Friday, 3 October 2014

Di Mana Kamu, Amanda....?




Sore itu aku berjanji untuk bertemu dengan salah seorang teman lamaku. Kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi sama sekali belum pernah bertemu. Rupanya tidak sengaja dia melihat foto dan interview-ku di sebuah majalah, lalu dia mencari tahu nomor teleponku melalui redaksi majalah tersebut. Setelah sekian kali janjian dan batal, kami akhirnya bisa menemukan hari dan waktu yang disepakati bersama. Sebuah kedai kopi di daerah Mega Kuningan menjadi tempat pertemuan kami.

Aku duduk sendiri, menunggu Amanda yang belum datang. Seingatku Amanda tidak pernah suka datang terlambat, tapi Jakarta menjelang senja – apalagi daerah Kuningan – selalu dilanda kemacetan. Akhirnya setelah 30 menit menunggu, aku melihat sosoknya datang. Dia melambai kepadaku sambil tersenyum sumringah. Wajahnya masih cantik seperti dulu, hanya terlihat lebih dewasa. “Sorry ya Rat… Aduuuuh Jakarta nih macetnya makin gila aja deh!” begitu ujarnya sambil menarik kursi di depanku. Aku tersenyum, “Nggak apa-apa. Aku belum lama kok nunggu.” Jawabku sedikit berbohong. Lalu obrolanpun mengalir begitu saja. Amanda sudah menikah dengan seorang pengusaha selama delapan tahun tapi belum dikaruniai anak.


Tidak terasa sudah tiga jam lebih kami ngobrol. Lalu, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan tegap dengan setelan kantor mendekat ke meja kami. Serta merta Amanda memperkenalkan laki-laki itu sebagai suaminya kepadaku, “Abimanyu” begitu dia menyebutkan namanya. Suaranya penuh wibawa, pembawaannya juga kharismatik. Tak heran Amanda kecantol – begitu pikirku. Amanda dari dulu terkenal sangat selektif memilih pasangan. Dia lebih rela tidak punya pasangan daripada pacaran asal-asalan. Orientasinya selalu ke masa depan dan rumah tangga. Wajahnya yang cantik membuat banyak laki-laki naksir kepadanya. What a match – aku memuji dalam hati. 


Tidak lama setelah suaminya datang, dia mengajak Amanda untuk pulang. Amanda terlihat masih ingin tinggal, “Kita ada janji dengan papa malam ini, sayang… Lupa?” ujar Abimanyu sambil menatap Amanda tajam seolah member kode. “Tapi, yang… aku nggak ikut ‘kan nggak apa-apa… aku pulang sendiri aja ya? Bisa kok!” Amanda mencoba meminta kepada suaminya. “Nggak bisa dong, sayang… nanti kamu dicari papa lho… Yuk!” Abimanyu berkata sambil menarik lengan Amanda. “Sampai ketemu ya, Ratri…” ujarnya kepadaku. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Sorry ya, Rat… next time lebih lama deh. Aku masih kangen kamu, sebenernya.” Amanda berkata dengan nada menyesal, meraih tasnya lalu sedikit terseret suaminya. “Santai aja, Man…” jawabku. Lalu keduanya berjalan menjauh.


Sekitar sepuluh langkah dari mejaku, Amanda menoleh padaku. Wajah cantiknya memancarkan ekspresi yang aneh. Aku tertegun sesaat, namun dengan cepat mengangkat tanganku memberi kode “Call me” kepadanya dan dia pun mengangguk. Ketika keduanya telah hilang dari pandanganku, aku berpikir sendiri. Mencoba menganalisa apa yang arti dari ekspresi wajah temanku tadi. Sejak suaminya tiba di kedai kopi itu, dia terlihat begitu tegang, resah dan tidak santai. Aku bahkan bisa menangkap sedikit rasa takut terpancar dari matanya ketika beranjak mengikut suaminya pergi. Lalu ketika dia menoleh sejenak tadi… sinar matanya seperti meminta pertolonganku. Aku tertegun. Mungkinkah….?


Dua minggu berikutnya aku mencoba berkomunikasi dengan Amanda melalui BBM tapi seringkali dia lambat menjawab. Aku sedikit khawatir tapi tak ingin berpikir yang aneh-aneh. Aku anggap dia sibuk. Sebagai salah satu sosialita di Jakarta, tentu Amanda punya jadwal yang padat. Hingga satu hari ada pesan masuk darinya, “Rat, sorry ya kemarin-kemarin aku lama jawabnya. Sibuk sama Abi. Besok bisa ketemuan nggak? Kamu main ke rumahku aja ya? Nanti aku kirim driver buat jemput kamu di kost.”


