Kana
mengamati butiran pasir yang terselip di sela jari kakinya. Pasir itu terasa
hangat. Baru pukul empat sore lebih sedikit, matahari belum turun di pantai
ini. Kana menikmati sinarnya yang hangat, ia tak peduli teriknya akan
menghitamkan kulit. Liburan. Begitulah yang ada dalam pikirannya saat itu.
Tiba-tiba Kana merasakan jemarinya digenggam. Damar. Kana tersenyum dalam hati.
Akhirnya ia bisa juga berjalan menyusuri pasir pantai Kuta bersama laki-laki
itu. Tak banyak yang diinginkannya, hanya menikmati matahari yang tenggelam dan
langit senja yang indah di pantai bersama Damar. Pantai mana pun, Kana tak
peduli, asalkan bersama Damar.
Kana dan Damar duduk di atas pasir, tepat di depan matahari.
“Do’aku terjawab sudah” ujar Kana dalam hati. Sebelum berangkat, Kana hanya
meminta satu hal. Ia ingin berjalan menyusuri pantai, lalu duduk memandangi
matahari yang terbenam dengan Damar di sisinya. Kana merasakan melankoli yang
aneh dalam hatinya. Menikmati senja di pantai bukan lah sesuatu yang bisa
dilakukannya setiap hari, apalagi dengan Damar di sisinya.
Matahari masih bersinar terik, tapi hati Kana terasa sejuk. Andai saja mereka
bisa seperti itu setiap hari. Tapi mereka tak bisa seperti itu setiap hari.
Karenanya, Kana merekam momen senja itu baik-baik dalam memori otaknya. Setiap
detik adalah harta yang berharga. Kana tak ingin kehilangan satu detik pun.
Matahari yang terbenam itu indah. Tapi kebersamaannya dengan Damar jauh lebih
indah. Kana tak ingin menukarnya dengan apapun. Kana tak ingin bertukar tempat
dengan siapapun.
“Look, honey… it’s so romantic…” bisik Damar sambil memeluk Kana
dari belakang. Berdua mereka memandangi langit yang jingga keunguan. “Yeah…
it is…” sahut Kana. Senja itu memang terasa sangat romantis. Karena
Damar ada di sisi Kana. Keduanya tak terlalu banyak bicara satu sama lain. Hati
mereka yang bicara lebih banyak. Kana mendengar seruan hati Damar setiap saat, “I
love you…”. Kana merasakan Damar mengecup punggungnya lalu memeluknya
lebih erat lagi. Kana memejamkan matanya. Ia tak ingin berpisah lagi dari
Damar. Bahkan berpisah beberapa hari saja sudah terasa seperti terlalu lama
baginya. Tapi Kana tak pernah berani menggantungkan harapannya terlalu tinggi.
Hari ini saja. Untuk hari ini saja. Begitulah yang diajarkan Damar padanya.
Hiduplah untuk hari ini saja. Lakukan semuanya untuk hari ini saja. Sebenarnya
hal itu sangat bertentangan dengan pola pikir Kana yang terbiasa panjang dan
terorganisir, penuh dengan segala macam tindakan prevensi, rencana A, B, C
sampai Z. Namun Kana merasa, tak ada salahnya jika dalam satu-dua hal ia
mengikuti pola pikir Damar.
“Mau cari orang lain?” tanya Damar. Kana menggeleng dalam pelukan Damar.
“Tambatan terakhir?” tanya Damar lagi. Kana mengangguk. Tambatan terakhir. Hati
Kana sedikit tersayat mendengarnya. Ia selalu berharap setiap laki-laki yang
singgah dalam hidup beberapa tahun terakhir ini adalah tambatan terakhirnya.
Jiwanya yang telah lelah berlayar sangat ingin berlabuh. Namun sayang, semua
lelaki itu tidak menjadikannya tempat parkir. Kana hanya jadi shelter.
Tempat pemberhentian sementara, bukan tujuan akhir. Maka hatinya diliputi
sedikit ragu ketika mendengar Damar bertanya. Akankah…? Kana hanya bisa
berharap dan mengusahakan yang terbaik. Kana hanya bisa berharap dirinya cukup
baik untuk Damar. Besok Damar pulang. Kana masih harus tinggal sehari lagi di
Bali karena mereka tidak berhasil mendapatkan jadual kepulangan yang sama. Kana
merasa ada sesuatu yang mulai hilang dalam dirinya. Ia akan sendirian besok.
