senja yang berangin.

Beberapa menit kemudian dia selesai dengan gadgetnya, lalu menoleh kepadaku, “Kamu tenang?” tanyanya tiba-tiba. Aku bingung, “Memangnya kenapa? Tenang sih…. Santai kok.” Jawabku sambil tertawa kecil. “Baca ini…” dia menyodorkan telepon genggamnya kepadaku. Aku memandangnya dengan tatapan bingung. “Baca aja… tapi kamu harus tenang ya…” dia mengulang peringatannya dengan wajah serius. Sontak perisai di dalam diriku pun naik. “Oke….” Kataku sambil mengambil telepon genggam itu dari tangannya dan mulai membaca.


Tak lama kemudian aku membaca chat antara Agung dan temannya…. Tentang aku. Aku terkikik-kikik sendiri. Ah… klasik sekali! – begitu pikirku. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lagi. Aku mengalihkan pandanganku dari layar telepon genggam itu kepadanya. “Nggak. Sama sekali nggak apa-apa. Lucu! Very entertaining!” begitu jawabku masih sambil setengah tertawa. “Oke, bagus lah kalau gitu.” Akhirnya dia terlihat lebih santai. Aku mengembalikan telepon genggamnya, “Kamu mau jawab apa lagi? Atau sini, aku aja yang jawab!” kataku dengan nada jahil. "Jangan!" katanya sambil menjauhkan gadgetnya dariku tapi ikut tertawa.


Isi chat itu adalah sebuah peringatan dari temannya tentang status HIV-ku. FYI aja, Ratri itu HIV. Lu tau nggak? Coba lu googling Suksma Ratri, liat berapa banyak yang keluar tentang dia – begitu salah satunya. Aku geli. “Kalau kamu googling 'Suksma Ratri' aja keyword nya, keluarnya nanti terlalu banyak. Sampai tulisan dan press release jaman aku kerja di hotel pun bakal keluar. Device kamu nanti hanged. Coba dipersempit jadi ‘Suksma Ratri hiv aids’, biar lebih spesifik beritanya.” Kataku sok menyombong untuk menggoda Agung. Dia ikut tertawa. Gw udh feeling sih klo dia itu ODHA, soalnya keliatan dari fisiknya – itu adalah kalimat berikut di chat tadi yang membuatku semakin geli. That is the one million Dollar statement! Begitu aku dan teman-teman aktivisku selalu berkata. Dari mana orang bisa tahu status HIV seseorang jika tidak diberi tahu? ODHA yang masih dalam fase HIV-positif dan belum masuk ke fase AIDS itu mengalami kondisi asymptomatic. Tidak ada tanda-tandanya. Sehat dan beraktifitas seperti layaknya orang-orang yang negatif. Itu juga mengapa banyak orang yang mengidap HIV tidak menyadari bahwa mereka memiliki virus itu karena tidak ada tanda yang signifikan. Gejala yang cukup jelas akan muncul setelah 5 hingga 15 tahun mengidap jika tidak ada penanganan preventif, di mana sistem kekebalan tubuh menurun drastis dan infeksi oportunistik mulai menyerang. Selama seorang ODHA bisa menjaga kesehatannya, dan belum masuk fase AIDS, tidak ada tanda-tanda khusus yang secara fisik bisa terlihat. Karena itu, melakukan tes HIV sebenarnya sangat penting, supaya perencanaan kesehatan dan tindakan penanganan bisa segera dilakukan jika status HIV seseorang diketahui positif. Jika negatif, bisa dilakukan tindakan preventif untuk menjaga statusnya tetap negatif.