Esoknya Amanda mengirim supirnya untuk menjemputku di kost dan membawaku ke rumahnya di daerah Jakarta selatan. Sebuah rumah besar dan asri di perumahan elit. Amanda menyambutku dengan ceria, “Belum makan siang ‘kan? Temenin aku makan yaaaa….” Katanya sambil menggandeng tanganku. Sikapnya terasa lebih ceria hari itu. Lalu kami makan siang bersama di teras belakang rumahnya. “Abi sedang ke Eropa seminggu ini. Jadi aku agak bebas.” Begitu ujarnya. Aku tersenyum. 


Selesai makan, Amanda menghidangkan cappuccino dari mesin di rumahnya. Dia berceloteh panjang lebar tentang banyak hal. Aku hanya mendengarkan saja. Sampai pada satu saat, dia tiba-tiba terdiam. Kepalanya menunduk, menekuri cangkir kopi di tangannya. Aku agak bingung, sebenarnya… Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba Amanda mengangkat wajahnya. Dua jalur airmata tampak di pipinya. Aku segera meletakkan cangkir kopiku, mengambil cangkir kopi dari tangannya lalu memeluknya. Amanda menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bertanya, hanya memeluknya sambil mengusap punggungnya. “Aku sama sekali nggak happy, Rat…” begitu katanya.


Setelah berhasil menenangkan diri, Amanda bercerita padaku. Dia memang hidup serba berkecukupan. Cenderung lebih, malah. Tapi sama sekali tidak bahagia karena Abi, suami yang aku anggap kharismatik, ternyata sering sekali melakukan kekerasan verbal dan kekerasan psikologis kepada Amanda. Mulai dari soal perbedaan strata sosial keluarga Amanda, kuliahnya yang hanya di kampus dalam negeri, sampai masalah bagaimana mereka belum juga punya anak. Abi menganggap Amanda mandul, tapi tidak pernah mau diajak periksa bersama. Abi selalu tersinggung jika Amanda mengajaknya untuk periksa. Selain itu, Abi juga sering memaksa Amanda untuk berhubungan intim tanpa mengenal waktu. Bahkan tidak jarang ketika Amanda sedang datang bulan. Marital rape – begitu pikirku. Sebuah isu yang banyak ditemui tapi jarang disadari orang. Ketika sebuah perkosaan terjadi di dalam institusi perkawinan, maka tindakan pemaksaan itu dianggap sebagai sesuatu yang normal. Apalagi di lingkungan masyarakat yang cenderung patriarkal seperti masyarakat kita, di mana perempuan seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua. Norma-norma sosial di mana perempuan harus tunduk pada suami juga punya andil cukup besar dalam mendukung terjadinya praktek perkosaan dalam pernikahan.


Abi juga tidak suka ketika Amanda bergaul dengan orang-orang yang dia tidak kenal. Abi menyeleksi semua teman yang boleh ditemui Amanda. Lingkaran pergaulan sosial Amanda ditentukan oleh Abi dengan alasan Amanda dianggap tidak becus memilih kawan bergaul yang sederajat. Amanda tidak boleh bekerja, padahal sejak masa kuliah Amanda sudah mandiri dan selalu punya penghasilan sendiri. Bahkan berbisnis pun tidak diijinkan suaminya. Kekerasan yang dilakukan Abi memang tidak menjalar hingga ranah fisik, tapi tetap saja tidak bisa dibenarkan. Amanda terkurung sendirian. Teman-temannya adalah teman-teman Abi atau piliha Abi. Secara teknis, tidak ada yang datang dari pihak Amanda, sehingga dia merasa tidak punya dukungan. 