Tak ada Damar. Kana sendirian. Hal terbaik yang bisa dilakukannya adalah
menikmati setiap detik kebersamaan mereka malam ini. Sama seperti ia menikmati
setiap detik kebersamaan mereka di tepi pantai sore tadi.
Kana duduk sendirian di teras Black Canyon Coffee. Teras itu menghadap langsung
ke laut. Pantai masih sepi. Baru pukul duabelas siang. Masih terlalu terik
untuk berjemur. Kana membiarkan angin mempermainkan rambutnya yang terurai.
Aroma laut tercium. Kana menghirup dalam-dalam aroma yang menguar di
sekitarnya. Aroma laut adalah aroma kedua yang disukainya. Aroma pertama yang
disukai Kana adalah bau tanah dan udara basah sehabis hujan.
Alam terlihat tenang. Hanya ada debur ombak di kejauhan yang membuih putih.
Kana menikmati suasana itu, tapi hatinya kosong. Kana sendirian. Tak ada Damar
di sisinya. Tentu semuanya akan jauh lebih indah jika laki-laki itu ada di
sisinya saat ini. Kana kesepian di tengah keramaian. Sedikit menyesal karena
tak membawa laptop-nya, Kana melewatkan waktu makan siangnya sambil membaca.
Tapi pikirannya sulit fokus pada bukunya. Pemandangan yang indah, hembus angin
laut yang sejuk, lagu-lagu mellow yang mengalun di kafe dan
kesendirian yang dirasakannya membuat pikiran Kana terpecah. Antara kesepian,
rindu dan nikmat. Lagu-lagu yang diputar mengingatkannya pada Damar. Kana
menghela nafas.
“You used to be a good friend to loneliness, Kana. Now, all the best that
you can do is letting it come to accompany you here…” Kana bicara pada
dirinya sendiri. Jiwanya hampa dan hatinya perih, tapi ia mencoba berkompromi
dengan rasa sepi yang setia menemaninya. Hanya sehari ini saja, besok ia akan
pulang dan bertemu lagi dengan Damar.
Setelah satu jam duduk di kafe itu, Kana memutuskan untuk berjalan menyusuri
pantai. Laut masih surut dan jauh. Kana berjalan di atas pasir padat yang
basah. Pantai benar-benar sepi, hanya ada beberapa orang yang berenang saja.
Andai saja pantai ini bisa selalu sesepi ini, tentu pengalaman kemarin akan
terasa lebih dalam. Kana berjalan perlahan. Menikmati sapaan angin laut yang
sejuk. Berbagai percakapannya dengan Damar berkelebat di rongga kepalanya.
“Do you love me…?”
“I do…”
“Really…? Seberapa besar?”
Kana menghela nafas dan berpikir, “Aku nggak mau menukar tempatku saat ini
dengan siapapun.”
Damar tersenyum.
“Do you love me…?”
“I do…”
“Really…? How much?”
Ganti Damar yang menghela nafas, “Kalau ada laki-laki lain yang minta tukar
tempat sama aku, pasti bakal aku gebuki!”
Lalu mereka tertawa bersama.
“Mau cari orang lain?”
Kana menggeleng.
“Tambatan terakhir?”
Kana mengangguk.
Meski dengan sejuta
ragu dalam hatinya, Kana tetap mengangguk. Bukan ragu atas keinginannya
menjadikan Damar sebagai tambatan terakhirnya. Tapi ragu atas kemampuan Damar
bertahan dengannya hingga benar-benar menjadi tambatan terakhirnya. Selama ini
“tambatan terakhir” hanya menjadi mimpi semu bagi Kana.
Kana berdiri memandangi debur ombak yang berkejaran ke pantai. Membiarkan
pikirannya lepas. Kana selalu merasa nyaman berada di dekat Damar. Laki-laki
itu bisa memberinya rasa aman dan kebebasan pada saat yang bersamaan. Cintanya
begitu besar pada Damar, sampai-sampai Kana sendiri tak tahu, seberapa besar
sebenarnya rasa itu tumbuh dalam hatinya. Begitu besar dan begitu dalam terasa.