“Coba kamu tanya dia, dari mana dia merasa tahu kalau aku itu ODHA… pengen tahu aja...” aku meminta Agung untuk melakukan tes kecil-kecilan. Dia mengangguk lalu mulai mengetik. Sejenak kemudian balasan dari temannya masuk, Gw liat badannya kurus, tapi perutnya agak besar dan kulitnya menghitam – aku tidak kuat lagi untuk menahan tawa. Maka aku tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. “Maaf, ya… maaf banget! Duh, soalnya ini lucu! Kasus klasik orang yang tahu sedikit tapi sok tahu banget dan nggak mau nanya!” kataku kepada Agung sambil menghapus air mataku. “Astagaaaaa…. Ini lah kenapa PR aktivis HIV nggak pernah bisa beres! Selalu aja ada orang model begini. Hilang satu kloter, muncul beberapa kloter baru. Ra uwis-uwis! Badanku kurus karena emang aku 'kan diet, pengen kurus! Cewek mana yang mau punya badan gendats? Kamu lihat 'kan, foto-fotoku jaman gendats tiga tahun yang lalu? Perut agak besar karena males olah raga. Udah punya anak, by default, perut ini susah diajak kompromi. Kulitku menghitam… yeah well, pertama… dari dulu kulitku nggak pernah putih. Kedua, kamu tahu sendiri ‘kan kalau baru-baru ini aku pergi ke Pulau Tidung, Bali dan Lombok dalam waktu yang berdekatan. Dan nggak pernah pake baju lain selain bikini. Emang aku pengen tanned skin! Hadeeeeehhhhh….” Kataku masih sambil tertawa sedikit di sana-sini. “Bilang sama dia, lalu gimana dengan teman-teman aktivisku yang bule-bule dan ODHA juga? Kok kulitnya nggak menghitam? IQ???” lanjutku kepada Agung. Laki-laki itu hanya menggeleng sambil tersenyum simpul dan meletakkan telepon genggamnya di atas meja, “Kamu ini….” Agung berkomentar pendek sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.


“Sebenarnya memang ada beberapa regimen ARV yang ada di Indonesia, yang efek sampingnya bikin kulit jadi gosong. Tapi itu nggak permanen. Ketika badan sudah mulai beradaptasi dengan obat yang masuk, lambat laun warna kulit kembali normal. Agak lama memang, tapi tetep balik ke warna asal. Tapi kalau aku, bukan karena efek samping…. Ya karena emang item dari sononya dan ditambah berjemur di pantai tadi.” Aku melanjutkan penjelasanku kepada Agung sambil tertawa kecil. Laki-laki itu ikut tertawa, “Kamu nggak apa-apa ‘kan? Aku cuma nggak ingin kamu terganggu aja dengan hal-hal seperti ini.” katanya sejurus kemudian. Aku menggeleng. “Kamu ‘kan tahu aku terbuka soal status HIV-ku. Hal-hal seperti ini mah sepele lah… I deal with things like this on daily basis, so relax... this is nothing! Kamu terganggu nggak?” kataku balik bertanya. Agung menggeleng, “Awalnya tadi iya sih, sedikit. Tapi lihat reaksi kamu, sekarang udah nggak lagi. Lagian kamu dari awal udah bilang dan aku juga udah googling duluan! Ha!” jawabnya tengil. "Pengen tahu tentang aku? Googling aja! Nanti aku mau tulis itu di profil media sosialku aaaah...." kataku mencandainya. Agung tertawa keras-keras, "Dasar narsis!" celanya. "Biarin! Cuma orang-orang narsis yang bisa mengubah dunia, tau!" jawabku sambil meneruskan tawa.


“Aku HIV-positif, memangnya kenapa? Ha??” kataku dengan nada bercanda pura-pura marah kepadanya. “Iya! Memangnya kenapa sih?? Au amat dah!” Agung membeo tak kalah jahilnya, lalu kami tertawa bersama di senja yang semakin sejuk. Ah…. Stigma… kamu mau menyambangiku? Bring it on! Teman-teman sejatiku yang bisa menerimaku apa adanya tidak akan pernah meninggalkanku.




By the way... kalian sudah tes HIV? Tes dulu..... *evil grin*

1 comment:

  1. So this who I am... Celine Dion berkata pada salah satu lirik lagunya. Penerimaan dan opini publik merupakan hal kesekian setelah kita menerima diri sendiri. Bukan hal yang mudah menurutku.. Untuk menerima diri sendiri tadi... Karena tidak ada yang bisa memandumu. Kamu lah yang menjadi nakhoda. Kamu yang mengembangkan layar dan berteriak "ahoi.. Daratan so dekat" kepada diri kamu sendiri...

    ReplyDelete