“Manda… kamu sadar nggak, kamu itu mengalami KDRT…” kataku perlahan. “KDRT? Ah nggak lah, Rat. Abi nggak pernah mukul aku kok…” perempuan itu berkilah. Aku menatapnya dalam-dalam, “Dengar, Manda… KDRT itu tidak melulu kekerasan fisik lho. Ada banyak jenis KDRT. Ada kekerasan psikologis, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi dan ada juga kekerasan seksual. Kamu mungkin nggak mengalami kekerasan fisik, tapi situasi kamu yang tidak bebas bergaul, serba diatur, tidak boleh bekerja, tidak diberi kemandirian ekonomi dan sering dapat penghinaan dari Abi itu semua sudah masuk kategori kekerasan lainnya.” Kataku menjelaskan. Amanda terdiam. “Gitu ya, Rat…?” Aku mengangguk. “Dan menurutku, kamu itu juga mengalami marital rape. Perkosaan dalam pernikahan. Karena Abi sering memaksamu untuk berhubungan intim pada saat kamu nggak mau.” Aku melanjutkan. “Tapi…. Kalau sudah menikah, apa iya bisa dikategorikan sebagai perkosaan sih? Kayaknya nggak mungkin, Rat. Kalau aku nolak, Abi pasti marah. Aku dikata-katai sebagai istri durhaka, tidak tahu diri. Yaaa… yang semacamnya lah. Katanya, aku bisa hidup enak dan serba mudah juga karena jasa dia, jadi sebagai balas budi, aku harus nurut apa kata dia…. Belum lagi soal anak. Ah… posisiku nggak enak banget, Rat…” Amanda mencurahkan isi hatinya. Pelik. Begitu pikirku. Ketika perempuan dimasukkan ke dalam perangkap yang dari luar terlihat indah, serba mudah, serba glamor. Terlihat serba dimanja, padahal sebenarnya sedang dibuat tergantung, tidak punya kemandirian dan tidak punya posisi tawar. Amanda adalah salah satu contohnya. Kemana-mana harus diantar supir, tidak boleh mengemudikan mobil sendiri padahal dia bisa. Tidak boleh bekerja. Hanya boleh “senang-senang” dengan teman-teman pilihan. Liburan ke luar negeri. Belanja seberapa banyak dia mau. Semuanya serba siap untuk memenuhi kebutuhannya….. terlihatnya seperti itu. Terlihat dimanja. Terlihat diperlakukan bak ratu. Tapi sebenarnya dia dikurung. Tidak diberi kebebasan. Dihujani dengan materi tapi tidak diberi kebahagiaan batin. Lalu untuk apa materi dan kemewahan itu? Hanya sebagai penghibur sesaat saja.


Kami berdua diam sejenak. “Manda, apakah yang kamu alami ini sudah lama?” tanyaku. Amanda tersenyum pahit. “Sejak tahun kedua menikah, Rat…” jawabnya. Dia lalu menghela nafas panjang, “Awalnya semua manis banget. Aku seperti ratu di rumah ini. Dimanja. Alasan Abi selalu begitu. Aku, istri dari Abimanyu yang seorang pengusaha, tidak perlu bekerja atau nyetir sendiri. Pakai driver biar nggak capek. Nggak usah kerja, karena itu kewajiban dia. Tugasku hanya arisan, terlihat cantik dan melayani dia aja.” Amanda melanjutkan dengan pandangan menerawang. “Awalnya aku senang aja digituin. Asik banget. Nggak usah repot nyetir di kemacetan. Nggak usah kerja, tapi duit ada terus. Kartu kredit unlimited. Belanja semaunya.” Amanda melanjutkan ceritanya. “Tahun kedua Abi mulai kasar bicaranya. Biasanya soal anak. Tapi setiap kali habis bicara kasar, dia lalu minta maaf sama aku kok Rat. Sampai sujud-sujud cium kakiku segala. Habis itu pasti aku dikasih banyaaaaak banget hadiah. Liburan ke luar negeri. Perhiasan. Fine dining. Apa aja yang aku minta pasti dikasih.” Ujar Amanda lagi. Aku tersenyum. Klasik… klasik… dan klasik sekali – aku membatin. Pelaku kekerasan memang rata-rata memiliki pola yang sama. Entah kenapa…. Melakukan kekerasan, lalu minta maaf sampai sujud-sujud dan diakhiri dengan memberi kompensasi berupa berbagai hadiah. Tapi tindakan mereka selalu berulang. Biasanya karena mereka pikir perempuan sangat mudah memaafkan, dan setelah diberi banyak hadiah maka insiden akan dilupakan. Mereka take it for granted! Salah… sangat salah!


