Sore itu cerah sekali. Aku melangkah
cepat-cepat di sepanjang lorong rumah sakit itu. Nyaris berlari. Ini malam Minggu
dan aku yang sudah setengah jalan untuk pergi berkencan terpaksa harus putar
haluan dan menuju rumah sakit. Ada pasien yang koma. Seorang siswa sekolah
menengah atas, bintang basket dan masih salah satu kerabat jauh dari sebuah keluarga
terpandang di Bandung. Bukan kombinasi yang baik. Aku sudah mencium hawa
konflik sesaat setelah menerima panggilan di telepon genggamku, “Ada dampingan
baru untuk kamu, Rat… tapi dia sudah dalam keadaan koma sekarang. AIDS dementia. Bisa ke rumah sakit
sekarang nggak? Saya baru aja keluar dari Cikarang menuju Bandung. Orang tuanya
belum tahu status & penyakitnya… Sepertinya dia tidak tinggal dengan orang
tuanya selama ini. Saya SMS nama dan bangsalnya ya? Sesampainya di Bandung
nanti saya langsung kesana juga.” begitu kata Dokter Indra kepadaku.
Aku masuk ke ruang isolasi di
ujung koridor. Anak lelaki itu berwajah tampan, jelas masih muda, tubuhnya
tegap berhias tattoo-tattoo artistik. Terbaring tak sadarkan diri di ranjang
rumah sakit. Aku mengalungkan kartu identitasku, lalu menghampiri dua orang
yang berdiri di sisi ranjang. “Maaf… orang tuanya Andre…?” tanyaku kepada dua
orang itu. Si ibu menoleh kepadaku. Ada dua jalur air mata di pipinya, “Saya
mamanya…” ujarnya. Aku mengulurkan tanganku, “Saya Ratri, pendampingnya Andre dari
LSM…” dia menyambut jabat tanganku, sambil mencolek lengan lelaki di
sampingnya. “Saya papanya Andre…” buru-buru lelaki itu memperkenalkan diri dan
mengulurkan tangannya kepadaku. Aku mengangguk kecil. “Maaf, saya baru bisa
datang sekarang. Baru dikabari oleh dokter.” Ujarku. “Nggak apa-apa mbak… Andre
masuk tadi siang kok…” jawab si ibu. “Maaf ya mbak… tapi Andre ini sakit apa? Kok
pakai pendamping segala?” si ayah bertanya dengan nada penuh selidik kepadaku,
pandangannya lalu tertuju ke arah kartu identitas yang tergantung di leherku. Belum
lagi aku menjawab, si ibu sudah menyambar, “Gimana sih kamu? Dokter jaganya kan
tadi udah bilang, Andre itu kena AIDS!” suaranya terdengar geram. “Lho? Aku nggak
bisa percaya begitu aja dong! Gampang amat nuduh anak orang kena AIDS?” sanggah
si ayah. “Andre itu anak baik-baik, mbak! Bintang basket di sekolahnya, disukai
banyak orang. Nggak mungkin kena AIDS!” ujar ayahnya sambil melempar pandangan
tajam kepadaku seolah mencari persetujuan. Aku sudah membuka mulut, hendak
menjawab ketika sang ibu tiba-tiba menyambar, “Andre jadi begini ya gara-gara
kamu! Kamu itu ayah yang nggak bertanggung jawab! Udah tau punya anak
laki-laki, bukannya komunikasi malah asyik sendiri terus!” ujarnya dengan wajah
geram. “Apa?? Salah aku? Nggak salah tuh tuduhanmu? Kamu yang nggak becus jadi
ibunya! Nggak bisa ngurus anak remaja!” balas si ayah tak kalah sengit. Aku
hanya ternganga melihat drama di hadapanku. Bingung, bagaimana harus menengahi
urusan keluarga yang satu ini. “Kamu yang lepas tanggung jawab, tau!” sambung
si ibu. “Kamu bisanya cuma nitipin anak ke neneknya aja! Nggak diperhatikan! Kamu
yang mau dia ikut kamu kan dulu??? Terus, ini hasilnya???” si ayah menyambar
kembali. Sebelum akhirnya pertengkaran semakin sengit, aku melompat ke tengah
mereka berdua, “Maaf bapak dan ibu, sebaiknya tidak ribut di sini. Ini rumah
sakit! Tidak perlu saling menyalahkan, sekarang yang paling penting ‘kan apa yang
harus dilakukan untuk Andre!” ujarku mencoba menengahi. Keduanya langsung
terdiam. “Nah, sekarang saya perlu ngobrol dengan bapak dan ibu secara terpisah…”
lanjutku sejurus kemudian. Keduanya hanya mengangguk kecil.
