Aku menatap kalender yang tertera pada layar ponselku. Sudah berapa lamakah? Bertahun-tahun... Ya, sudah lewat dari lima tahun setidaknya, namun ternyata masih saja ada lontaran kalimat-kalimat yang membuat bulu kudukku berdiri. "Ini bukan stigma..." begitu ujarnya. Aku hanya diam. Jika ini bukan stigma, lalu apa? - aku membatin sendiri. Bertahun-tahun aku mencari jawabannya, namun tak kunjung aku temui.
Kali pertama aku bertemu dengannya, aku langsung membuka statusku. Aku tidak pernah mau menutupi kondisiku. Maka sebelum semuanya berjalan terlalu lama, aku sudah membuka diri. Dia menerimaku apa adanya. Keluarganya? Tak mudah di awal, namun aku berhasil melakukan advokasi kecil-kecilan dan membuat seluruh anggota keluarganya menerimaku. Sempurna? Tentu saja. ODHA mana yang tidak memimpikan pasangan negatif yang menerima dengan tangan terbuka. Tidak hanya itu, tapi seluruh keluarga dan teman-temannya pun menerima dengan tangan terbuka.
Aku tidak pernah merasakan bagaimana menerima stigma. Tidak dalam kapasitas besar yang membuatku ingin mengurung diri atau frustrasi. Beruntung. Itu lah yang selalu aku katakan ketika pembahasan masuk ke ranah stigma dan diskriminasi. Namun rupanya perjuanganku menghadapi stigma jauh lebih rumit dan membingungkan jika dibandingkan dengan teman-teman komunitas lainnya. Stigma yang aku terima tidak berupa stigma langsung. Stigma ini berada di balik pintu kamar kami yang tertutup rapat.
Lelahnya perjuanganku untuk memberikan edukasi tentang HIV di lapangan terasa tak sebanding dengan apa yang aku hadapi di balik pintu kamar yang tertutup rapat ini. Ketakutannya akan tertular membuatnya seolah tidak bisa mencerna informasi yang aku sampaikan, bahwa penularan dari perempuan positif ke laki-laki negatif itu hanya 30%. Ketika si perempuan sudah mulai terapi ARV dan jumlah virus dalam darahnya sudah tidak terdeteksi, prosentase itu bahkan bisa turun drastis hingga angka nol. Debat-debat panjang yang melelahkan pun dimulai. Semua informasi yang aku sampaikan seperti terpental pada tembok saja. Tak peduli berapa banyak contoh kasus yang aku berikan, tak ada yang bisa mengalahkan rasa takutnya. Aku pun nyaris putus asa. Tak tahu lagi bagaimana cara menyampaikan yang baik dan mudah dimengerti.
"Aku mempertaruhkan nyawaku lewat kebersamaanku denganmu!" begitu yang sering disampaikannya padaku. Begitukah? Lalu, apakah semua studi kasus yang aku sampaikan selama ini tentang harapan hidup ODHA, perawatan dan rendahnya angka penularan dari perempuan positif kepada laki-laki tidak dijadikan bahan pertimbangan? Sakit. Itu yang aku rasakan. Tapi aku hanya bisa diam sambil memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang sama agar bisa dicerna dengan lebih baik. "Aku sudah harus menjalani tes lagi, tapi aku sangat ketakutan saat ini! Aku yakin sekali hasilnya akan positif!" begitu dia berujar dengan nada panik. Ah, bukankah kalimat yang sama sudah pernah disampaikan beberapa kali dalam beberapa tahun dan hasilnya selalu negatif? Negatif karena kita selalu melakukan tindakan pencegahan yang tepat...
"Kamu tidak pernah bisa menenangkanku dalam hal ini! Padahal kamu selalu bisa melakukannya dengan baik kepada orang lain. Kenapa?" dia bertanya padaku sambil meradang. Karena orang lain mau mendengarkan penjelasanku. Karena orang lain mau mencerna informasi yang aku berikan dengan tenang. Karena orang lain bisa mengatasi rasa takutnya. Karena orang lain percaya pada apa yang aku sampaikan. - aku membatin sendiri. Kalimat-kalimat ini tak bisa aku lontarkan kepadanya tanpa membuat suasana menjadi semakin panas. Aku hanya bisa diam, menunduk dan merasakan mataku memanas. Frustrasi, karena tak bisa menemukan cara yang tepat untuk mengurangi rasa takutnya.