Jauh melebihi apa yang pernah dirasakannya sebelumnya. Begitu besar dan dalam
hingga Kana sering ketakutan. Takut jika suatu hari Damar pergi, ia tak akan
lagi mampu bertahan sendirian. Kana menyadari dirinya lemah. Ia mempercayakan
jiwanya yang rapuh pada Damar. Hatinya tinggal sekeping. Namun kepingan
terakhir itu diam-diam telah ia berikan kepada Damar. Kana tak tahu apa yang
akan terjadi seandainya Damar memutuskan untuk membuang kepingan itu jauh-jauh.
Semalam, Kana menghabiskan bermenit-menit untuk mengamati wajah Damar yang
terlelap di sebelahnya. Pikirannya melayang jauh kembali ke beberapa tahun
silam.
Kana duduk menghadapi komputernya. Kantor masih sepi. Baru ia dan office
boy saja yang datang. Kana memang datang lebih pagi hari ini karena
ada beberapa pekerjaan yang tidak tuntas dikerjakannya kemarin. Diperhatikannya
layar komputer yang berpendar di hadapannya. Ketika Kana membuka situs
pertemanan yang sedang naik daun, ia mendapati dua buah pesan di home
page-nya. You have friend requests. You have new messages. Kana
tersenyum sendiri. Ia selalu excited jika melihat
indikator-indikator itu tercetak dengan huruf tebal. Kana meng-klik pilihan
‘you have friend requests’ lebih dahulu. Ada 2 orang yang memasukkannya ke
dalam daftar teman. Yang seorang adalah Ira, temannya semasa SD dulu. Yang satu
lagi bernama Damar. Kana tidak kenal. Kana memutuskan untuk melihat profil si
pemilik nama ‘Damar’.
Ketika halaman utama profilnya terbuka, Kana mendapati foto yang terpampang
adalah foto sekelompok anak Punk dengan dandanan ekstrim. Kana bahkan tak tahu,
yang mana Damar. Ada beberapa foto yang di upload di halaman profil itu.
Akhirnya Kana mendapati satu foto yang agak lebih jelas, walaupun tak terlalu
jelas karena diambil dari samping. Hanya saja, laki-laki dalam foto itu berpose
sendirian. Pastinya itu lah ‘Damar’. Kana mengamati uraian dalam profilnya.
Sebenarnya tidak terlalu menarik. Biasa saja. Profil yang tidak diisi dengan
kesungguhan hati. Bisa saja isinya hanya dusta belaka.
“Siapa sih ini… nggak jelas banget…” gumam Kana. Namun sejurus kemudian matanya
tertuju pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Hanya dua hal yang membuat Kana
tertarik. Laki-laki itu menuliskan ketertarikannya pada penyakit adiksi pada
kolom ‘interest’ dan tempatnya bekerja adalah sebuah LSM, Payung Jiwa. Kana
tahu, beberapa teman baik suaminya juga bekerja di sana. ‘Suami’, betapa Kana
ingin muntah ketika kata itu melintas di dalam rongga otaknya. Akhirnya Kana
memutuskan untuk membiarkan laki-laki itu, Damar, atau siapapun namanya, untuk
memasukkan dirinya ke dalam daftar temannya.
Kana kembali ke home page-nya untuk memeriksa, siapa yang telah
mengirim email kepadanya. Ada 3 pesan. Dua pesan berantai yang
tidak penting dan satu dari Damar. Kana membuka pesan dari Damar. Isinya hanya
satu kalimat pendek.
Hai, boleh kenalan nggak? Mata kamu bagus…
Kana mencibir. “Standar banget!” Rutuknya dalam hati. Tapi tak urung pesan itu
dibalas juga dengan tak kalah singkatnya.
Boleh.
Kana menekan pilihan ‘send’.
Dua tahun yang lalu. Dua tahun yang singkat. Ada masa-masa di mana Kana tak
pernah merespon SMS, email ataupun ajakan chatting Damar.
Kana sibuk tenggelam dalam pekerjaannya untuk melarikan diri dari konflik pribadi
dengan suaminya. Kana sedikit malas berhubungan lagi dengan Damar karena
laki-laki itu dianggapnya ingkar janji ketika mereka akan bertemu. Kana hanya
menagih janji Damar untuk meminjamkan bukunya. Tapi Damar tak datang. Katanya
ia sakit, maka tak bisa datang. Kana kecewa, tapi tak bisa memaksa kalau memang
Damar sakit. Setelah itu, Kana menghapus nama Damar dari daftar teman chatting di messenger-nya
dan menghapus nomor telepon laki-laki itu dari daftar kontak di telepon
genggamnya. “Buang jauh-jauh semua yang menyakiti dan mengecewakan kita.”