Dari hasil berbicara dengan kedua
orang tua Andre, aku mendapati bahwa mereka telah lama berpisah. Status Andre
sebenarnya di bawah asuhan ibunya, namun si ibu harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Tunjangan bulanan dari si ayah tidak cukup untuk
menutup biaya kehidupan mereka. Si ibu akhirnya bekerja di luar kota dan Andre
dititipkan kepada neneknya. Si ayah sudah menikah lagi dan tidak banyak berkomunikasi
dengan Andre karena beliau sudah sibuk dengan kehidupan barunya. Andre sangat
dimanja oleh neneknya. Tidak pernah dilarang jika ingin melakukan apapun,
apalagi dia kemudian menjadi bintang basket di sekolahnya. Sang nenek tentu
saja bangga dan semakin banyak memberi kebebasan kepada Andre. Akhirnya Andre
disinyalir mulai menggunakan napza suntik bersama teman-temannya. Di situlah
semuanya bermula. Ketika para pengguna napza mulai berpendapat bahwa
menggunakan satu jarum suntik secara bergantian akan menghemat biaya, ketika
itu lah resiko terinfeksi HIV dan hepatitis C mulai mengintai. Rendahnya pengetahuan
tentang infeksi-infeksi ini juga membuat mereka melakukan tindakan beresiko
tanpa tahu resiko sebenarnya.
“Kami ini bahkan nggak sadar
kalau Andre itu sekarang ber-tattoo, mbak… baru lihat waktu dia dimandikan di
sini aja…” ujar si ibu. Si ayah menggangguk tanda setuju. “Temannya yang mana
kira-kira yang menularkan ya, mbak?” tanya ayahnya kemudian. Ah… pertanyaan
klasik… “Bapak dan ibu, sebaiknya nggak fokus ke situ. Siapa pun yang menulari,
saat ini sudah nggak jadi prioritas utama kita. Prioritas kita adalah bagaimana
merawat Andre. Mencari treatment yang
terbaik untuk Andre. Tujuan utamanya kan kesembuhan Andre… betul nggak?” kataku
kepada mereka. Hatiku seperti dicubit kecil ketika mengatakan semua itu. Bukan
itu yang sebenarnya ingin aku katakan, sebenarnya aku ingin menyampaikan agar
mereka bersiap diri untuk kemungkinan terburuk. Andre sudah masuk fase AIDS dementia, di mana infeksi
toksoplasmosis di otaknya sudah dalam tahap destruktif dan menyebabkan Andre
kehilangan kesadaran. “Siapkan edukasi perawatan paliatif aja untuk keluarganya
ya, Rat…” begitu dokter yang menelponku berpesan. Jika pun Andre sadar kembali,
kemungkinan besar sebagian dari memorinya akan kacau atau hilang. Akan ada
momen-momen dan orang-orang yang tidak diingatnya. Andre adalah salah satu
contoh kasus keterlambatan dalam penanganan. Bukan karena masalah apa-apa, tapi
karena tidak ada yang mengerti apa yang terjadi padanya. Ketika kondisinya
masih relatif baik, Andre hanya dirawat jalan di rumah. Berobat ke rumah sakit
terdekat yang tidak memiliki dokter dan perawat yang mengerti soal HIV, hingga
beberapa hari yang lalu kondisinya mulai memburuk lalu kemudian tidak sadarkan
diri.
