Wednesday, 2 December 2015

Everything Is Gonna Be Just Fine...

Sembilan tahun telah berlalu. Aku tidak pernah tahu kapan sebenarnya aku mulai terinfeksi HIV. Yang aku tahu hanyalah kali pertama aku diberitahu bahwa hasil tesku positif. Sembilan tahun yang lalu. Tepatnya pada 15 Mei 2006 di sebuah rumah sakit di Bandung. 


Aku masih ingat konselorku yang sekarang sudah almarhumah adalah seorang perawat senior yang sudah berumur. Beliau sangat keibuan dan menyampaikan konseling dengan lemah lembut namun jelas. "Tidak perlu takut. Ini bukan vonis mati." begitu beliau berkata padaku. Aku pun mengangguk. Aku sedikitnya sudah punya informasi yang cukup tentang HIV, jadi aku tak merasa canggung atau kalut ketika hasil tesku dinyatakan positif.

Sudah banyak hal dan kejadian yang aku alami. Menjadi ODHA bukanlah sesuatu yang buruk jika dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang pernah aku lalui. Aku mengerti, banyak orang yang masih takut ketika mendengar "HIV" dan "AIDS". Tapi itu karena mereka masih belum paham benar tentang kedua hal tersebut. Banyak orang mengalami stigma dan diskriminasi setelah mereka menjadi ODHA. Mungkin aku beruntung karena tak pernah mengalami hal itu. Tak satu pun teman, kerabat dan anggota keluarga yang menjauhi, memutus tali silaturahmi atau mengucilkanku. Bahkan semua selalu senantiasa membantuku untuk menguatkan.

Begitu pun dengan kehidupan pribadiku. Hubunganku tidak pernah terbatas pada sesama ODHA saja, karena aku menemukan banyak orang di luar sana yang mau menjalin hubungan dengan ODHA meskipun mereka negatif. Ilmu kedokteran sudah demikian majunya sehingga bahkan pasangan ODHA sekalipun sekarang bisa memiliki keturunan yang bebas dari virus ini. Menakjubkan bukan? Selama kita tahu bagaimana cara mencegahnya, everything is gonna be just fine...

Namun tentu saja ada orang yang tidak suka padaku dan aku tidak bisa menahan hal-hal seperti itu. Haters will be haters. Ada yang mengatakan aku hanya berjuang untuk diriku sendiri, bukan untuk komunitasku. Sudah pasti aku harus berjuang untuk diriku sendiri dahulu sebelum bisa memperjuangkan hidup orang lain, bukan? Tapi apa yang aku perjuangkan pasti akan berdampak untuk komunitasku, baik langsung ataupun tidak. Aku hanya menyayangkan mereka yang tidak bisa melihat dengan baik; mereka yang hanya melihat lapis kulit luarku saja namun merasa cukup punya wewenang untuk menghakimi. Ah, biarlah... Toh jika dibandingkan, jumlah yang mendukungku masih jauh lebih banyak daripada yang nyinyir. Kenapa harus diambil hati?

Lalu, setelah sembilan tahun bersahabat dengan virus ini, apa yang aku dapat? Hmmm... banyak. Banyak sekali! Pengalaman, pengetahuan, teman baru, dunia baru, kekuatan, ketabahan, kesabaran dan ketekunan. Tapi yang utama adalah aku mendapati bahwa kita sering merendahkan kemampuan orang lain untuk menerima kita apa adanya. Kita begitu ketakutan dengan asumsi-asumsi kita sendiri sehingga tak mau membuka diri. Menganggap bahwa orang lain tidak akan bisa menerima keadaan kita. Padahal jika kita mau nekad sedikit, kita akan terkejut dengan hasil yang didapat. Betapa banyak sahabat di luar sana yang mau menerima kita apa adanya, lengkap dengan status ODHA yang menempel erat pada diri kita. 

Sembilan tahun telah berlalu. Aku tidak mendapati seorang pun dari teman, keluarga atau kerabat yang meninggalkanku hanya gara-gara statusku sebagai ODHA. Maka setiap hari aku bangun dan bercermin sambil berkata pada diri sendiri, "Everything is gonna be just fine..." 


No comments:

Post a Comment