Sore itu aku berjanji untuk
bertemu dengan salah seorang teman lamaku. Kami sama-sama tinggal di Jakarta,
tapi sama sekali belum pernah bertemu. Rupanya tidak sengaja dia
melihat foto dan interview-ku di sebuah majalah, lalu dia mencari tahu
nomor teleponku melalui redaksi majalah tersebut. Setelah sekian kali janjian dan batal,
kami akhirnya bisa menemukan hari dan waktu yang disepakati bersama. Sebuah
kedai kopi di daerah Mega Kuningan menjadi tempat pertemuan kami.
Aku duduk sendiri, menunggu
Amanda yang belum datang. Seingatku Amanda tidak pernah suka datang terlambat,
tapi Jakarta menjelang senja – apalagi daerah Kuningan – selalu dilanda kemacetan.
Akhirnya setelah 30 menit menunggu, aku melihat sosoknya datang. Dia melambai
kepadaku sambil tersenyum sumringah. Wajahnya masih cantik seperti dulu, hanya
terlihat lebih dewasa. “Sorry ya Rat… Aduuuuh Jakarta nih macetnya makin gila
aja deh!” begitu ujarnya sambil menarik kursi di depanku. Aku tersenyum, “Nggak
apa-apa. Aku belum lama kok nunggu.” Jawabku sedikit berbohong. Lalu obrolanpun
mengalir begitu saja. Amanda sudah menikah dengan seorang pengusaha selama
delapan tahun tapi belum dikaruniai anak.
Tidak terasa sudah tiga jam lebih
kami ngobrol. Lalu, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan tegap dengan setelan
kantor mendekat ke meja kami. Serta merta Amanda memperkenalkan laki-laki itu
sebagai suaminya kepadaku, “Abimanyu” begitu dia menyebutkan namanya. Suaranya
penuh wibawa, pembawaannya juga kharismatik. Tak heran Amanda kecantol – begitu
pikirku. Amanda dari dulu terkenal sangat selektif memilih pasangan. Dia lebih
rela tidak punya pasangan daripada pacaran asal-asalan. Orientasinya selalu ke
masa depan dan rumah tangga. Wajahnya yang cantik membuat banyak laki-laki
naksir kepadanya. What a match – aku memuji dalam hati.
Tidak lama setelah suaminya
datang, dia mengajak Amanda untuk pulang. Amanda terlihat masih ingin tinggal,
“Kita ada janji dengan papa malam ini, sayang… Lupa?” ujar Abimanyu sambil
menatap Amanda tajam seolah member kode. “Tapi, yang… aku nggak ikut ‘kan nggak
apa-apa… aku pulang sendiri aja ya? Bisa kok!” Amanda mencoba meminta kepada
suaminya. “Nggak bisa dong, sayang… nanti kamu dicari papa lho… Yuk!” Abimanyu
berkata sambil menarik lengan Amanda. “Sampai ketemu ya, Ratri…” ujarnya
kepadaku. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Sorry
ya, Rat… next time lebih lama deh.
Aku masih kangen kamu, sebenernya.” Amanda berkata dengan nada menyesal, meraih
tasnya lalu sedikit terseret suaminya. “Santai aja, Man…” jawabku. Lalu
keduanya berjalan menjauh.
Sekitar sepuluh langkah dari
mejaku, Amanda menoleh padaku. Wajah cantiknya memancarkan ekspresi yang aneh.
Aku tertegun sesaat, namun dengan cepat mengangkat tanganku memberi kode “Call me” kepadanya dan dia pun
mengangguk. Ketika keduanya telah hilang dari pandanganku, aku berpikir
sendiri. Mencoba menganalisa apa yang arti dari ekspresi wajah temanku tadi.
Sejak suaminya tiba di kedai kopi itu, dia terlihat begitu tegang, resah dan
tidak santai. Aku bahkan bisa menangkap sedikit rasa takut terpancar dari
matanya ketika beranjak mengikut suaminya pergi. Lalu ketika dia menoleh
sejenak tadi… sinar matanya seperti meminta pertolonganku. Aku tertegun. Mungkinkah….?
Dua minggu berikutnya aku mencoba
berkomunikasi dengan Amanda melalui BBM tapi seringkali dia lambat menjawab.
Aku sedikit khawatir tapi tak ingin berpikir yang aneh-aneh. Aku anggap dia
sibuk. Sebagai salah satu sosialita di Jakarta, tentu Amanda punya jadwal yang
padat. Hingga satu hari ada pesan masuk darinya, “Rat, sorry ya kemarin-kemarin aku lama jawabnya. Sibuk sama Abi. Besok
bisa ketemuan nggak? Kamu main ke rumahku aja ya? Nanti aku kirim driver buat jemput kamu di kost.”