Perawatan paliatif. Ah… betapa
tinggi kompleksitas dari 2 buah kata ini. Definisinya cukup sederhana,
perawatan untuk mengurangi rasa sakit pasien dan juga untuk mempersiapkan
keluarga menghadapi kemungkinan terburuk. Namun “isi” dari informasi yang harus
disampaikan adalah yang terberat (menurutku). Semua pendamping dan Manajer
Kasus sudah mengerti ke mana arah pembicaraan harus tertuju jika dokter sudah
menginstruksikan untuk memberi edukasi tentang perawatan paliatif. “Mbak… Apa
Andre bisa sehat lagi…?” tiba-tiba ibunya mengejutkanku. Aku menghela nafas. Mencoba
merangkai kalimat yang paling tepat untuk menjelaskan, “Kita tidak bisa
pastikan ya, bu… Tapi saya ingin bapak dan ibu fokus ke usaha perawatan Andre
aja untuk saat ini. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang masih terlalu jauh
dulu. Satu-satu ya, bu… yang penting, bapak dan ibu harus tahu dulu, bahwa
kondisi Andre saat ini memang kurang baik, tapi nggak berarti kita harus putus
harapan. Pada saat yang sama, kita semua juga harus siap dengan kemungkinan
terburuknya… Bertengkar dan saling menyalahkan nggak akan memperbaiki keadaan. Ini
saat yang paling tepat untuk bapak dan ibu saling dukung. Fokus utamanya Andre,
ya bu…” jawabku sebisanya. Aku sungguh tidak punya cukup keberanian untuk
mengatakan bahwa harapan hidup anaknya sudah sangat tipis. “Maaf ya mbak, tadi
kami ribut di depan mbak…” tiba-tiba si ayah yang sudah berdiri di belakangku
berkata. “Nggak apa-apa pak… saya ngerti, bapak dan ibu sama-sama panik dan
bingung. Saya cuma ingin ingatkan saja, maaf sekali, tapi ini bukan saatnya
memikirkan diri sendiri. Ini saatnya kita semua memikirkan dan fokus kepada
Andre. Mohon diingat aja ya, pak… Doakan dan usahakan yang terbaik aja untuk
Andre.” Jawabku. Keduanya mengangguk. Tak lama kemudian Dokter Indra datang.
Dua hari kemudian telepon
genggamku berdering. Andre meninggal. Aku terbang dari kantor menuju rumah
sakit. Andre adalah dampingan pertamaku yang meninggal. Semua temanku di kantor
sudah mewanti-wanti bahwa pengalaman pertama memiliki dampingan yang meninggal
biasanya membekas cukup dalam dan adakalanya memberi semacam rasa gagal atau
tidak enak dalam diri para pendampingnya. Dadaku memang dijalari perasaan aneh,
tapi ada sedikit rasa lega di sana. Sebagai Manajer Kasus, tentu saja aku
berharap dampinganku kembali sehat. Tapi aku juga berusaha untuk berpikir
realistis. Melihat kondisi Andre ketika baru masuk, membaca rekam medisnya,
melihat hasil-hasil tes kesehatannya, aku bukan hanya mengharapkan dia sembuh…
aku lebih mengharap dia dibebaskan dari rasa sakitnya… apapun bentuk pembebasan
itu, itu lah yang aku rasa terbaik untuknya. Keji? Aku rasa tidak… Realistis saja. Ikhlas.
Aku menyalami ayah dan ibunya
ketika masuk ke ruangan. Mereka terlihat cukup tabah menghadapi kematian
anaknya. Keduanya tidak lagi terlihat bermusuhan, malah terlihat saling
mendukung. Bergenggaman tangan dan saling merangkul. Saling menguatkan satu
sama lain. Ada setitik rasa senang melihat bagaimana kedua orang tua Andre
berdamai, meskipun harus melalui kejadian yang tidak menyenangkan.
Tubuh itu kaku. Masih seperti
kemarin, tapi sudah tak bergerak sama sekali. Bibirnya pucat tapi ada sedikit
senyum di sana. Tidak seperti kemarin yang terlihat seperti menahan rasa sakit.
Aku bahkan tidak pernah sempat ngobrol dengannya. Aku tidak pernah mendapat
kesempatan bertemu dengannya ketika dia masih sadar. Sepertinya dia adalah
sosok yang menyenangkan, sedikit tengil dan tipe khas remaja populer yang
disukai banyak orang. “Such a waste….”
Batinku berkata.
Dalam perjalanan kembali ke
kantor aku berpikir, betapa akan berbedanya semua jika Andre ditangani tepat
waktu. Andai saja statusnya dan infeksi oportunistiknya diketahui beberapa
bulan ke belakang. Jika…. Jika… Andai… Andai… ah…. Terlalu banyak “jika” dan ”andai”
dalam kepalaku ini. Lalu, salah siapa semua ini? Orang tuanya kah? Dirinya sendiri?
Teman-temannya? Popularitasnya? Atau salah aku dan teman-teman pekerja LSM lain
yang kurang gigih memberikan informasi secara luas? Aku sendiri tidak tahu. Sepertinya
semua pihak punya andil dan kesalahan. Tapi yang terpenting bagiku saat itu
adalah Andre tidak lagi harus menanggung rasa sakit…
No comments:
Post a Comment