Sore itu cerah sekali. Aku melangkah
cepat-cepat di sepanjang lorong rumah sakit itu. Nyaris berlari. Ini malam Minggu
dan aku yang sudah setengah jalan untuk pergi berkencan terpaksa harus putar
haluan dan menuju rumah sakit. Ada pasien yang koma. Seorang siswa sekolah
menengah atas, bintang basket dan masih salah satu kerabat jauh dari sebuah keluarga
terpandang di Bandung. Bukan kombinasi yang baik. Aku sudah mencium hawa
konflik sesaat setelah menerima panggilan di telepon genggamku, “Ada dampingan
baru untuk kamu, Rat… tapi dia sudah dalam keadaan koma sekarang. AIDS dementia. Bisa ke rumah sakit
sekarang nggak? Saya baru aja keluar dari Cikarang menuju Bandung. Orang tuanya
belum tahu status & penyakitnya… Sepertinya dia tidak tinggal dengan orang
tuanya selama ini. Saya SMS nama dan bangsalnya ya? Sesampainya di Bandung
nanti saya langsung kesana juga.” begitu kata Dokter Indra kepadaku.
Kisah-kisah perjalanan hidup. Pembelajaran tentang rasa sakit, kehilangan, kepahitan, kesedihan, kemarahan, kesederhanaan, cinta, pengorbanan, keteguhan, ketulusan dan kebangkitan...
Wednesday, 25 September 2013
[dulu, kemarin atau barusan] Tidak Ada Bedanya...
Aku
duduk di sisi ranjang yang dibalut sprei kusam. Seorang lelaki tergolek lemah,
hampir tak sadarkan diri. Di sebelahku, istrinya yang masih muda – awal
duapuluhan, duduk tertunduk sambil menangis lirih. Meskipun hal-hal seperti ini
telah menjadi rutinitasku, namun setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Dan
setiap kali pula aku merasa jengah. Kadang aku pun tak tahu harus mulai dari
mana. Kadang sulit untuk membuka pembicaraan untuk topik yang sulit ini…
Kamu Kok Kampungan, Ra...?
Perempuan
muda itu duduk di hadapanku di sebuah resto pizza. Perutnya membuncit karena ia
sedang hamil 7 bulan. Bahunya naik turun karena sedu sedan yang keluar dari
tangisnya, sementara di tangannya ia memegang selembar kertas. Orang-orang
mencuri pandang ke arah kami. Bertanya-tanya apa gerangan yang sedang
berlangsung antara kami. Dee, perempuan itu mendongakkan kepalanya, ada 2 jalur
air mata di pipinya. Ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih dan marah. “Ini
serius, Ra???” tanyanya padaku. Aku menghela nafas, “Ya serius lah Dee… masa gue
bohong soal begituan?” ujarku padanya. Dee kembali menekuri lembar kertas di
tangannya. “Terus? Lu mau gimana sekarang? Lu harus labrak dia, Ra! Bajingan
itu…. Kurang ajar!!!” Dee kembali tersedu-sedu. “Sssttt…. Jangan keras-keras,
Dee! Lu lagi hamil besar, duduk di sini sambil nangis kayak gitu. Nanti orang
kira apa pula! Udah ah! Sini, mana hasil tesnya? Kita makan aja sekarang.”
Kataku padanya sambil merebut lembar hasil tes HIV dari tangannya. Dee mengusap
air mata di pipinya, lalu mulai makan sambil merengut. “Lu seharusnya marah,
Ra! Lu seharusnya datangi rumahnya terus labrak dia. Labrak keluarganya
sekalian! Enak aja dia udah nularin lu terus nggak diapa-apain!” Dee masih saja
penuh emosi. Aku lagi-lagi menghela nafas… “Dengar ya Dee, buat apa gue
marah-marah sama dia? Buang-buang tenaga dan waktu aja. Kalau gue ikuti
kata-kata lu tadi, gue datangi dia terus gue labrak dia habis-habisan, apa itu
semua akan mengubah status gue jadi negatif lagi?” aku mencoba menuntun
logikaku pada Dee. “Ya nggak sih….” Ujarnya, “Nah! Terus apa yang gue dapat
dong? Capek aja ‘kan?” imbuhku. Dee masih makan sambil merengut namun tak
membantah argumenku.
Cinta Itu Sederhana...
Pagi
itu aku tiba di klinik Teratai agak cepat. Belum lagi pukul 9, tapi pasien
sudah berderet. Beberapa wajah yang akrab denganku tersenyum menyapaku.
“Selamat pagi….!” Aku menyapa mereka sebelum masuk ke ruang administrasi
klinik. “Selamat pagi neng Ratri…”
sapa pak Toto, petugas administrasi klinik. “Pagi, Pak… Udah rame aja ya pak…
Baru jam segini.” Ujarku sambil meletakkan tasku dan mengalungkan kartu
identitas pendampingku. “Iya nih… Oya, ada ibu hamil yang positif tuh. Datang
bareng suaminya. Perlu ngobrol soal proses kelahiran. Nanti tolong di handle ya?” imbuh pak Toto sambil
mengarahkan pandangan ke sudut teras klinik. Aku mengikuti pandangan matanya.
Di sudut teras ada pasangan muda yang sedang mengobrol. Si perempuan berwajah
manis layaknya kembang desa. Si suami berwajah agak tengil. Aku melihat si
suami sesekali menggoda istrinya dan si perempuan akan memukul mesra lengan
suaminya, “Atuh aaah… Aa mah….” Lalu
mereka tertawa terkikik-kikik berdua. “Hmmm…. Manis sekali mereka berdua. Siapa
ya mereka?” Begitu pikirku. “Istrinya namanya Eni. Suaminya Amin, ya neng…” pak Toto seolah bisa membaca
pikiranku. “Oke pak….” Aku beranjak memanggil mereka untuk masuk ke ruang
konsultasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)