Esoknya Amanda mengirim supirnya
untuk menjemputku di kost dan membawaku ke rumahnya di daerah Jakarta selatan.
Sebuah rumah besar dan asri di perumahan elit. Amanda menyambutku dengan ceria,
“Belum makan siang ‘kan? Temenin aku makan yaaaa….” Katanya sambil menggandeng
tanganku. Sikapnya terasa lebih ceria hari itu. Lalu kami makan siang bersama
di teras belakang rumahnya. “Abi sedang ke Eropa seminggu ini. Jadi aku agak
bebas.” Begitu ujarnya. Aku tersenyum.
Selesai makan, Amanda
menghidangkan cappuccino dari mesin di rumahnya. Dia berceloteh panjang lebar
tentang banyak hal. Aku hanya mendengarkan saja. Sampai pada satu saat, dia
tiba-tiba terdiam. Kepalanya menunduk, menekuri cangkir kopi di tangannya. Aku
agak bingung, sebenarnya… Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba
Amanda mengangkat wajahnya. Dua jalur airmata tampak di pipinya. Aku segera
meletakkan cangkir kopiku, mengambil cangkir kopi dari tangannya lalu
memeluknya. Amanda menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bertanya, hanya
memeluknya sambil mengusap punggungnya. “Aku sama sekali nggak happy, Rat…” begitu katanya.
Setelah berhasil menenangkan
diri, Amanda bercerita padaku. Dia memang hidup serba berkecukupan. Cenderung
lebih, malah. Tapi sama sekali tidak bahagia karena Abi, suami yang aku anggap
kharismatik, ternyata sering sekali melakukan kekerasan verbal dan kekerasan
psikologis kepada Amanda. Mulai dari soal perbedaan strata sosial keluarga
Amanda, kuliahnya yang hanya di kampus dalam negeri, sampai masalah bagaimana
mereka belum juga punya anak. Abi menganggap Amanda mandul, tapi tidak pernah
mau diajak periksa bersama. Abi selalu tersinggung jika Amanda mengajaknya
untuk periksa. Selain itu, Abi juga sering memaksa Amanda untuk berhubungan
intim tanpa mengenal waktu. Bahkan tidak jarang ketika Amanda sedang datang
bulan. Marital rape – begitu pikirku.
Sebuah isu yang banyak ditemui tapi jarang disadari orang. Ketika sebuah
perkosaan terjadi di dalam institusi perkawinan, maka tindakan pemaksaan itu
dianggap sebagai sesuatu yang normal. Apalagi di lingkungan masyarakat yang
cenderung patriarkal seperti masyarakat kita, di mana perempuan seringkali
dianggap sebagai warga negara kelas dua. Norma-norma sosial di mana perempuan
harus tunduk pada suami juga punya andil cukup besar dalam mendukung terjadinya
praktek perkosaan dalam pernikahan.
Abi juga tidak suka ketika Amanda
bergaul dengan orang-orang yang dia tidak kenal. Abi menyeleksi semua teman
yang boleh ditemui Amanda. Lingkaran pergaulan sosial Amanda ditentukan oleh
Abi dengan alasan Amanda dianggap tidak becus memilih kawan bergaul yang
sederajat. Amanda tidak boleh bekerja, padahal sejak masa kuliah Amanda sudah
mandiri dan selalu punya penghasilan sendiri. Bahkan berbisnis pun tidak
diijinkan suaminya. Kekerasan yang dilakukan Abi memang tidak menjalar hingga
ranah fisik, tapi tetap saja tidak bisa dibenarkan. Amanda terkurung sendirian.
Teman-temannya adalah teman-teman Abi atau piliha Abi. Secara teknis, tidak ada
yang datang dari pihak Amanda, sehingga dia merasa tidak punya dukungan.
“Manda… kamu sadar nggak, kamu
itu mengalami KDRT…” kataku perlahan. “KDRT? Ah nggak lah, Rat. Abi nggak
pernah mukul aku kok…” perempuan itu berkilah. Aku menatapnya dalam-dalam,
“Dengar, Manda… KDRT itu tidak melulu kekerasan fisik lho. Ada banyak jenis
KDRT. Ada kekerasan psikologis, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi dan ada
juga kekerasan seksual. Kamu mungkin nggak mengalami kekerasan fisik, tapi
situasi kamu yang tidak bebas bergaul, serba diatur, tidak boleh bekerja,
tidak diberi kemandirian ekonomi dan sering dapat penghinaan dari Abi itu semua
sudah masuk kategori kekerasan lainnya.” Kataku menjelaskan. Amanda terdiam.
