Malam itu Jakarta cerah, tak hujan tapi angin cukup membawa rasa sejuk. Aku duduk di bangku sebuah taman di pusat kota bersama seorang kawan. Nama aslinya Rahadian, tapi dia lebih dikenal dengan panggilan "Bosang". Katanya, Bosang itu singkatan dari "bocah sangar". Wajahnya memang agak sangar, menurutku. Tapi hatinya baik dan dia adalah teman nongkrong yang sangat menyenangkan. Aku bisa menghabiskan waktu seharian dengannya hanya untuk kongkow dan mendengarkan cerita-ceritanya. Bosang selalu punya cerita yang membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Selain itu, Bosang juga teman yang baik. Dia selalu menjagaku dari gangguan laki-laki iseng atau preman jalanan (maklum lah, kami lebih sering nongkrong di taman dan di pinggir jalan daripada di kafe atau mall). Perawakannya yang tinggi besar dengan badan dipenuhi tattoo membuat dia memang terkesan sangar. Apalagi jika tidak kenal. Bosang sering bercerita bagaimana tattoo-nya itu membuat orang menghindarinya ketika bertemu di jalan. "Orang tuh kalo liat tattoo di tangan gue ini, udah langsung males aja ngelewatin gue kalo lagi di jalan, Rat. Pada minggir semua. Lu doang yang berani begajulan nabrak-nabrak gue seenaknya, tau!" begitu katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebenarnya Bosang berasal dari keluarga kaya di Bekasi, tapi dia kabur dari rumah dan memutuskan untuk tidak meneruskan kuliahnya di fakultas kedokteran sebuah universitas ternama di Jakarta. Meskipun dekil, tapi wajah sangarnya cukup menarik dan selalu saja ada cerita tentang gadis-gadis cantik yang terpikat padanya. Omongnya memang jago dan dia punya segudang rayuan yang bisa membuat gadis-gadis melayang. Bosang tidak kenal rasa takut dan karena besar nyalinya, dia cukup lama bekerja sebagai debt collector untuk menagih hutang-hutang kartu kredit. Selalu ada cerita lucu darinya, dan menurutku dia adalah orang yang sangat humoris. Aku sendiri tidak pernah melihat kegarangannya, kecuali satu kali ketika seorang preman jalanan menyiuliku saat lewat. Serta merta Bosang membentaknya, "Heh!!!! Lu kira temen gue ini burung, yang bisa lu siulin terus nyamperin??? Anak mana lu? Kurang ajar bener! Anak sini lu? Lawan gue sini!!!" preman itu pun ciut menghadapi nyali dan badannya yang tinggi - aku menahan geli bercampur rasa lega ketika itu.
Dari cerita-ceritanya, aku tahu Bosang gemar "tidur" sana-sini. Dia bahkan pernah curhat padaku dan menyatakan kecurigaannya terhadap libidonya yang terlalu tinggi. "Kayaknya gue sex addict deh, Rat..." begitu katanya kepadaku suatu hari. Lalu dia bercerita tentang sudah berapa banyak dia mengalami infeksi menular seksual karena tidak pernah menggunakan kondom. Aku khawatir... Berulang kali aku mengingatkannya untuk tidak lupa menggunakan kondom jika hendak berhubungan seks. "Nggak enak ah!" selalu begitu alasan klise yang dikemukakan kepadaku. "Klasik" - begitu pikirku.
Bosang dikenal tidak punya rasa takut di antara teman-temannya. Dan dia pun punya segudang cerita yang bisa menjustifikasi hal tersebut. Logat Betawinya yang kental lebih sering menjadi poin kocak yang aku lihat pada dirinya...
"Lu tau Rat.... gue pernah dikeroyok sama 4 orang tuh, gara-gara mobilnya ngalangin motor gue terus gue baret deh mobilnya! Badannya gede-gede semua! Lebih gede dari badan gue, tau nggak lu! Asli! Paraaah! Tapi gue maju aja sendirian juga." tuturnya kepadaku.
"Hmmm.... trus gimana? Bonyok nggak lu?" kataku.
"Ya bonyok laaaah! Namanya juga dikeroyok, nggak mungkin nggak bonyok dong! Dikit doang sih.... jamak lah! Tapi intinya nih ye.... gue kagak takut dikeroyok sama 4 orang gitu, Rat!" sambungnya.
Aku tertawa, "Oyaaaa? Ah, tapi gue kagak pernah liat buktinya, Sang! Bokis lu!" jawabku.
"Eeeeh, lu nggak percaya! Gue nih ya, kagak punya tuuuuh yang namanya rasa takut! Lu kasih apaan aja ke gue juga gue embat! Apaan tuh takut?? Kagak ada di kamus gue, Rat! Cih! Mati aja dah lu kalo jadi orang penakut mah!" sambarnya jumawa.
"Yakin lu, nyet???" tantangku.
"Yakin gue, Rat! Kasih gue preman, polisi, ABRI, begajulan, jendral kek, pejabat kek, apaan aja daaah! Pasti gue jabanin, man! Kagak ada cerita. Gue paling demen tuh kalo ada yang belagu di depan gue. Gue beri!" sambungnya lagi sambil menyalakan rokoknya.
"Bener nih???" tanyaku lagi.
"Yaelaaah Rat..." jawabnya masih dengan lagak jumawa.
"Ya udah, kalo gitu besok lu ikut gue tes HIV deh. Lu kan penjahat kelamin, nyet!" kataku sambil tertawa.
Bosang terbatuk, lalu menoleh kepadaku. Matanya menatapku dalam-dalam. Ekspresinya terlihat agak rikuh, lalu wajahnya berubah jadi memelas dan berkata kepadaku dengan suara pelan, "Yaelaaaah Rat... jangan gitu dong lu sama gue... sama temen sendiri masa begitu sih lu.... kalo yang satu itu gue akuin deh, gue belom berani..."
Yeah well, sederet tattoo yang memenuhi badan seseorang memang tidak serta merta membuat seseorang itu menjadi pemberani. Bosang contohnya. Setahun penuh aku membujuknya untuk tes HIV, tapi tidak pernah berhasil. Hingga suatu hari dia berhenti membalas pesan-pesan BBM-ku. Setelah mencoba menghubunginya tapi tidak berhasil, aku berpikir dia mengganti nomornya dan tidak sempat memberitahuku. Namun aku juga tidak pernah lagi menemukannya duduk di tempat tongkrongan biasanya. Mengingat cerita-ceritanya, aku yakin dia memutuskan untuk pindah ke kota lain. Bali, mungkin - karena dia pernah menyatakan keinginannya untuk pindah ke sana. Aku tak curiga. Hingga suatu pagi aku menerima pesan singkat,
"Telah meninggal dunia tadi pagi jam 05.45, Rahadian Saputra. Jenazah akan disemayamkan di rumah duka di Bekasi dan dimakamkan di TPU setempat. Untuk teman-teman dari Rahadian, keluarga memohonkan maaf bagi alm. atas segala kesalahannya."
(belakangan aku tahu dari kakaknya bahwa Bosang menderita meningitis dan dinyatakan positif mengidap HIV)
No comments:
Post a Comment