“Manda…. Sekali waktu kamu harus tegas dan menyatakan bahwa kamu tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Kamu punya hak untuk bersosialisasi, hak untuk bekerja, hak untuk mandiri meskipun sudah bersuami. Kamu tahu itu kan?” kataku kepadanya. Amanda hanya mengangkat bahu, “Gimana mau mandiri, Rat… aku kan nggak kerja. Semua serba tergantung Abi. Tabunganku aja dipegang Abi. Uang belanja setiap bulan ditransfer ke rekening terpisah yang bisa aku pakai. Setiap bulan harus ada catatannya dan Abi akan periksa. Kalau aku pengen shopping, aku minta sama dia, nanti dia kasih aku cash. Nggak pernah dilarang sih, aku minta berapapun pasti dikasih dan nggak pernah ditanya. Tapi nanti dia pasti tanya beli apa dan minta dikasih lihat barangnya. Dia nggak pernah protes semahal apapun barang yang aku beli asal barangnya ada. Di luar itu aku selalu pakai kartu kredit yang dia kasih.” Jawabnya lirih. “Kalau aku kabur, aku nggak ada pegangan sama sekali.” Begitu lanjutnya. Aku menghela nafas. Prihatin. “Tapi bisa aja kan kamu ceritanya minta buat shopping, lalu kamu bawa kabur buat modal mengawali hidup baru?” kataku mencoba menyelipkan ide di kepalanya, tapi Amanda menggeleng. “Aku mau kabur kemana, Rat? Nggak ada teman. Semua temanku 'kan teman dia juga atau istri rekanan bisnisnya. Keluarga juga dia kenal semua. Tahu rumahnya semua. Nanti malah imbasnya kena ke keluargaku, aku nggak mau… Selama ini keluargaku taunya aku hidup senang, bahagia. Apa jadinya kalau tiba-tiba mereka tahu semua itu bohong? Nggak lah Rat… nggak bisa kayaknya… Aku nggak tega melakukan itu ke orang tuaku… di mata mereka Abi itu sosok suami sempurna…” ujarnya sambil menatapku dengan senyum sedih. “Biar aja… ini resiko aku… yang penting sekali-sekali aku bisa ketemu kamu dan ngobrol-ngobrol sekedar release aja… boleh ya…?” pintanya dengan suara memelas. Aku tidak tahan. Aku peluk dia, “Ya boleh laaaah…. Sesering mungkin ya Manda…. Kapan pun kamu butuh aku, kamu tahu kemana bisa cari aku.” Jawabku. Dia mengangguk.


Sehabis pertemuan hari itu, aku menemaninya selama seminggu penuh sampai Abi kembali dari Eropa. Sekembalinya Abi dari Eropa, beberapa kali aku mencoba mengontak Amanda tapi tidak pernah berhasil. Semua pesan BBM-ku selalu mendapat tanda silang. Ketika aku mencoba menghubunginya, nomornya tidak aktif. Amanda tidak punya akun media sosial apapun, maka aku tidak punya media untuk mengontaknya selain melalui BBM dan telepon genggam. Aku bertanya kepada banyak teman lainnya tapi semua mengalami hal yang sama. Amanda menghilang! Satu hari, aku nekad mendatangi rumahnya. Rumah besar itu sepi dan satpam yang menjaga mengatakan bahwa mereka sudah pindah ke rumah yang lain dan rumah itu sedang dalam proses penyewaan atau penjualan. Satpam itu mengaku tidak tahu ke rumah yang mana mereka pindah. Entah memang tidak tahu, atau tidak boleh memberi tahu…


Aku kehilangan jejaknya tanpa sempat membantunya lebih jauh lagi. Ada sedikit rasa bersalah menyelinap di dalam hatiku. Aku merasa seharusnya aku bisa berusaha lebih keras lagi untuk membantunya. Tapi pada saat yang sama, aku sudah melakukan apa yang aku bisa dan keputusan ada di tangan Amanda. Dia dengan pertimbangannya sendiri… mengorbankan kebahagiaannya demi orang lain. Betapa klise rasanya…. Dan betapa tidak relanya aku sebagai temannya melihat dia menderita hidup dalam istana berlian yang penuh dengan jeruji besi. Tapi sekali lagi, semua keputusan ada di tangannya. Aku tidak bisa melakukan intervensi tanpa ada permintaan darinya. Aku merasa tidak berdaya. Aku benci sekali rasa itu! Tidak berdaya... Aku tahu, aku bisa melakukan sesuatu untuknya, tapi aku punya batas yang tidak boleh dilanggar. Dan mengetahui salah seorang teman baikku terperangkap dalam situasi seperti itu tanpa aku bisa berbuat apa-apa.... sungguh sesuatu yang menyakitkan!

Di mana kamu, Amanda....? Aku hanya bisa berharap, suatu hari kamu akan menghubungiku lagi….

No comments:

Post a Comment