"Aku mencintaimu lebih dari apapun. Tapi jika hasil tesku nanti positif, aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana aku akan menghadapinya. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi keluargaku. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku tidak akan menyalahkanmu!" ujarnya lagi. Dadaku terasa ditusuk belati kemudian diputar 180 derajat. Sakitnya lebih sakit daripada rasa sakit manapun yang pernah aku rasakan dalam hidupku. "Aku tidak menstigma kamu. Ini bukan stigma. Ini fakta. Ini apa yang aku rasakan. Ini kejujuran..." begitu dia melanjutkan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum getir. Benarkah ini bukan stigma? Lalu aku merasa gagal. Ya, gagal... Ketika aku berhasil membuat banyak orang di luar sana mengerti dan memahami berbagai hal tentang HIV dan AIDS, aku justru gagal melakukannya di balik pintu kamarku sendiri.
"Mbak, aku ingin sekali jadi seperti mbak..." tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh suara lembut seorang perempuan yang duduk di depanku. Aku tercekat sejenak. "Eh? Kenapa harus begitu?" tanyaku pada perempuan berwajah sendu di hadapanku. "Mbak ini cantik, kuat, tegar, berdaya. Aku ingin sekali bisa seperti mbak... Tahan menghadapi semua tantangan..." jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Nafasku nyaris berhenti. Cantik. Kuat. Tegar. Berdaya. Ah, betapa berat keempat kata yang dilontarkannya untuk mendeskripsikanku. Dia tidak tahu persis apa yang aku lalui dalam hidupku. Dia tidak tahu persis kegagalan apa yang aku alami dalam hidupku. Jika dia tahu tantangan apa yang aku hadapi, tentunya dia tidak lagi ingin menjadi seperti aku. Aku tersenyum, "Jangan mbak... Jangan pernah ingin jadi seperti siapapun. Jadi diri sendiri saja... Kita dilahirkan unik, kenapa harus ingin menjadi seperti orang lain?" kataku sambil menggenggam tangannya.
Kali pertama aku bertemu dengannya, aku langsung membuka statusku. Aku tidak pernah mau menutupi kondisiku. Maka sebelum semuanya berjalan terlalu lama, aku sudah membuka diri. Dia menerimaku apa adanya. Keluarganya? Tak mudah di awal, namun aku berhasil melakukan advokasi kecil-kecilan dan membuat seluruh anggota keluarganya menerimaku. Sempurna? Tentu saja. ODHA mana yang tidak memimpikan pasangan negatif yang menerima dengan tangan terbuka. Tidak hanya itu, tapi seluruh keluarga dan teman-temannya pun menerima dengan tangan terbuka.
Aku tidak pernah merasakan bagaimana menerima stigma. Tidak dalam kapasitas besar yang membuatku ingin mengurung diri atau frustrasi. Beruntung. Itu lah yang selalu aku katakan ketika pembahasan masuk ke ranah stigma dan diskriminasi. Namun rupanya perjuanganku menghadapi stigma jauh lebih rumit dan membingungkan jika dibandingkan dengan teman-teman komunitas lainnya. Stigma yang aku terima tidak berupa stigma langsung. Stigma ini berada di balik pintu kamar kami yang tertutup rapat.
Lelahnya perjuanganku untuk memberikan edukasi tentang HIV di lapangan terasa tak sebanding dengan apa yang aku hadapi di balik pintu kamar yang tertutup rapat ini. Ketakutannya akan tertular membuatnya seolah tidak bisa mencerna informasi yang aku sampaikan, bahwa penularan dari perempuan positif ke laki-laki negatif itu hanya 30%. Ketika si perempuan sudah mulai terapi ARV dan jumlah virus dalam darahnya sudah tidak terdeteksi, prosentase itu bahkan bisa turun drastis hingga angka nol. Debat-debat panjang yang melelahkan pun dimulai. Semua informasi yang aku sampaikan seperti terpental pada tembok saja. Tak peduli berapa banyak contoh kasus yang aku berikan, tak ada yang bisa mengalahkan rasa takutnya. Aku pun nyaris putus asa. Tak tahu lagi bagaimana cara menyampaikan yang baik dan mudah dimengerti.