Begitu pikir Kana saat itu.
Sampai pada satu titik, ketika namanya mulai terlupakan, Damar kembali
menghubunginya.
Tuesday, 23 May, 2006 6:43 PM
Subject: how are you?
Message:
hi pa
kabar nich? sehat keluarga? koq ga da beritanya? masih gawe di hotel bu? kapan
chat lagi
Kana terkejut
membaca surat elektronik yang masuk. Ia lupa menghapus Damar dari daftar
temannya di web site. Bu. Damar sering sekali memanggilnya dengan
sebutan ‘bu’, membuat Kana merasa jadi sangat jauh lebih tua dari Damar. Dan
deretan pertanyaan itu seperti interogasi saja. Tak ada cerita tentang dirinya
sendiri. Tak ada sedikit jejak soal ke mana saja laki-laki itu pergi selama
ini. “So typical of him.”, pikir Kana. Lalu ia menekan pilihan “Reply”
Tuesday, 23 May, 2006 6:43 PM
Subject: Re: how are you?
Message:
Kabar
baik. Sorry aku sibuk banget di kerjaan. Kamu juga sibuk banget ya? masih di
cianjur? Eh, ntar kalo aku mau bikin acara buat hari AIDS, bantuin ya… Nomer HP
kamu berapa sih?
Kana menekan
pilihan “Send”
Dua hari sudah berlalu ketika Kana tiba-tiba melihat indikator New
Messages di komputernya. Dibukanya kotak masuk. Damar. Lagi.
Thursday, 25 May, 2006 9:37 AM
Subject: Re: how are you?
Message:
ga juga
sich..baru aja pindahan dari cianjur sekarang gw di promote jadi program
manager harm reduction.. ok boleh gw mo bantu koq..
dah lupa ya non hp gw???? 08562193767. Gmn anak lu sehat2? hp lu berapa?
thanks..
Best
regards damar
HP lu berapa? Kana tersenyum. HP-ku ada dua. Gumamnya dalam hati. Kana mencatat
nomor telepon genggam Damar, setelah itu Kana kembali tenggelam dalam
pekerjaannya dan lupa membalas email Damar.
Tiga hari setelah itu, Kana mendapat pesan. Mantan suaminya, yang kabarnya
belakangan ini sakit-sakitan, mengirim SMS. Isinya singkat saja. Kana dan
anaknya diminta melakukan tes HIV, karena Adi, mantan suami Kana, positif
mengidap HIV. Kana geram. Sebelum mereka menikah, Kana sudah pernah menanyakan
pada Adi apakah ia sudah pernah menjalani tes HIV. Adi menyatakan dirinya
negatif, tapi ia tidak bisa memperlihatkan hasil tesnya. “Hilang”, hanya begitu
alasannya. Dan Kana percaya. Kana menanggapi SMS itu dengan dingin, namun
otaknya berputar dengan cepat. Kana segera mengatur jadual tes untuk ia dan
anaknya di sebuah rumah sakit. Dua hari kemudian Kana menghadapi kenyataan
bahwa dirinya juga positif. Anehnya, Kana tak merasa galau. Mungkin ia terlalu
lega karena anaknya negatif. Kana memendam semuanya sendiri. Hal berikutnya
yang ia lakukan adalah mengirim SMS kepada Adi untuk memberitahukan hasilnya,
dan meminta Adi menjauhi dirinya, anaknya dan rumahnya. Kana benar-benar tak
mau ada urusan lagi dengan laki-laki itu.
Akhirnya Kana memang memutuskan untuk memberitahu fakta tersebut kepada
beberapa orang sahabat terdekatnya. Mereka semua tercengang melihat ekspresi
Kana yang dingin saat bercerita. Seolah-olah apa yang menimpanya adalah sesuatu
yang sangat biasa. Tak ada yang tahu, betapa hati Kana koyak. Namun ia merasa,
kemarahan bukan lah penyelesaian.