“Gitu ya, Rat…?” Aku mengangguk. “Dan menurutku, kamu itu juga mengalami marital rape. Perkosaan dalam
pernikahan. Karena Abi sering memaksamu untuk berhubungan intim pada saat kamu
nggak mau.” Aku melanjutkan. “Tapi…. Kalau sudah menikah, apa iya bisa
dikategorikan sebagai perkosaan sih? Kayaknya nggak mungkin, Rat. Kalau aku
nolak, Abi pasti marah. Aku dikata-katai sebagai istri durhaka, tidak tahu
diri. Yaaa… yang semacamnya lah. Katanya, aku bisa hidup enak dan serba mudah
juga karena jasa dia, jadi sebagai balas budi, aku harus nurut apa kata dia…. Belum
lagi soal anak. Ah… posisiku nggak enak banget, Rat…” Amanda mencurahkan isi
hatinya. Pelik. Begitu pikirku. Ketika perempuan dimasukkan ke dalam perangkap
yang dari luar terlihat indah, serba mudah, serba glamor. Terlihat serba
dimanja, padahal sebenarnya sedang dibuat tergantung, tidak punya kemandirian
dan tidak punya posisi tawar. Amanda adalah salah satu contohnya. Kemana-mana
harus diantar supir, tidak boleh mengemudikan mobil sendiri padahal dia bisa. Tidak
boleh bekerja. Hanya boleh “senang-senang” dengan teman-teman pilihan. Liburan ke
luar negeri. Belanja seberapa banyak dia mau. Semuanya serba siap untuk
memenuhi kebutuhannya….. terlihatnya seperti itu. Terlihat dimanja. Terlihat diperlakukan
bak ratu. Tapi sebenarnya dia dikurung. Tidak diberi kebebasan. Dihujani dengan
materi tapi tidak diberi kebahagiaan batin. Lalu untuk apa materi dan kemewahan
itu? Hanya sebagai penghibur sesaat saja.
Kami berdua diam sejenak. “Manda,
apakah yang kamu alami ini sudah lama?” tanyaku. Amanda tersenyum pahit. “Sejak
tahun kedua menikah, Rat…” jawabnya. Dia lalu menghela nafas panjang, “Awalnya
semua manis banget. Aku seperti ratu di rumah ini. Dimanja. Alasan Abi selalu
begitu. Aku, istri dari Abimanyu yang seorang pengusaha, tidak perlu bekerja
atau nyetir sendiri. Pakai driver
biar nggak capek. Nggak usah kerja, karena itu kewajiban dia. Tugasku hanya arisan,
terlihat cantik dan melayani dia aja.” Amanda melanjutkan dengan pandangan
menerawang. “Awalnya aku senang aja digituin. Asik banget. Nggak usah repot
nyetir di kemacetan. Nggak usah kerja, tapi duit ada terus. Kartu kredit unlimited. Belanja semaunya.” Amanda melanjutkan
ceritanya. “Tahun kedua Abi mulai kasar bicaranya. Biasanya soal anak. Tapi setiap
kali habis bicara kasar, dia lalu minta maaf sama aku kok Rat. Sampai sujud-sujud
cium kakiku segala. Habis itu pasti aku dikasih banyaaaaak banget hadiah. Liburan
ke luar negeri. Perhiasan. Fine dining. Apa aja yang aku minta pasti dikasih.” Ujar
Amanda lagi. Aku tersenyum. Klasik… klasik… dan klasik sekali – aku membatin. Pelaku
kekerasan memang rata-rata memiliki pola yang sama. Entah kenapa…. Melakukan kekerasan,
lalu minta maaf sampai sujud-sujud dan diakhiri dengan memberi kompensasi
berupa berbagai hadiah. Tapi tindakan mereka selalu berulang. Biasanya karena
mereka pikir perempuan sangat mudah memaafkan, dan setelah diberi banyak hadiah
maka insiden akan dilupakan. Mereka take it for granted! Salah… sangat salah!
