Siang hari di daerah Subang Pantura bukanlah saat paling menyenangkan. Aku dan Wawan mengendarai motor menyusuri jalur Pantura yang ramai di bawah terik sorot matahari. Kami berlomba cepat bukan dengan mobil-mobil kecil, tapi dengan truk-truk kontener, thronton, truk gandeng dan sebangsanya. Setiap hari adalah uji nyali bagiku. Namun siang kali ini berbeda dengan siang hari-hari sebelumnya. Hari ini Wawan akan mengantarku ikut bergabung dalam pertemuan Kelompok Dukungan Sebaya setempat. "Dulu, aku pernah punya klien dampingan dari Subang juga. Namanya Eni dan Amin. Udah lama sekali aku nggak ketemu mereka, Wan..." aku berujar kepada Wawan ketika sedang makan malam sebelumnya. Wawan segera menghentikan kegiatan makannya, "Eni dan Amin, mbak?" tanyanya mengulang dua nama yang aku sebutkan. Aku menatapnya, "Iya, Wan. Eni dan Amin." aku mengulang lagi dengan setengah geli.
"Kita juga ada klien dampingan pasangan namanya Eni dan Amin, mbak... Jangan-jangan orang yang sama nih..." lanjut Wawan. "Anaknya namanya Rahmat, bukan?" tanyaku lagi. Wawan nyaris melempar alat makannya, "Persis mbak!" ujarnya setengah berteriak sambil menunjuk kepadaku dengan penuh semangat. Kini giliranku yang terbelalak, "Beneran Wan? Kamu bisa antar aku ketemu mereka?" tanyaku lagi. Wawan mengangguk-angguk. "Bisa mbak. Bisa banget! Besok mereka ada pertemuan KDS di Warung Ayu. Kita gabung saja ke sana ya?" ujar Wawan, disambut dengan senyumku yang paling lebar. Sejurus kemudian Wawan sibuk dengan telepon genggamnya, sementara aku menghabiskan makananku.
Begitulah awalnya semalam. Lalu hari ini aku dan Wawan bergegas menyelesaikan tugas mentoring pagi kami agar bisa menggabungkan diri dengan KDS setempat di Warung Ayu. Aku rindu sekali kepada Eni dan Amin. Meskipun aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka, namun ada saja yang memberi kabar tentang mereka. Terakhir kali aku dengar, keduanya sudah sangat berdaya. Terbuka dengan statusnya dan sering menjadi nara sumber di berbagai pertemuan untuk memberikan motivasi kepada ODHA-ODHA yang baru saja menerima hasil tesnya.
Wawan melambatkan laju motornya lalu berbelok masuk ke halaman parkir Warung Ayu. Terlihat sudah banyak yang berkumpul di warung lesehan masakan Sunda ini. Cukup ramai. Kira-kira ada 10 orang. Opik, koordinator KDS yang ternyata juga sudah aku kenal lama bergegas berdiri dan menyambutku, "Aduuuh mimpi apa ini aku kedatangan teh Ratri di sini? Ayo teh, masuk... Duduk aja langsung." sambutnya sambil menyalamiku. "Udah lama kita nggak ketemu ya, Pik?" kataku dengan penuh sukacita. "Iya teh... berapa tahun yang lalu ya kita ketemu? Akhirnya teteh sampai juga ke Pantura sini..." ujarnya. Aku menyalami semua yang ada di situ lalu duduk dan mulai mengobrol sambil menunggu pesanan makanan kami datang.
Tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat aku kenal, "Manaaaa cenah aya teh Ratri?" Eni. Aku menoleh dan seorang perempuan berambut kecoklatan berlutut di dekatku, "Astaga! Eni? Kamu jadi bule giniiiii.....!" kataku sedikit terkejut lalu memeluknya. Eni hanya tertawa-tawa, "Iya teteh... Ini nyobain warna cat rambut yang baru. Kan Eni sekarang punya salon. Udah nggak jadi TKW lagi." jawabnya sambil balas memelukku. "Mana Amin?" tanyaku. "Di sini, teh..." rupanya Amin datang dari arah lain setelah memarkir motornya. "Ini Rahmat, teh. Udah besar ya?" ujarnya sambil menyodorkan tangan untuk menyalamiku. Aku memeluknya lalu memeluk Rahmat. "Aku teh kangeeeeen sama kalian lohh..." kataku penuh sukacita. "Cerita dooong. Aku 'kan pengen tahu kalian sekarang seperti apa? Katanya udah hebat yaaa?" kataku sambil bergeser. Keduanya pun duduk di dekatku lalu mengalirlah cerita dari mulut keduanya...