Hampir satu bulan kemudian Kana mendapati nama Damar di kotak surat
elektroniknya lagi. Kana merasa sedikit excited membaca nama
Damar pada kolom pengirim. Kana tahu, tak akan ada cerita. Hanya akan ada
pertanyaan-pertanyaan saja. Damar tidak pernah bercerita panjang lebar dalam
email-nya. Semua selalu pendek-pendek dan terdiri dari beberapa pertanyaan
saja. Sedikit membosankan. Tapi Kana ingat, saat mereka chatting,
Damar sering bercerita macam-macam. Hanya saja semuanya berkisar pada urusan
adiksi. Mereka melewati perdebatan soal adiksi. Damar mengatakan adiksi adalah
penyakit. Kana tidak setuju, menurutnya adiksi adalah termasuk masalah
manajemen behaviour. Damar mengatakan bahwa adiksi itu genetis, ada
faktor bawaan. Kana tidak setuju, karena Kana tidak pernah merasa kecanduan
atas benda apa pun kecuali rokok dan teh botol. Damar mengatakan bahwa sekali
jadi pecandu, maka seseorang akan terus jadi pecandu seumur hidupnya. Kana
tidak setuju, menurutnya kecanduan bisa dihentikan dan tidak berlangsung seumur
hidup. Banyak sekali hal yang mereka perdebatkan di jalur chatting.
Tapi itu tak berlangsung lama. Kana sedikit demi sedikit mulai mengurangi
frekuensi chatting-nya dengan Damar. Sering Kana tidak membalas
sapaan Damar di jalur chatting. Dan finalnya adalah Kana menghapus
nama Damar begitu saja dari daftar teman chatting di messenger-nya.
Wednesday,
14 June, 2006 3:34 PM
Subject: apa kabar?
Message:
hey gimana nich kabarnya???? btw no hp lo dah ganti ya??? no yg sekarang
berapa?? lu sehat2 aja??? regards damar
Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Kana karena tak membalas email sebelumnya.
Maka ia segera menekan pilihan “Reply”. Kana memutuskan untuk menceritakan
keadaannya pada Damar. Entah kenapa, ia sendiri tak tahu. Ia hanya merasa Damar
orang yang tepat. Itu saja. Padahal Kana belum pernah bertemu dengan Damar.
Rencana mereka untuk bertemu telah gagal dua tahun yang lalu, dan setelah itu
mereka hilang kontak sampai bulan lalu Damar mengiriminya email.
Kana hanya mengikuti intuisinya saja. Damar mungkin orang yang tepat untuk
diajak berbagi dalam urusan ini. Mungkin.
Wednesday, 14 June, 2006 3:34 PM
Subject: Re: apa kabar?
Message:
Kabar nggak terlalu baik, aku positif kena HIV, ketularan mantan suamiku.
alhamdulillah anakku negatif. Hp-ku 0811223322. kabar kamu sendiri gimana?
Kana menekan pilihan “Send”. Hatinya sedikit bimbang. Kana tidak tahu apakah
tindakannya bercerita pada Damar adalah hal yang tepat atau bukan. Tapi yang
jelas, Kana merasakan ada sedikit kelegaan menyeruak di antara bilah-bilah
hatinya yang sedang gelisah. Satu beban setidaknya telah mulai terlepas. Itu
baik untuknya. “There’s no turning back” batin Kana. Email itu
telah terkirim dan tidak bisa dibatalkan.
Esoknya, Kana mendapati jawaban dari Damar telah bertengger di kotak masuknya.
Dan ketika pesan itu dibacanya, seperti biasa, tidak semua pertanyaannya
dijawab oleh Damar. Laki-laki itu malah balik bertanya padanya.
Thursday, 15 June, 2006 12:34 PM
Subject: Re: apa kabar?
Message:
Mantan??? Lu cerai??? Kapan??? why????Lu ga sendirian koq....alhamdullilah anak
lo ga pa2....tapi lo juga ga pa2 koq asal terus jaga kesehatan dan check ur
condition...kalo mo share lu bisa telp gw koq..anytime...lu punya komunitas
kalo mo gabung... Regards damar
Kana menghela nafas. Ia tahu, ia tidak sendirian. Tapi ia tak ingin bertemu
dengan orang-orang yang notabene senasib dengannya. Belum ingin. Mungkin suatu
saat nanti ia mau. Kana sendiri tidak tahu. Tapi yang jelas, saat ini ia tidak
ingin bertemu dengan orang-orang itu. Baginya tak ada gunanya bertemu dengan
mereka, “Paling-paling cuma sekumpulan orang depresi doang…” batin Kana dalam
hati. Kana memutuskan untuk membalas surat elektronik Damar.