"Aku mempertaruhkan nyawaku lewat kebersamaanku denganmu!" begitu yang sering disampaikannya padaku. Begitukah? Lalu, apakah semua studi kasus yang aku sampaikan selama ini tentang harapan hidup ODHA, perawatan dan rendahnya angka penularan dari perempuan positif kepada laki-laki tidak dijadikan bahan pertimbangan? Sakit. Itu yang aku rasakan. Tapi aku hanya bisa diam sambil memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menyampaikan informasi yang sama agar bisa dicerna dengan lebih baik. "Aku sudah harus menjalani tes lagi, tapi aku sangat ketakutan saat ini! Aku yakin sekali hasilnya akan positif!" begitu dia berujar dengan nada panik. Ah, bukankah kalimat yang sama sudah pernah disampaikan beberapa kali dalam beberapa tahun dan hasilnya selalu negatif? Negatif karena kita selalu melakukan tindakan pencegahan yang tepat...
"Kamu tidak pernah bisa menenangkanku dalam hal ini! Padahal kamu selalu bisa melakukannya dengan baik kepada orang lain. Kenapa?" dia bertanya padaku sambil meradang. Karena orang lain mau mendengarkan penjelasanku. Karena orang lain mau mencerna informasi yang aku berikan dengan tenang. Karena orang lain bisa mengatasi rasa takutnya. Karena orang lain percaya pada apa yang aku sampaikan. - aku membatin sendiri. Kalimat-kalimat ini tak bisa aku lontarkan kepadanya tanpa membuat suasana menjadi semakin panas. Aku hanya bisa diam, menunduk dan merasakan mataku memanas. Frustrasi, karena tak bisa menemukan cara yang tepat untuk mengurangi rasa takutnya.
"Aku mencintaimu lebih dari apapun. Tapi jika hasil tesku nanti positif, aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana aku akan menghadapinya. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi keluargaku. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku tidak akan menyalahkanmu!" ujarnya lagi. Dadaku terasa ditusuk belati kemudian diputar 180 derajat. Sakitnya lebih sakit daripada rasa sakit manapun yang pernah aku rasakan dalam hidupku. "Aku tidak menstigma kamu. Ini bukan stigma. Ini fakta. Ini apa yang aku rasakan. Ini kejujuran..." begitu dia melanjutkan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum getir. Benarkah ini bukan stigma? Lalu aku merasa gagal. Ya, gagal... Ketika aku berhasil membuat banyak orang di luar sana mengerti dan memahami berbagai hal tentang HIV dan AIDS, aku justru gagal melakukannya di balik pintu kamarku sendiri.
"Mbak, aku ingin sekali jadi seperti mbak..." tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh suara lembut seorang perempuan yang duduk di depanku. Aku tercekat sejenak. "Eh? Kenapa harus begitu?" tanyaku pada perempuan berwajah sendu di hadapanku. "Mbak ini cantik, kuat, tegar, berdaya. Aku ingin sekali bisa seperti mbak... Tahan menghadapi semua tantangan..." jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Nafasku nyaris berhenti. Cantik. Kuat. Tegar. Berdaya. Ah, betapa berat keempat kata yang dilontarkannya untuk mendeskripsikanku. Dia tidak tahu persis apa yang aku lalui dalam hidupku. Dia tidak tahu persis kegagalan apa yang aku alami dalam hidupku. Jika dia tahu tantangan apa yang aku hadapi, tentunya dia tidak lagi ingin menjadi seperti aku. Aku tersenyum, "Jangan mbak... Jangan pernah ingin jadi seperti siapapun. Jadi diri sendiri saja... Kita dilahirkan unik, kenapa harus ingin menjadi seperti orang lain?" kataku sambil menggenggam tangannya.
No comments:
Post a Comment