Cuaca sore hari di Pulau Bintan sangat cerah. Langit biru, angin sejuk dan matahari bersinar. Aku mengendarai motor bersama dengan 2 orang Manajer Kasus dan 2 orang Buddies dari sebuah LSM di Tanjung Pinang. Tujuan kami adalah ke Gunung Kijang. Home visit. "Ada seorang perempuan muda yang positif di salah satu panti jompo di sana mbak. Dia diisolasi karena pengobatan TB-nya belum tuntas. Sedikit lagi kok..." begitu Lia, Manajer Kasus, memberikan informasi kemarin. "Dia itu agak terbelakang, tapi tidak parah. Tuna wicara tapi bisa berkomunikasi. Tingkahnya seperti anak kecil yang jauh di bawah umurnya." sambung Lia. Aku tak sabar untuk menemui gadis ini.
Setelah berkendara sekira 30 menit, tibalah kami di panti jompo Rumah Cahaya. "Kenapa dia ditempatkan di sini?" tanyaku kepada tim yang menyertai kunjunganku. "Ini bantuan dari pemda Bintan, mbak. Dia dan keluarganya bisa tinggal di sini dengan gratis. Diberi rumah kecil. Tapi kendalanya ya memang jauh dari mana-mana." Yani menerangkan kepadaku. Aku mengangguk kecil.
Suasana panti jompo itu lengang dan tenang. Udaranya sejuk dan segar. Terlihat renovasi di sana-sini. Pembangunan gedung akomodasi baru, taman, kolam. Tampaknya nanti jika sudah jadi, akan sangat bagus. Kami disambut Adam, asisten pengurus panti itu. Adam mengantarkan kami ke rumah kecil tempat di mana perempuan itu tinggal. "Oh iya mbak, namanya Nina." Lia memberitahu. Aku mengangguk lagi.
Setibanya di rumah kecil yang letaknya cukup jauh dari bangunan utama, kami disambut oleh orang tua Nina. Ayahnya orang asli Bintan sedangkan ibunya dari Jawa. Nina belum tampak. Tak lama sehabis kami bersalaman dengan orang tuanya, gadis muda itu muncul. Aku tercekat..... Wajahnya sangat manis. Ceria. Sungguh mirip dengan Alyssa Soebandono. Tingkahnya kekanak-kanakan namun ramah dan menyenangkan. Bicaranya tidak jelas, tapi kami semua bisa mengerti apa yang dikatakannya. "Nih, kenalkan mbak Ratri dari Jakarta khusus datang kemari ingin menengok Nina lho..." Lia membuka percakapan. Nina tersipu-sipu sambil menyalami tanganku. "Cantik ya mbak?" ujar Lia lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum, "Iya. Manis dan mirip sekali dengan Alyssa Soebandono yang bintang sinetron itu!" kataku. Nina menutup wajahnya karena malu. "Aku panggilnya Alyssa saja ah..." kataku menggodanya. Nina tertawa sambil terus menutup wajahnya.
Lia dan Yani bergantian menanyakan keadaan Nina lewat ibunya. Pengobatan TB nya sudah hampir tuntas dan dia tak sabar ingin keluar dari rumah itu. "Bosan kak. Ingin jalan-jalan..." begitu katanya dengan terbata-bata. "Sabar ya, de... Sembuh dulu. Obatnya diminum terus ya. Nanti kalau sudah sembuh, kakak ajak jalan-jalan ke kelompok dukungan deh." bujuk Lia. "Bu, obatnya tinggal berapa?" Yani bertanya. Sang ibu pun menyuruh Nina mengambil botol obat ARV nya di dalam kamar, "Tinggal 8 butir lagi..." kata ibunya. Yani mengangguk, "Nanti kami ambilkan ya bu. Biar ibu dan Nina tidak usah ke rumah sakit. Nina 'kan belum boleh kemana-mana. Hari Kamis kami antarkan kemari." sambung Yani.