Thursday, 15 June, 2006 1:15 PM
Subject: Re: apa kabar
Message:
Iya, aku udah setaun yang lalu cerai. Nggak cocok lah. Biarin aja. Aku rasa ini
yang terbaik buat semua. Tapi sekarang aku udah punya cowok lagi sih….
Mudah-mudahan cocok. Hehehehehe….
Kana menekan pilihan “Send”.
Esoknya Kana kembali mendapati balasan dari Damar sudah menduduki peringkat
teratas di kotak masuknya. Pesan itu ditulis pada malam sebelumnya.
Thursday, 15 June, 2006 7:46 PM
Subject: Re: apa kabar?
Message:
Cepet bgt dapet gebetan barunya hehehehehehehe baru juga mo daftar
wuakakakakakakakakak.......... ya udah enjoy ur life.....
regards
damar
Kana tersenyum sendiri membaca pesan dari Damar. Baru juga mau daftar.
“Memangnya dia pikir aku buka praktek, sampai harus daftar segala!” ujar Kana
dalam hati.
Dua tahun lebih sudah berlalu. Dua tahun sejak email pertama
yang dikirimkan Damar padanya. Dan sekarang laki-laki itu terbaring lelap di
sampingnya. Kana tak pernah berpikir bahwa akhirnya ia akan berbagi tempat
tidur dengan Damar.
Buih air laut yang menyapa ujung jari kakinya menyadarkan Kana dari lamunannya.
Entah sudah berapa lama ia berdiri tertegun di pantai itu sendirian. Mungkin
sudah cukup lama. Kana memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menyusuri
pasir di pantai itu. Sendiri. Kana berjalan sedikit bergegas. Ia ingin segera
tiba di hotel untuk beristirahat sejenak. Menjelang senja nanti Kana berencana
untuk pergi lagi ke pantai sendirian. Menikmati senja terakhir di Bali.
Sendirian.
Setelah beristirahat selama beberapa jam, Kana memutuskan untuk kembali pergi
ke pantai. Senja di pantai Kuta tak sama rasanya karena tak ada Damar.
Keindahannya seolah berkurang. Tak terasa magis. Begitu hampa. Kana berusaha
menikmati sebisanya. Namun sudah terlambat, karena ia tak lagi bisa merasakan
keindahan senja itu sendirian sekarang. Segalanya terasa tak sempurna. Kana
bahkan tak mau mendekat pada pasir dan pantai. Kana hanya duduk di teras Circle
K sambil menikmati segelas Ice Capuccino yang rasanya tidak enak. Kana merasa
hatinya pasti akan robek jika ia mendekat pada pasir dan pantai seperti
kemarin. Kana tak mau menangis sendirian di tepi laut yang ramai. Maka ia
memilih comfort zone yang cukup jauh dari pantai, namun tetap
bisa menikmati matahari yang tenggelam dan langit sore yang berwarna jingga
semu ungu.
Menjelang malam, Kana pergi ke Starbucks Coffee untuk segelas Iced Grande
Hazelnut Latte kesukaannya. Ia merasa harus membayar rasa Ice Capuccino yang
tidak enak sore tadi dengan segelas kopi dingin yang memang benar-benar layak
untuk dinikmati. Untung kedai kopi itu terletak di seberang hotel tempat ia
menginap. Tepat bersebelahan dengan sebuah diskotik dan kafe yang mengusung
musik-musik berirama reggae. Suasana memang gaduh, namun Kana merasa nyaman.
Kana memang suka memperhatikan sekelilingnya. Di mana pun ia berada.