“Manda…. Sekali waktu kamu harus
tegas dan menyatakan bahwa kamu tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Kamu punya
hak untuk bersosialisasi, hak untuk bekerja, hak untuk mandiri meskipun sudah
bersuami. Kamu tahu itu kan?” kataku kepadanya. Amanda hanya mengangkat bahu, “Gimana
mau mandiri, Rat… aku kan nggak kerja. Semua serba tergantung Abi. Tabunganku
aja dipegang Abi. Uang belanja setiap bulan ditransfer ke rekening terpisah
yang bisa aku pakai. Setiap bulan harus ada catatannya dan Abi akan periksa. Kalau
aku pengen shopping, aku minta sama dia, nanti dia kasih aku cash. Nggak pernah
dilarang sih, aku minta berapapun pasti dikasih dan nggak pernah ditanya. Tapi nanti
dia pasti tanya beli apa dan minta dikasih lihat barangnya. Dia nggak pernah
protes semahal apapun barang yang aku beli asal barangnya ada. Di luar itu aku
selalu pakai kartu kredit yang dia kasih.” Jawabnya lirih. “Kalau aku kabur,
aku nggak ada pegangan sama sekali.” Begitu lanjutnya. Aku menghela nafas. Prihatin.
“Tapi bisa aja kan kamu ceritanya minta buat shopping, lalu kamu bawa kabur
buat modal mengawali hidup baru?” kataku mencoba menyelipkan ide di kepalanya,
tapi Amanda menggeleng. “Aku mau kabur kemana, Rat? Nggak ada teman. Semua temanku 'kan teman dia juga atau istri rekanan bisnisnya. Keluarga juga
dia kenal semua. Tahu rumahnya semua. Nanti malah imbasnya kena ke keluargaku,
aku nggak mau… Selama ini keluargaku taunya aku hidup senang, bahagia. Apa jadinya
kalau tiba-tiba mereka tahu semua itu bohong? Nggak lah Rat… nggak bisa
kayaknya… Aku nggak tega melakukan itu ke orang tuaku… di mata mereka Abi itu
sosok suami sempurna…” ujarnya sambil menatapku dengan senyum sedih. “Biar aja…
ini resiko aku… yang penting sekali-sekali aku bisa ketemu kamu dan
ngobrol-ngobrol sekedar release aja… boleh ya…?” pintanya dengan suara memelas.
Aku tidak tahan. Aku peluk dia, “Ya boleh laaaah…. Sesering mungkin ya Manda…. Kapan
pun kamu butuh aku, kamu tahu kemana bisa cari aku.” Jawabku. Dia mengangguk.
Sehabis pertemuan hari itu, aku
menemaninya selama seminggu penuh sampai Abi kembali dari Eropa. Sekembalinya Abi
dari Eropa, beberapa kali aku mencoba mengontak Amanda tapi tidak pernah
berhasil. Semua pesan BBM-ku selalu mendapat tanda silang. Ketika aku mencoba
menghubunginya, nomornya tidak aktif. Amanda tidak punya akun media sosial
apapun, maka aku tidak punya media untuk mengontaknya selain melalui BBM dan telepon genggam. Aku bertanya
kepada banyak teman lainnya tapi semua mengalami hal yang sama. Amanda menghilang!
Satu hari, aku nekad mendatangi rumahnya. Rumah besar itu sepi dan satpam yang
menjaga mengatakan bahwa mereka sudah pindah ke rumah yang lain dan rumah itu
sedang dalam proses penyewaan atau penjualan. Satpam itu mengaku tidak tahu ke rumah yang mana
mereka pindah. Entah memang tidak tahu, atau tidak boleh memberi tahu…
Aku kehilangan jejaknya tanpa
sempat membantunya lebih jauh lagi. Ada sedikit rasa bersalah menyelinap di
dalam hatiku. Aku merasa seharusnya aku bisa berusaha lebih keras lagi untuk
membantunya. Tapi pada saat yang sama, aku sudah melakukan apa yang aku bisa
dan keputusan ada di tangan Amanda. Dia dengan pertimbangannya sendiri…
mengorbankan kebahagiaannya demi orang lain. Betapa klise rasanya…. Dan betapa
tidak relanya aku sebagai temannya melihat dia menderita hidup dalam istana
berlian yang penuh dengan jeruji besi. Tapi sekali lagi, semua keputusan ada di
tangannya. Aku tidak bisa melakukan intervensi tanpa ada permintaan darinya. Aku merasa tidak berdaya. Aku benci sekali rasa itu! Tidak berdaya... Aku tahu, aku bisa melakukan sesuatu untuknya, tapi aku punya batas yang tidak boleh dilanggar. Dan mengetahui salah seorang teman baikku terperangkap dalam situasi seperti itu tanpa aku bisa berbuat apa-apa.... sungguh sesuatu yang menyakitkan!
Di mana kamu, Amanda....? Aku hanya bisa berharap, suatu hari kamu akan menghubungiku lagi….
No comments:
Post a Comment