"Alyssa umur berapa?" tanyaku. Gadis itu menjawab, "Delapan belas" sambil tersenyum tersipu karena aku masih memanggilnya Alyssa. "Dia ini masih muda mbak, tapi sudah pernah menikah. Hanya setahun lalu suaminya meninggal, dan dia diketahui mengidap HIV." Lia memberikan informasi tentang latar belakang Nina. Ah... kawin muda lalu tertular HIV. Punya keterbatasan fisik pula... betapa miris aku mendengarnya. "Ayo, de.... minum obatnya jam berapa?" tanya Lia. "Jam sembilan!" jawabnya sambil mengacungkan 9 jari. "Kalau obat yang kuning, yang buat TB nya diminum jam berapa?" tanya Yani. "Jam tujuh!" jawab Nina lagi-lagi sambil mengacungkan 7 jari tangannya. "Pinter..... jangan telat ya?" kata Lia. Nina menggangguk kuat-kuat. Lalu tiba-tiba dia menepuk kaki ibunya sambil berkata, "Ini kakak yang di rumah sakit..." ujarnya sambil menunjuk Lia. "Iya... kakak yang di rumah sakit." jawab sang ibu. "Mak, ini kakak yang di rumah sakit kemarin!" ulangnya lagi. Sang ibu masih mengangguk dengan sabar dan menjawab, "Iya, de... ini kakak yang kemarin ketemu di rumah sakit." Kami semua tersenyum. Keterbelakangan Nina membuat dia sering mengulang kalimat seolah tak ingat bahwa dia baru saja mengucapkannya.
Tiba-tiba alarm obatku berbunyi. Aku sontak mematikannya lalu mengeluarkan botol air mineral dan obatku. "Obat apa itu kak?" tanya Nina. Aku tersenyum, "Obat seperti punya Alyssa" jawabku. Lalu aku melihat bola mata Nina membesar dan senyum cerah mengembang di wajahnya, "Kakak sama obatnya dengan aku?" tanyanya sambil menunjuk dadanya. Aku mengangguk sambil menelan obatku. "Waaaah!" Nina menjerit girang, "Mak, kakak obatnya sama!" ujarnya sambil mengguncang tangan ibunya. Sang ibu tersenyum sambil mengangguk, "Iya. Lihat, kakak sehat kan? Ade juga harus rajin minum obatnya supaya sehat seperti kakak ya?" ujarnya. "Kakak obatnya sama, tapi kakak cantik... Nina minum obat, nanti cantik seperti kakak??" kata gadis itu dengan polos. Giliran aku yang tersipu, tak tahu harus berkata apa. "Iya... Nina rajin-rajin minum obatnya ya? Nanti cantik seperti kak Ratri deh!" Lia buru-buru menyambar. Nina tertawa-tawa senang, "Mak, sama mak! Kakak sama! Nanti Nina juga cantik!" sang ibu mengangguk.
Tak sadar hari semakin sore. Kami pun pamit karena masih ada satu keluarga lagi yang harus kami kunjungi. "Sehat ya Alyssa.... rajin minum obatnya..." kataku sambil menyalaminya. Nina tersipu, "Nina rajin minum obat supaya cantik dan sehat!" jawabnya yang disambut tawa kami semua.
Di sepanjang perjalanan menuju Trikora aku memikirkan Nina. Gadis cantik itu entah akan jadi seperti apa. Aku hanya bisa berharap dia akan menemukan pasangan hidup yang baik dan bisa mengerti keadaannya. Nina masih tidak mengetahui status HIV-nya. Keluarganya masih belum mau membuka statusnya karena daya tangkapnya dianggap tidak akan mampu mencerna informasi yang masuk. Kami pun terjebak dalam dilema karena orang tuanya semakin sepuh. Apakah status itu harus tetap dirahasiakan dari Nina? Sampai kapan? Tak satu pun dari kami yang punya jawabannya saat ini...
No comments:
Post a Comment