Kana mengamati orang yang lalu lalang di jalan yang sudah mulai ramai. Waktu
sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Klab-klab dan kafe-kafe sudah mulai
ramai dikunjungi orang. Musik yang berdentam dari Bounty meretas malam. Kana
berhenti menulis sejenak untuk menyalakan rokoknya. Rasa sepi tiba-tiba
menyusupi relung hatinya menggantikan rasa nyaman yang sebelumnya bersarang. Di
tengah hingar-bingar musik yang dimainkan dan di tengah ramainya orang yang
mulai mencari hiburan malam, Kana merasa sendirian. Ia memang sendirian. Kana
rindu pada Damar. Kana memutuskan untuk berhenti menulis. Selain baterai
laptop-nya sudah hampir habis, menulis dalam keadaan rindu tidak akan
menghasilkan tulisan yang bagus. Itu menurut Kana. Maka Kana beralih pada
bukunya. Namun membaca dalam keadaan seperti itu juga membuat Kana tidak dapat
fokus pada apa yang dibacanya. Akhirnya Kana menutup bukunya dan mulai
menikmati kopinya sambil merokok dan memperhatikan jalan di hadapannya.
Kana ingin malam cepat berlalu agar esok segera tiba dan ia bisa segera terbang
pulang. Bertemu lagi dengan Damar. Kana merasakan waktu berjalan sangat lambat.
Ia menangis dalam hati karena merasa jiwanya begitu kosong. “Hold it Kana.
Just one more day… it’s not even a day, just a few hours more…” Kana
mencoba menghibur dirinya sendiri. Namun tak urung Kana merasakan bola matanya
menghangat. Kana merasakan kehampaan bercampur rasa takut mulai mengisi
hatinya. Takut ia terlalu tergantung pada Damar. Takut ia tak bisa berdiri
sendiri jika Damar tak ada. Takut ditinggalkan. Takut. Takut. Takut. Dan takut.
Kana tidak tahu, kapan rasa takut itu sebenarnya mulai muncul. Ia hanya baru
sadar saat itu. Kana merasa sangat lemah. Dan ia tidak terlalu suka dengan rasa
itu. Dulu, Kana selalu sendiri. Ia berteman baik dengan rasa sepi dan
kesendirian. Ia selalu bisa menikmati momen-momen kesendiriannya. Namun
sekarang Kana merasa sulit sekali untuk bersahabat dengan kesendirian dan rasa
sepi. Entah kenapa. Mungkin karena sekian lama ia selalu memiliki Damar yang
dengan setia menemaninya. Damar yang selalu mau mendengarkan keluh kesahnya.
Damar yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Tatapan yang kadang membuat
Kana salah tingkah.
Akhirnya hari itu datang juga. Hari Minggu. Hari di mana Kana akan terbang
pulang menemui Damar. Kana mengamati landasan pacu yang berbatasan dengan laut
dari jendela Smoking Lounge Ngurah Rai International Airport yang terletak di
lantai dua. Pemandangan itu tak setiap hari bisa ditemuinya. Kana senang
melihat pesawat-pesawat yang bergantian mendarat dan lepas landas. Sepertinya
ia merasa akan selalu rindu pada pulau itu. Entah kapan ia akan bisa kembali
lagi. Dengan Damar tentunya. Menunggu sendirian bukanlah sesuatu yang terlalu
menyenangkan untuk dilakukan, namun Kana tak punya pilihan lain. Ia harus
sendiri sampai tiba di Bandung nanti.
Setelah hampir satu jam terlambat, akhirnya Kana naik juga ke pesawat yang akan
membawanya pulang. Tempat duduknya tepat di pinggir jendela. Dari situ Kana
bisa melihat laut yang menjauh ketika pesawat mulai bergerak. Potongan
percakapannya dengan Damar berkelebat di kepala Kana.
“Do you love me…?”
“I do…”
“Really…? Seberapa besar?”
Kana menghela nafas dan berpikir, “Aku nggak mau menukar tempatku saat ini
dengan siapapun.”
Damar tersenyum.
“Do you love me…?”
“I do…”
“Really…? How much?”
Ganti Damar yang menghela nafas, “Kalau ada laki-laki lain yang minta tukar
tempat sama aku, pasti bakal aku gebuki!”
Lalu mereka tertawa bersama.
“Mau cari orang lain?”
Kana menggeleng.
“Tambatan terakhir?”
Kana mengangguk.
Kana memasang kaca mata hitamnya dan memandang landasan pacu yang terlihat
seolah menjauh. Saat pesawat terasa terangkat, Kana melempar pandangan
terakhirnya ke luar. Ke laut dan pantai yang semakin jauh.
“Damar…. Aku pulang….”
No comments:
Post a Comment