Wednesday, 25 September 2013

Salah Siapa?

Sore itu cerah sekali. Aku melangkah cepat-cepat di sepanjang lorong rumah sakit itu. Nyaris berlari. Ini malam Minggu dan aku yang sudah setengah jalan untuk pergi berkencan terpaksa harus putar haluan dan menuju rumah sakit. Ada pasien yang koma. Seorang siswa sekolah menengah atas, bintang basket dan masih salah satu kerabat jauh dari sebuah keluarga terpandang di Bandung. Bukan kombinasi yang baik. Aku sudah mencium hawa konflik sesaat setelah menerima panggilan di telepon genggamku, “Ada dampingan baru untuk kamu, Rat… tapi dia sudah dalam keadaan koma sekarang. AIDS dementia. Bisa ke rumah sakit sekarang nggak? Saya baru aja keluar dari Cikarang menuju Bandung. Orang tuanya belum tahu status & penyakitnya… Sepertinya dia tidak tinggal dengan orang tuanya selama ini. Saya SMS nama dan bangsalnya ya? Sesampainya di Bandung nanti saya langsung kesana juga.” begitu kata Dokter Indra kepadaku. 


[dulu, kemarin atau barusan] Tidak Ada Bedanya...



Aku duduk di sisi ranjang yang dibalut sprei kusam. Seorang lelaki tergolek lemah, hampir tak sadarkan diri. Di sebelahku, istrinya yang masih muda – awal duapuluhan, duduk tertunduk sambil menangis lirih. Meskipun hal-hal seperti ini telah menjadi rutinitasku, namun setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Dan setiap kali pula aku merasa jengah. Kadang aku pun tak tahu harus mulai dari mana. Kadang sulit untuk membuka pembicaraan untuk topik yang sulit ini…

Kamu Kok Kampungan, Ra...?


Perempuan muda itu duduk di hadapanku di sebuah resto pizza. Perutnya membuncit karena ia sedang hamil 7 bulan. Bahunya naik turun karena sedu sedan yang keluar dari tangisnya, sementara di tangannya ia memegang selembar kertas. Orang-orang mencuri pandang ke arah kami. Bertanya-tanya apa gerangan yang sedang berlangsung antara kami. Dee, perempuan itu mendongakkan kepalanya, ada 2 jalur air mata di pipinya. Ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih dan marah. “Ini serius, Ra???” tanyanya padaku. Aku menghela nafas, “Ya serius lah Dee… masa gue bohong soal begituan?” ujarku padanya. Dee kembali menekuri lembar kertas di tangannya. “Terus? Lu mau gimana sekarang? Lu harus labrak dia, Ra! Bajingan itu…. Kurang ajar!!!” Dee kembali tersedu-sedu. “Sssttt…. Jangan keras-keras, Dee! Lu lagi hamil besar, duduk di sini sambil nangis kayak gitu. Nanti orang kira apa pula! Udah ah! Sini, mana hasil tesnya? Kita makan aja sekarang.” Kataku padanya sambil merebut lembar hasil tes HIV dari tangannya. Dee mengusap air mata di pipinya, lalu mulai makan sambil merengut. “Lu seharusnya marah, Ra! Lu seharusnya datangi rumahnya terus labrak dia. Labrak keluarganya sekalian! Enak aja dia udah nularin lu terus nggak diapa-apain!” Dee masih saja penuh emosi. Aku lagi-lagi menghela nafas… “Dengar ya Dee, buat apa gue marah-marah sama dia? Buang-buang tenaga dan waktu aja. Kalau gue ikuti kata-kata lu tadi, gue datangi dia terus gue labrak dia habis-habisan, apa itu semua akan mengubah status gue jadi negatif lagi?” aku mencoba menuntun logikaku pada Dee. “Ya nggak sih….” Ujarnya, “Nah! Terus apa yang gue dapat dong? Capek aja ‘kan?” imbuhku. Dee masih makan sambil merengut namun tak membantah argumenku.

Cinta Itu Sederhana...


Pagi itu aku tiba di klinik Teratai agak cepat. Belum lagi pukul 9, tapi pasien sudah berderet. Beberapa wajah yang akrab denganku tersenyum menyapaku. “Selamat pagi….!” Aku menyapa mereka sebelum masuk ke ruang administrasi klinik. “Selamat pagi neng Ratri…” sapa pak Toto, petugas administrasi klinik. “Pagi, Pak… Udah rame aja ya pak… Baru jam segini.” Ujarku sambil meletakkan tasku dan mengalungkan kartu identitas pendampingku. “Iya nih… Oya, ada ibu hamil yang positif tuh. Datang bareng suaminya. Perlu ngobrol soal proses kelahiran. Nanti tolong di handle ya?” imbuh pak Toto sambil mengarahkan pandangan ke sudut teras klinik. Aku mengikuti pandangan matanya. Di sudut teras ada pasangan muda yang sedang mengobrol. Si perempuan berwajah manis layaknya kembang desa. Si suami berwajah agak tengil. Aku melihat si suami sesekali menggoda istrinya dan si perempuan akan memukul mesra lengan suaminya, “Atuh aaah… Aa mah….” Lalu mereka tertawa terkikik-kikik berdua. “Hmmm…. Manis sekali mereka berdua. Siapa ya mereka?” Begitu pikirku. “Istrinya namanya Eni. Suaminya Amin, ya neng…” pak Toto seolah bisa membaca pikiranku. “Oke pak….” Aku beranjak memanggil mereka untuk masuk ke ruang konsultasi.