"Eni sekarang punya salon, teteh... Si Aa udah nggak nyawah lagi sekarang mah. Dia bantuin Eni nyalon." Eni membuka ceritanya. "Salonnya di mana, Ni?" tanyaku sambil mulai makan. "Salon keliling, teh. Pertamanya sih di daerah kita sendiri. Tapi sekarang mah langganannya udah lumayan banyak juga. Jadi saya nggak bisa nyawah lagi. Hehehehe." Amin menyambung. "Wooohhh.... Hebaaaat! Tiap hari kelilingnya?" kataku sambil memandang mereka dengan takjub. "Ya tiap hari ada aja, teh, Kecuali hari ini. Semalem kan dikasih tau aa Wawan, katanya ada teh Ratri mau dateng ke pertemuan KDS. Terus, kata si Aa teh suruh batalin semua yang hari ini karena mau ketemu sama teteh, cenah!" Eni berceloteh riang sambil tertawa-tawa. Hatiku dipenuhi rasa haru. "Aduuuh.... rugi atuh hari ini kalian nggak ada pemasukan?" tanyaku sedikit khawatir. "Ah, teu pira atuh teteeeh... 'Kan besok-besok juga masih ada lagi. Nanti sore juga ada kok, tapi 'kan kalau teh Ratri mah jarang-jarang ke sininya..." ganti Amin yang berujar. Aku senang. Senaaaaang sekali bertemu lagi dengan mereka. "Si Aa sekarang juga udah pinter nyalon lohh teh.... banyak pelanggan yang kalau mau catok rambut itu maunya sama si Aa. Da dia mah tenaganya gede yah, jadi kalo nyatok teh mateng jadinya. Awet.Terus... ngecat rambut juga hasilna alus wae da... Eleh Eni mah!" ujar Eni sambil menatap mesra suaminya. Mereka berdua masih saja manis seperti ketika pertama kali aku melihat mereka di Bandung. "Yaaa teh, saya mah pan pegawai, nya? Ini Eni mah boss-na, kitu. Anu nyuruh-nyuruhna ka saya dia mah. Kalau saya nggak bener kerjanya nanti nggak dikasih komisi, teh. Galak ieu mah jadi boss teh... Hehehehe..." Amin berkilah yang langsung disambut dengan cubitan mesra dari sang istri.
"Sekarang mah Eni sama si Aa udah open status, teh... bener ceuk teteh baheula... Kalau open itu asa hampang. Nggak ada rahasia. Mau jadi temen ya syukur, kalau nggak mau ya udah. Ternyata nggak dijauhi juga kok. Persis kayak yang teteh bilang itu... Kitanya yang suka terlalu ketakutan sendiri, padahal orang lain mah nggak apa-apa sama kita." Eni berkata kepadaku. Aku tersenyum mendengar penuturannya. Beberapa tahun yang lalu aku membuat sebuah pelatihan di Jakarta di mana Eni menjadi salah satu pesertanya. Dalam salah satu sesinya aku memang berbicara soal bagaimana menghadapi stigma. Dan aku mengatakan bahwa menutupi status HIV kita itu seperti menyimpan rahasia. Kita bisa terbebani. Jika kita terbuka, memang ada resiko dijauhi, namun lebih baik anggap saja orang yang menjauhi itu memang tidak suka pada kita, maka hidup kita akan jauh lebih ringan.
"Saya sama Eni jadi banyak diundang, teh, Diminta bicara di mana-mana tentang gimana menghadapi stigma, gimana hidup sebagai ODHA. Yaaa pokoknya mah, semua apa kata teteh dulu, kita sampaikan lagi aja soalnya emang itu juga yang kita terapkan sih, teh... Dan udah kebuktian sama kita sendiri, emang bener semua. Makasih banyak ya teh..." Amin menyambung perkataan istrinya. "Eh? Nggak usah terima kasih sama aku, Min. Kalian berdua ini pemberani. Nggak semua orang mau terbuka seperti kalian." aku menyanggah dengan sedikit rikuh. "Eni sama Amin ini di daerah Subang dan Pantura mah udah terkenal, teh... seleb ODHA nya Pantura mereka ini lohh..." Wawan akhirnya ikut nimbrung. "Iiiih... aa Wawan naon siiiih?" Eni tersipu sambil memukul lengan Wawan yang tertawa-tawa.
Ketika hari sudah semakin siang, aku dan Wawan pamit karena masih harus mengunjungi beberapa tempat lagi. Eni dan Amin bergantian memelukku erat. Mereka tidak pernah tahu seberapa besar rasa bangga yang ada dalam diriku melihat betapa mereka begitu berdaya, mandiri dan tidak takut stigma. Ini lah upah dari kerja kerasku dulu. Ini lah buah manis dari pohon yang aku tanam bertahun-tahun yang lalu.... Kebanggan seorang (mantan) Manajer Kasus adalah ketika melihat klien dampingannya bisa menerima status mereka dengan lapang dada, tetap sehat, mandiri dan berdaya. Ditambah lagi bisa menjadi penggantinya dalam memberikan motivasi dan edukasi tentang HIV, stigma dan diskriminasi.
No comments:
Post a Comment